WARNING!!
Kita akan berkelana ke Dunia Fantasi, Karena itu, ada beberapa lagu yang akan di rekomendasikan di awal cerita untuk membawamu ke sana. Putarlah dan dengarkan sembari kamu membaca >>
___
Di sebuah kerajaan, lahirlah dua putri kembar dengan takdir bertolak belakang. Satu berambut putih bercahaya, Putri Alourra Naleamora, lambang darah murni kerajaan, dan satu lagi berambut hitam legam, Putri Althea Neramora, tanda kutukan yang tak pernah disebutkan dalam sejarah mereka. kedua putri itu diurus oleh Grand Duke Aelion Garamosador setelah Sang Raja meninggal.
Saat semua orang mengutuk dan menganggapnya berbeda, Althea mulai mempertanyakan asal-usulnya. hingga di tengah hasrat ingun dicintai dan diterima sang penyihir jahat memanfaatkannya dan membawanya ke hutan kegelapan. Sementara itu, Alourra yang juga berusaha mencari tahu kebenaran, tersesat di tanah terkutuk dan menemukan cinta tak terduga dalam diri Raja Kegelapan, makhluk yang menyimpan rahasia kelam masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan althea
Sedangkan di sisi lain,
Althea tengah berada di Kerajaan Neovamir, sebuah negeri megah yang berdiri di wilayah selatan. Ia datang menghadiri perjamuan pesta minum teh, sekaligus menjalankan misi penting: memperkuat kerja sama antara Kerajaan Neovamir dan Kekaisaran Eamora dalam pengelolaan tambang kristal baru yang ditemukan di perbatasan Gunung Nevers.
Hari itu, Althea tampil anggun dalam balutan gaun biru, warna yang sejak lama menjadi kesukaannya. Setiap langkahnya memancarkan wibawa sekaligus kelembutan. Seorang pelayan istana berjalan di depan, menuntunnya melewati taman yang dipenuhi bunga musim semi. Aroma harum bunga mawar dan melati menyambut, hingga akhirnya mereka tiba di paviliun indah tempat para putri kerajaan berkumpul.
Dari kejauhan, Althea melihat empat putri telah menunggu. Di antara mereka tampak Putri Vely Geovamir, yang ayahnya hanyalah seorang baron—kedudukannya masih jauh di bawah martabat keluarga kekaisaran Eamora.
“Ah, dia datang,” bisik seorang putri berambut pirang dengan nada penuh selidik.
“Banyak rumor yang beredar tentangnya. Bagaimana mungkin ia bisa percaya diri datang ke sini?” sindir seorang putri berambut hitam dengan riasan tebal.
Putri Vely menegakkan dagunya, seulas senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya. “Akulah yang mengundangnya, tentu saja.”
“Wah, Putri Vely memang berhati mulia,” balas si putri berambut pirang dengan nada yang nyaris terdengar sinis.
Namun putri berambut hitam kembali mencibir. “Tetapi lihatlah gaunnya, begitu sederhana. Apakah ia tidak tahu tren busana terkini?”
“Benar,” timpal yang lain, “sepertinya ia berasal dari negeri kampungan—sangat berbeda dengan Putri Vely.”
Di tengah bisik-bisik penuh sindiran itu, seorang putri berambut putih justru menatap Althea dengan kagum. Baginya, kesederhanaan gaun biru yang dikenakan sang putri justru menonjolkan keanggunan sejati. Kain itu jatuh membalut tubuhnya dengan begitu sempurna, hingga menjadikannya tampak lebih menawan dibanding gaun penuh perhiasan sekaLipun.
“Salam, para Lady,” suara Althea terdengar tenang namun penuh wibawa saat ia berdiri di hadapan mereka.
Keempat putri itu sontak berdiri dan menunduk memberi hormat.
“Saya Putri Vely,” ucap Vely memperkenalkan diri lebih dulu.
“Saya Putri Leory,” ujar putri berambut pirang itu.
“Saya Putri Caly,” tambah putri berambut hitam dengan tatapan dingin.
“Saya Putri Emery. Senang bertemu denganmu,” sambut putri berambut putih dengan senyum tulus.
Althea menatap mereka satu per satu. Hatinya segera menangkap aura ketidaksukaan dari sebagian besar putri itu. Namun, ia memilih untuk tetap tersenyum, terutama kepada Putri Emery—satu-satunya yang menunjukkan ketulusan di antara mereka.
