Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Pertama
Rey selalu dikenal sebagai pria yang menyukai drama, bukan dalam arti sinetron murahan tapi dalam bentuk permainan psikologis yang bisa membuat orang hilang kesabaran. Dan kali ini, targetnya adalah pasangan baru yang sedang jadi sorotan yaitu Harvey dan Xanara
Semuanya dimulai saat sebuah undangan misterius tiba di meja Xanara, undangan pameran seni eksklusif yang ternyata diadakan oleh Rey. Tidak ada nama Harvey di undangan itu. Hanya namanya, dengan catatan singkat, 'Untuk wanita yang mencuri hati, biarkan aku melihat apakah hatinya setia.'
Xanara tahu ini bukan sekadar undangan biasa. Apalagi, di hari yang sama Harvey memiliki rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ia harus memutuskan, hadir dan menghadapi Rey seorang diri, atau mengabaikan undangan itu dan membiarkannya menjadi bahan gosip baru.
Di sisi lain, Rey mulai memainkan langkah berikutnya, yaitu membocorkan kepada media bahwa ia akan membawa seseorang yang spesial di acara itu. Tentu saja, semua orang menebak bahwa orang spesial itu adalah Xanara.
Harvey, yang membaca rumor tersebut di sela-sela rapatnya, langsung menghubungi Xanara. Nada suaranya tenang, tapi ada ketegangan di baliknya.
“Kalau kamu datang, pastikan kamu pulang sama aku,” kata Harvey singkat.
“Dan kalau aku gak datang?” tantang Xanara
“Aku tetap akan jemput kamu. Bedanya, kalau kamu datang… aku mungkin akan punya urusan pribadi sama Rey.”
Di acara itu, Rey tampil seperti tuan rumah yang sangat sempurna. Senyum ramah, pujian berlapis-lapis, dan tatapan yang penuh arti setiap kali memandang Xanara. Ia menyinggung masa lalu, menggoda dengan kata-kata ambigu, mencoba mencari retakan kecil di antara mereka.
Namun Xanara tahu satu hal, hubungan yang kuat tidak diukur dari seberapa keras mereka bertahan saat sedang mesra, tapi seberapa kokoh mereka berdiri ketika ada yang mencoba meruntuhkannya. Dan malam itu, ia berniat membuktikannya.
Acara mulai mereda ketika jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Musik jazz yang mengalun pelan digantikan oleh suara langkah sepatu berkarpet tebal. Para tamu mulai berpamitan, tapi suasana di sudut ruangan justru menghangat dan bukan karena anggur merah yang mengalir bebas.
Harvey muncul. Tanpa aba-aba, tanpa salam. Jas hitamnya kontras dengan sorot mata yang dingin namun penuh api. Ia berjalan lurus ke arah Xanara, satu tangan masuk ke saku celana, satu lagi meraih pinggang Xanara dengan kepemilikan yang begitu jelas.
Rey yang berdiri hanya satu meter darinya, tersenyum tipis.
“Cepat sekali kamu datang, Harvey. Padahal aku baru mau—”
“Mempermalukan diri di depan semua orang?” potong Harvey, nadanya rendah, tapi cukup tajam untuk membuat orang di sekitar mereka diam.
Rey tidak kehilangan kendali. Ia melirik Xanara lalu kembali ke Harvey.
“Aku hanya ingin tahu apakah dia setia.” Ucap Rey.
Arga mendekat, jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa sentimeter.
“Kamu salah paham. Kesetiaannya bukan sesuatu yang perlu di uji. Yang perlu diuji adalah kesabaran aku kalau ada orang yang terlalu sering menyentuh batas.” Ujar Harvey
Suasana mendadak sunyi. Hanya terdengar denting gelas dan napas yang tertahan. Harveymenatap Rey seperti predator yang menandai wilayahnya, lalu menunduk ke arah Xanara dan berbisik di telinganya, cukup keras agar Rey bisa mendengar, tapi hanya mereka berdua yang mengerti maksudnya.
“Ayo pulang. Aku nggak mau berbagi pemandangan ini sama siapa pun.” Ucap Harvey.
Xanara tersenyum tipis, lalu mengaitkan tangannya ke lengan Harvey. Mereka meninggalkan ruangan, meninggalkan Rey yang hanya berdiri di tempatnya, bibirnya melengkung tapi matanya menyimpan kekalahan yang enggan diakui.
Di luar, udara malam terasa lebih dingin, tapi genggaman Arga di tangan Aluna justru semakin erat. Dan dari tekanan itu, Aluna tahu—ini bukan akhir dari permainan Rey. Ini baru babak pertama.
Dari balik pilar marmer dekat bar, Winny berdiri kaku, jari-jarinya mencengkeram gelas sampanye yang sejak tadi tak disentuh. Pandangannya tak pernah lepas dari pemandangan yang baru saja terjadi yaitu dua pria, Rey dan Harvey, sama-sama menegangkan rahang dan mempertaruhkan gengsi mereka hanya demi Xanara.
Winny meneguk ludah, merasakan panas yang menjalar ke kepalanya.
"Kenapa dia? Kenapa perempuan itu selalu jadi pusat perhatian?" Batin Winny.
Dadanya berdesir oleh kemarahan yang bercampur dengan rasa tak rela.
Matanya beralih ke Harvey yang masih menatap tajam Rey sambil memegang pinggang Xanara seolah menandai teritori. Gambar itu membuat hatinya seolah diremas.
“Harvey…” gumam Winny pelan, tapi nada itu sarat dengan rasa sakit dan amarah.
Tangannya yang memegang gelas sampai memutih, hampir memecahkan kaca.
Ia tahu persis bahwa Harvey sudah menjauh darinya, tapi melihatnya berperang demi orang lain di depan matanya benar-benar membuatnya ingin menyerbu ke tengah ruangan dan menarik Harvey pergi.
Namun yang ia lakukan hanyalah melangkah cepat keluar, tumit sepatunya memantul di lantai marmer, menyisakan jejak wangi parfum yang menusuk.
Dalam hatinya, ia bersumpah satu hal, jika Rey gagal memisahkan mereka, maka ia sendiri yang akan melakukannya. Dengan caranya.