Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. "Sorry, For Being Rude"
Dari balik punggung Rendra ia seakan bisa melihat bayangan sosok Dio dengan sangat jelas, yang kini sedang memilih-milih buku di rak, kemudian membacanya di meja belajar. Iya benar itu Dio. Tenang, selalu tersenyum, menyenangkan.
Dio, so sorry, you deserves to be happy. Semoga kamu cepat menemukan seseorang yang selama ini dicari.
Meski setelah itu sikap Rendra tak berubah. Tetap ceria, tetap ramai, tetap mentreatnya semanis mungkin selama mereka berkeliling kota Bandung. Namun sikap impulsif Rendra jelas sangat mengusiknya, bahkan hingga beberapa hari kemudian setelah mereka kembali beraktivitas normal seperti hari-hari biasa di Jogja.
Jika dulu ia memiliki Mala sebagai problem solved, sekarang ia harus puas hanya berteman dengan mesin pencari. Berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi.
'Apa yang membuat suami cemburu?'
'Apa itu cemburu?'
'Mengapa suami cemburu?'
'Apakah normal jika suami cemburu dengan mantan?'
'Apa yang sebaiknya istri dilakukan saat suami cemburu?'
Namun jawaban yang ia peroleh terlalu standar dan normatif, kurang memuaskan. Hingga siang ini saat hampir semua anak-anak di kantor berkumpul di pantry yang terletak di lantai dua, menikmati makan siang di sela-sela waktu istirahat yang tak begitu lama, ia seolah menemukan jawaban yang tersembunyi.
"Gue lagi gedeg banget sama laki gue," gerutu Erra di sela-sela menikmati sgpc (sego pecel).
"Kenapa?" Rinda yang duduk di sebelah Erra menanggapi.
"Lama kalau ambil keputusan."
"Ah, gitu doang sih kecil. Kirain slengki."
"Idih, amit-amit!" Erra menggetok meja tiga kali dengan penuh perasaan. "Kalau sampai dia berani slengki, bakalan gue tendang jauh-jauh."
"Nah, gitu dong ngegas, gue suka," seloroh Lika ikut menimpali.
"Ya masa mau mutusin beli rumah atau enggak mesti mikirnya lama banget!" gerutu Erra lagi. "Keburu disamber orang deh tuh rumah. Haduh, mana murce lagi. Hadeh, gue udah nggak tahu lagi mo ngomong apa!"
"Laki lo punya pertimbangan lain kali."
"Pertimbangan apaan! Dia dari dulu emang begitu, lama kalau ambil keputusan. Lambat! Haduh, kesel banget gue!"
"Keburu Cyla sama Cyara masuk sekolah. Keburu nggak kebeli deh tuh rumah. Ngontrak terusss!"
"Eh, iya bener loh, sekolah sekarang mahal-mahal banget," Lika membenarkan. "Lo tahu Pre school punya mantan pejabat itu?"
"Yang di .....," Rinda menyebut alamat sebuah perumahan elite yang terletak di jantung kota Jogja.
"Iya yang disitu. Haduh, gila, masuknya seharga dp mobil. Belum uang bulanannya. Nyerah deh gue kalau urusan sekolah anak-anak."
"Masa sih semahal itu?"
"Hmm, nggak percaya. Sebelas dua belas sama Kinderganten internasional yang di sana tuh....," sambil menyebut alamat yang tak kalah prestisius.
"Nggi, kok diam aja sih?" Erra memanggilnya yang sedang asyik membaca artikel tentang 'bagaimana mengatasi suami yang cemburu.'
"Oh, hehe...," ia meringis.
"Anggi sih santai. Ya nggak Nggi?" seloroh Rinda. "Laki lo sultan gitu. Cincai lah masalah biaya."
"Hmm, beruntung banget lo Nggi," Erra menerawang. "Laki gue tuh waktu kecilnya kurang kasih sayang orangtua. Nggak dekat sama orangtua. Akhirnya ninggalin luka yang kebawa sampai sekarang. Efeknya jadi lamaaaa tiap ambil keputusan. Haduh!" Erra geleng-geleng kepala.
Membuatnya mengernyit, "Memang ada hubungan antara kurang kasih sayang orangtua sama lama ambil keputusan?"