“Saya Putri Althea Neramora. Terima kasih atas undangannya. Saya datang untuk memenuhi kehormatan dari Putri Vely,” ucap Althea sopan, sambil membungkuk sedikit sebagai tanda penghormatan.
“Ah, silakan duduk, Putri Althea,” sambut Putri Vely, bibirnya melengkung dalam senyum yang dibuat-buat.
“Terima kasih.” Althea melangkah anggun lalu duduk di kursi kosong yang kebetulan berada tepat di sisi Putri Emery.
“Apa yang kau sukai? Teh atau kopi?” tanya Putri Vely dengan nada ramah yang terselip ketajaman tersembunyi.
“Aku lebih menyukai teh,” jawab Althea tenang.
Mendengar itu, Vely memberi isyarat pada pelayan untuk menuangkan teh ke dalam cangkir Althea. Aroma harum segera memenuhi udara. Althea mengangkat cangkirnya, lalu menyeruput perlahan dengan gerakan yang begitu anggun. Pandangan Putri Emery tak lepas darinya; sikap tenang Althea, sederhana namun memikat, membuatnya kian terpesona.
Percakapan awal berjalan biasa saja, sekadar basa-basi ringan. Althea tidak banyak berbicara, hanya sesekali menimpali dengan satu atau dua kalimat singkat, disertai senyum ramah yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Bukan begitu, Putri Althea?” tanya Putri Caly tiba-tiba, matanya menyipit seakan mencari celah.
“Ah, maaf. Aku memang kurang mengikuti tren gaun terkini,” jawab Althea, suaranya tenang tanpa terbebani. “Jadi aku tak begitu memahami.”
“Pantas saja kau tampak berbeda,” sahut Putri Leory sambil menutup mulut dengan kipasnya, terkekeh penuh ejekan.
Mendengar itu, Putri Vely menyeringai, seakan mendapatkan kesempatan emas. "Cih," ucapnya dalam hati, penuh rasa puas. “Tak ada yang berpihak padamu di sini. Lihat saja aku akan menjatuhkan martabatmu.”
“Ah… pakaian ini?” Althea akhirnya menatap mereka dengan tenang, seakan menyadari arah sindiran yang ditujukan padanya. Ia tersenyum tipis. “Aku memiliki selera tersendiri.” Sambil berkata demikian, ia mengangkat cangkirnya dan kembali menyeruput teh dengan anggun.
Jawaban sederhana itu justru membuat wajah Putri Vely menegang sejenak, kesal karena sindirannya tak menggoyahkan sedikit pun wibawa Althea.
“Tapi bukankah model itu sudah terlalu kuno?” sindir Putri Caly, suaranya terdengar manis namun sarat dengan ejekan.
“Ah, benar. Model gaun ini memang terinspirasi dari rancangan lama,” ucap Althea dengan suara tenang namun penuh percaya diri. Tatapannya tak gentar sedikit pun. “Namun akulah yang secara khusus memintanya pada Nyonya Moran, sang perancang ternama yang karyanya dipuji di seluruh kerajaan. Aku memintanya memadukan desain itu dengan kain sutra pilihan, dijahit mengikuti lekuk tubuhku agar terlihat anggun. Dan menurutku, hasilnya… sungguh mempesona.”
Gaun biru itu memang terjalin sempurna dengan tubuhnya. Setiap langkah Althea membuat kain sutra jatuh berkilau, seolah memeluk keanggunannya dengan keabadian. Ketiga putri yang semula mencibir sontak terdiam sejenak ketika mendengar nama besar Nyonya Moran disebut—seorang perancang gaun yang hanya mau bekerja untuk bangsawan berpengaruh.
Althea kembali tersenyum tipis. “Oh, satu lagi. Gaun ini dikerjakan khusus untukku. Tak ada satupun tiruannya yang akan kalian temukan di pasaran.”
Ucapan itu membuat wajah Putri Caly dan Leory menegang. Ada bara cemburu dalam sorot mata mereka. Namun Althea tetap tenang. Ia memahami benar, dalam perjamuan sosial semacam ini, kunci utamanya bukanlah membalas dengan amarah—karena begitu seseorang terpancing, maka ia akan jatuh sehina-hinanya.
“Hah! Itu tetap tidak mengubah kenyataan bahwa gaunmu hanyalah model kuno, hanya diperbarui sedikit saja,” ujar Putri Caly dengan nada tajam.