"Ya ada lah," sambar Erra. "Apalagi laki gue blas nggak dekat sama bapaknya. Hmm, lukanya makin dalam dong. Tersimpan di bawah sadar sampai setua ini. Jadi ragu-ragu tiap mau ambil keputusan, nggak cekatan, terlalu banyak kekhawatiran yang diciptakan sendiri, kurang berani bergerak. Haduh, gimana dong caranya biar laki gue gercep. Ini udah beneran butuh rumah kita nih. Ngontrak terus tiap tahun sama aja kayak bakar uang."
"Ah, nggak juga," sanggah Lika. "Laki gue juga waktu kecil hidupnya prihatin, susah, sama orangtua nggak ada kedekatan apalagi kehangatan. Tapi laki gue gercep gercep aja tuh. Tiap ambil keputusan hajar bleh."
"Tapi laki lo banyak maunya, hayo," Erra mencibir. Membuat Lika tertawa.
"Iya juga sih," mata Lika menerawang. "Laki gue tiap makan harus masakan yang baru matang masih panas ngepulin asap. Kalau nggak gitu, nggak mau makan dia. Ampun."
"Sades," Rinda geleng-geleng kepala.
"Laki gue juga nggak pernah mau bantuin kerjaan rumah tangga. Cuek abis, mau gue kerepotan di dapur kek, ribet sama anak nangis kek, dia sih lempeng aja di depan lepi," tambah Lika.
"Bukannya cowok yang asalnya dari daerah laki lo udah terkenal nggak mau bantuin kerjaan rumah tangga, Lik?" tanya Rinda penasaran. "Bener nggak sih stigma itu? Cowok yang berasal dari daerah A (menyebut nama suku dan daerah asal suami Lika), pasti nggak bakal mau turun ke dapur bantuin istri."
"Kalau di kasus gue berarti ada benernya stigma itu Rin," Lika mengangguk-angguk setuju. "Buktinya laki gue."
"Kalau laki gue gercep ambil keputusan sama mau banget bantuin kerjaan rumah kalau si mbok lagi pulang kampung," kini giliran Rinda yang menerawang. "Cuman laki gue terlalu royal sama keluarga besarnya. Boros banget bisa ngabisin setengah gaji cuman buat hedon adik-adiknya yang segambreng. Duh!"
Ia mendengarkan curhatan Erra, Rinda, dan Lika sambil ikut menerawang, meski matanya terpaku pada layar ponsel yang sedang menampilkan artikel, 'Pola asuh orang tua dan pengaruhnya terhadap anak ketika dewasa.'
"Kalau laki lo Nggi?"
"Apa?" ia tergeragap karena sedang asyik membaca artikel tentang korelasi pola asuh orangtua dengan perilaku anak ketika dewasa.
Rinda, Erra, dan Lika memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Laki lo kelihatan sweet gitu selalu buka tutup pintu mobil buat lo," ujar Rinda dengan wajah mupeng.
Ia harus menghela napas sebelum berkata, "Tiap orang kan ada kelebihan dan kekurangan. Suami gue juga gitu," ujarnya sambil tersenyum. Mencoba bersikap diplomatis.
Karena tak mungkin ia mengatakan, 'Suamiku dong jago masak, mau cuci piring sendiri, mau bantuin tiap aku lagi kerepotan, sering ngasih bunga, tegas, laki banget deh,' yang notabene berbanding terbalik dengan karakter suami teman-temannya. Itu namanya nggak punya tepa slira, nggak punya empati, nggak bisa meraba perasaan orang lain, alias songong.
Atau tak mungkin juga ia mengatakan panjang lebar, 'Suamiku punya masa lalu buruk, imbasnya sekarang, kalau emosi suka nggak terkontrol, termasuk cemburu sama mantan yang nggak salah apa-apa. Hmm, ini namanya terlalu ember sampai buka aib sendiri.
"Nah, bener kata Anggi," suara Bu Ningtyas yang sejak tadi duduk diam di depan laptop membuat mereka berempat menoleh.
"Kalian itu istirahat bukannya dimanfaatkan dengan baik malah ghibahin suami sendiri," lanjut Bu Ningtyas sambil menutup laptop.
"Kalian dulu waktu nikah atas kemauan sendiri kan? Pilihan sendiri? Bukan paksaaan?"
Mereka berempat spontan mengangguk.
"Nah, nikmati paket lengkapnya dong. Ada kelebihan, ada kekurangan. Suami kita juga bukan malaikat."
"Memang kalau kita tahu kekurangan suami, bisa ditukar tambah sama yang lain gitu? Enggak kan?"
"Udahlah. Kalian udah dewasa, bisa bertanggung jawab dengan pilihan sendiri. Sabar dan syukur, itu kuncinya."
"Setiap rumah tangga dan pasangan pasti ada ujian masing-masing."
"Ada yang diuji dengan perselingkuhan, KDRT, masalah ekonomi, ketidakcocokan, hilangnya rasa cinta. Banyak hal."
"Ada yang suami baik, tapi mertuanya jadi benalu. Ada yang suami baik, mertua baik, tapi kesulitan materi. Ada yang semua baik, justru tetangga yang berulah."
"Atau ada yang sulit memiliki anak namun berlimpah materi. Ada juga yang mudah melahirkan namun ekonomi mencekik."
"Dalam hidup pasti ada ujiannya. Sekolah aja ada ujian kan? Dan ujian beda-beda. Udah disesuaikan sama kemampuan kita. Percaya saja."
"Nah, kalau udah sabar dan syukur, poin berikutnya take it or leave it."
"Kalian sanggup, jalani. Tak sanggup, lepaskan. As simple as that," ujar Bu Ningtyas tenang sambil melenggang keluar dari pantry.
Membuat mereka berempat saling bergumam masing-masing. Karena menurut gosip yang beredar di kantor, suami Bu Ningtyas yang seorang ASN harus diturunkan golongan sekaligus dipecat dengan tidak hormat karena tertangkap basah selingkuh dengan stafnya sendiri. Miris.
Sekarang suami Bu Ningtyas beralih profesi menjadi driver Taxi Online, yang pastinya jauh berbeda dengan jabatan Bu Ningtyas sebagai Manager Operational. Hebatnya lagi, mereka masih bersama, tak bercerai.
Yah, begitulah hidup, isinya wang sinawang. Kita sebagai orang luar hanya bisa melihat dan menilai, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sesuatu yang menurut kita buruk, belum tentu membuat menderita bagi yang mengalami. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang kita anggap bagus, belum tentu membahagiakan bagi yang mengalami.
"Ya lo diskusiin aja berdua. Masa sih nggak ada jalan," saran Rinda setelah Bu Ningtyas berlalu.
"Hah, udah males ngomong gue. Udah sampai berbusa gue kasih wacana ina inu ini. Tetep aja lambat!" sungut Erra.
"Ganti laki aja Ra!" seloroh Alvin yang duduk tak jauh dari pantry. "Gue tipikal gercep loh."
Rinda dan Lika tertawa, namun Erra mencibir, "Gue masih waras lah Mas. Masih cinta sama laki gue."
Sementara ia masih saja termenung, mengkerut usai membaca artikel tentang pola asuh yang salah dan hubungan orangtua - anak yang kurang hangat kadangkala berpengaruh ke sikap saat dewasa. Apakah Rendra juga begitu?
Pengalaman masa kecil dan masa lalu Rendra yang begitu keras, melihat Mama yang dicintainya hidup dalam ketidakbahagiaan, hubungan dengan Papa yang bahkan bisa dibilang sangat buruk, kondisi lingkungan yang sama sekali tak mendukung.
Ketakutan dan rasa tak aman yang mengungkung hampir selama 17 tahun pertama kehidupan Rendra. Apakah ini yang menjadi latar belakang lost control Rendra saat di Bandung kemarin?
Ibarat luka lama yang tanpa sadar terpendam jauh di dasar jurang, akan meledak jika ada pemicunya. Apakah Dio yang menjadi pemicu lost control Rendra?
Karena Rendra merasa terancam? Merasa tak aman? Merasa takut ia akan berpaling kembali ke Dio? Merasa tersaingi dengan segala karakter baik dan kuat yang Dio tampilkan selama ini? Merasa diri kurang dicintai? Merasa tak diakui keberadaannya?
Apakah masa lalu mengerikan dan hubungan dengan Papa yang begitu buruk telah meninggalkan lubang besar di hati Rendra? Hingga Rendra tumbuh menjadi pribadi yang penuh ambisi? Emosional? Namun selalu haus akan pengakuan? Tak pernah merasa cukup dengan yang dimiliki?
Untuk itulah ia harus bergerak melakukan sesuatu. Hingga usai mencuci piring dan peralatan makan malam bersama, ia pun mencoba mendudukkan diri di atas pantry sambil mengerling, "Abang...."
Rendra yang sedang mengeringkan tangan dengan handuk kecil usai mencuci tangan langsung tersenyum sumringah, "Wah....right here right now?"