“Jika hanya Nyonya Moran, aku pun bisa memintanya membuatkan gaun,” tambah Putri Leory, bibirnya melengkung sinis.
“Benar,” sahut Caly cepat, “apalagi Putri Vely tentu sudah terbiasa memesan gaun dari Nyonya Moran setiap hari.”
Putri Vely terkekeh pelan, menutup mulutnya seolah menjaga kesopanan. “Ahahah… sudah, kalian tak perlu berlebihan.” Namun sorot matanya berkilat, seakan ia menikmati suasana yang kian memanas.
Althea memperhatikan Vely dengan seksama. Ia tahu benar arah permainan ini. Putri Vely sengaja mendorong percakapan agar menjadi perdebatan, berharap dirinya terjerat dalam jerat sindIran.
“Cukup. Kalian sudah terlalu keterlaluan,” suara Putri Emery akhirnya terdengar lantang, memutus ketegangan.
Namun Caly justru maju selangkah, wajahnya penuh kejengkelan. “Oh, Putri Emery. Kau benar-benar hendak membelanya? Padahal jelas sekali, ia bahkan tak paham dunia mode. Bagaimana mungkin ia layak bergabung dengan lingkaran sosial para bangsawan?”
Emery menatap Althea dengan lembut sebelum menjawab. “Menurutku, gaun yang ia kenakan sangat indah. Dan bukankah tak ada salahnya seseorang memiliki selera tersendiri?”
“Benar,” sahut Leory cepat, kali ini lebih menusuk. “Tak ada salahnya… hanya saja seleranya terlampau rendah.”
Suasana mendadak memanas. Emery yang semula tenang mulai terpancing emosi. “Kalian benar-benar sudah melampaui batas!” serunya.
Namun sebelum perdebatan meruncing, Althea mengangkat tangannya dengan anggun. Gerakan sederhana itu cukup untuk membuat semua mata kembali tertuju padanya. Suaranya tenang, namun berwibawa, seakan sanggup meredam badai yang hampir pecah.
“Tidak apa-apa, Putri Emery. Ini hanya soal gaun,” ujar Althea lembut, senyumnya menenangkan. Dari sorot matanya, jelas ia menyadari bahwa Emery masih baru dalam lingkaran sosial para bangsawan—masih polos, belum terbiasa dengan sindiran tajam yang menyelinap di setiap percakapan.
Sementara itu, Putri Vely menatap Althea dengan tatapan penuh kebencian yang terbungkus senyum manis. Ada sesuatu dalam ketenangan Althea yang membuatnya gusar; semakin tenang Althea, semakin sulit ia menjatuhkannya.
“Tapi…” Emery hendak bersuara, namun ucapannya segera terpotong.
“Benar,” sela Vely cepat, bibirnya melengkung merendahkan. “Ini hanya soal gaun. Jika kau menginginkannya, aku bahkan bisa memberimu satu.” Nada suaranya terdengar manis, namun jelas terjalin dengan penghinaan.
Putri Caly dan Leory terkekeh pelan, senyum puas tersungging di wajah mereka, seakan mendapat hiburan dari kata-kata itu.
Wajah Emery memerah, dadanya bergejolak. Ia merasa ini sudah Terlalu keterlaluan. “Ada apa dengan kalian…?” serunya sambil bangkit berdiri, suaranya bergetar antara amarah dan kekecewaan.
Namun sebelum ketegangan semakin membesar, Althea mengangkat tangannya perlahan. “Tenanglah, Putri Emery. Silakan duduk.” Suaranya lembut, tapi mengandung ketegasan yang sulit dibantah. Senyumnya ramah, seakan ingin menenangkan badai di hati Emery.
Emery pun menurut, kembali duduk dengan napas yang masih tersengal, berusaha mengatur emosinya.
Althea menatap ke arah Vely, lalu tersenyum tipis. “Baiklah,” ucapnya tenang. “Aku tidak pandai berbasa-basi. Jadi izinkan aku berbicara langsung pada intinya.”
Ia meneguk tetes terakhir teh dari cangkirnya, kemudian meletakkannya perlahan di atas meja. Suara halus porselen beradu dengan tatakan terdengar jelas di antara keheningan.
Tatapan Althea kemudian beralih pada Putri Vely—tenang, namun penuh wibawa. Sorot matanya seakan menembus, membawa tekanan halus yang lebih menusuk daripada seribu sindiran.