Ia menggeleng, namun meraih bahu Rendra agar mendekat padanya. Dengan posisi duduk yang lebih tinggi, sangat memudahkan untuk melingkarkan tangan ke leher Rendra. Ia pun memberanikan diri menatap manik warna cokelat yang selalu bergerak aktif. Membuat mata mereka bertautan selama beberapa saat. Sama-sama terdiam berusaha menyelami kedalaman hati masing-masing.
"Aku sayang banget sama Abang," bisiknya cepat membuang jauh-jauh rasa malu.
Kedua bola mata Rendra jelas mengerjap senang, sekaligus heran dengan keberaniannya berterus terang.
"Aku cinta banget sama Abang," bisiknya lagi.
"It's you.....," lanjutnya kemudian, namun kali ini dengan mata memanas demi mengingat perjalanan panjang yang telah mereka lalui hingga saat ini.
"It's always gonna be you....," ujarnya lirih dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. My God, ia baru menyadari betapa sangat mencintai Rendra. Rendra The Young and Dangerous, Rendra The Rising Star, Rendra yang digilai banyak orang. Namun juga Rendra yang penuh luka, Rendra yang emosional, Rendra yang kaku, keras, kekanak-kanakan tapi selalu berusaha memberikan yang terbaik. Rendra yang....
"Me too....me too....," bisik Rendra cepat.
"From this day...forward...for better...for worse...for richer...for poorer...in sickness or in health...till death do us part.....," ia harus menggigit bibir untuk menahan air mata yang berlesakan ingin keluar.
"Till death do us part.....," bisik Rendra mengulang kalimat terakhir dengan mata berkaca-kaca.
'As we talk the golden mile
Down the pretty aisle
I know that you are mine
And there's nothing in this world
That I know that I won't do
To be near you everyday
Every hour every minute
Take my hand and let me lead the way
All through your life
I'll be by your side
Till death do us part
I'll be your friend
My love will never end
Till death do us part'
(White Lion, Till Death Do Us Part)
Ia hampir mengatakan hal lain lagi namun keburu Rendra berbisik. "Love you too...more than anything...."
"Sorry...for being rude...," Rendra menatapnya dengan penuh penyesalan. "Please, catch me wherever i fall....," lanjut Rendra lagi sambil kembali menyatukan mereka berdua di kedalaman yang memabukkan dan melenakan.
Ia pun sungguh berharap, deklarasi perasaannya terhadap Rendra bisa menenangkan Rendra, bisa sedikit demi sedikit menutup lubang di hati Rendra. Membuat Rendra merasa aman dan diakui. Tak lagi haus akan pengakuan. Tak lagi mudah terpancing emosi. Tak lagi kehilangan kontrol terhadap diri sendiri. Hope so.
Hingga beberapa waktu mereka kembali disibukkan dengan aktivitas rutin. Bekerja, kuliah, bercengkerama, tertawa bersama, melakukan banyak hal menyenangkan berdua. Namun roda kehidupan tentu terus berputar. Suasana tenang dan membahagiakan perlahan mulai berbalik arah.
Seperti siang ini, ketika ia masih berada di kampus, sedang menunggu kuliah jam kedua, saat tiba-tiba Rendra menelepon dengan suara serak, "Sayang, nanti kalau pulang titip larutan penyegar."
"Iya Bang."
"Hari ini aku pulang duluan, kamu kalau udah selesai langsung pulang ya."
"Iya, iya," ia sedikit heran kenapa Rendra memintanya untuk cepat pulang. Padahal, biasanya Rendra tak pernah mempermasalahkan jam pulang meski ia sering pulang lebih larut.
Namun usai kuliah jam terakhir, ia mendapat telepon dari kantor, karena ada suatu masalah yang mesti diselesaikan dan mengharuskannya untuk datang ke kantor.
Anggi. : 'Abang, maaf, aku harus ngerjain sesuatu di kantor.'
Anggi. : 'Larutan aku Gosend in aja apa Bang?'
Lama Rendra tak menjawab, selang setengah jam kemudian baru membalas,
Rendra. : 'Ok.'
Rendra. : 'Nggak usah. Nunggu kamu pulang.'
Anggi. : 'Ok.'
Jam 20.20 ia baru bisa keluar dari kantor. Langsung pergi ke supermarket untuk membeli larutan penyegar pesanan Rendra. Dan setengah jam kemudian baru bisa masuk ke dalam apartemen yang gelap gulita.
"Abang?" dengan penerangan segaris cahaya yang berasal dari lampu tidur di kamar yang pintunya terbuka, ia berusaha meraba dinding untuk mencari saklar lampu.
Belum juga berhasil menyalakan lampu, ia keburu dikejutkan dengan suara orang yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi, disusul suara keras flush air di kloset.
"Abang?" ia terperanjat melihat Rendra keluar dari kamar mandi dengan kaos basah kuyup.
"Kenapa?" ia buru-buru meletakkan kresek supermarket berisi larutan penyegar di atas meja rias.
Rendra tak menjawab, lebih memilih membuka pintu lemari dengan tangan gemetaran.
"Sebentar," ia segera mencuci tangan di wastafel lalu menghampiri Rendra yang sedang mengaduk-aduk isi lemari.
"Abang duduk dulu," ujarnya sambil menuntun Rendra agar duduk di atas tempat tidur. Sempat terkejut saat menyentuh kulit Rendra yang sedingin es, namun ia buru-buru kembali ke lemari untuk mengambil kaos baru.
"Abang habis muntah?" tanyanya ingin memastikan. Namun Rendra tetap tak menjawab, hanya bibir yang pecah-pecah dan berwarna putih itu terus bergetar seperti menahan hawa dingin yang sangat.
Dengan penuh kehati-hatian ia membantu Rendra untuk melepas kaos yang telah basah kuyup, kemudian menggantinya dengan yang baru.
"Mau minum larutan sekarang?"
Rendra mengangguk.
Dengan cekatan ia membuka seal larutan, kemudian meminumkannya.
"Abang udah makan belum?"
Rendra menggeleng, "Sakit perut."
"Aku bikinin sop ayam ya."
Lagi-lagi Rendra menggeleng, "Mau rebahan."
Ia kemudian membantu Rendra merebahkan diri diatas tempat tidur, "Aku balur pakai kayu putih ya."
Rendra hanya mengangguk lemah.
Ia pun mulai membalur perut, dada, punggung, dan telapak kaki Rendra dengan minyak kayu putih. Kemudian menyelimuti tubuh besar itu dengan lembut.
"Aku buatin makan dulu ya," bisiknya di telinga Rendra, namun sebelum ia sempat beranjak, Rendra lebih dulu menggenggam tangannya.
"Sini aja. Temenin aku."
Ia tersenyum sambil mencium pipi Rendra yang masih sedingin es, "Kalau gitu aku ganti baju dulu."
Setelah berganti baju, ia sempat mengambil buah pisang yang ada di atas pantry, juga roti gandum dan Nutella, untuk kemudian ia letakkan di atas nakas.
"Abang makan ya, aku suapin."
Rendra menggeleng pelan.
"Pisang atau roti?"
Rendra masih menggeleng, namun mengulurkan tangan untuk meraihnya. "Sini....."
Ia menurut dan merebahkan diri di samping Rendra yang menggigil kedinginan. Spontan ia memeluk tubuh besar itu untuk memberi kehangatan. Hatinya mencelos melihat keadaan lemah Rendra yang baru pertama kali ini ia alami.
"Abang sakit?" bisiknya sambil terus memeluk Rendra. Mencoba mentransfer kehangatan agar Rendra tak terlalu merasa kedinginan.
Rendra menggeleng, "Cuma kedinginan...."
Ia pun mengeratkan pelukan diantara mereka berdua. "Abang pulang jam berapa?" tanyanya ingin tahu. Tadi terakhir Rendra menelepon adalah jam dua siang.
Rendra mengangkat jari membentuk angka tiga. Namun sebelum ia menanggapi, Rendra lebih dulu bergerak cepat melepaskan mereka berdua, keluar dari selimut dan berlari ke kamar mandi.
"Hoooog......"
"Hoooog......"
"Hoooog......"
Terdengar suara keras Rendra yang sedang muntah-muntah di atas kloset. Ia pun buru-buru menyusul Rendra lalu mengelus-elus punggungnya. Mencoba melegakan dan melancarkan peredaran darah Rendra.
Suara flush air di kloset menandai berakhirnya episode muntah entah untuk yang keberapa kalinya. Dengan perlahan ia memapah Rendra menuju tempat tidur. Melepas kaos yang kembali basah kuyup oleh keringat dingin, mengganti dengan kaos yang baru. Kemudian membantu merebahkan Rendra di tempat tidur dan menyelimutinya.
Ia beranjak hendak menuju ke pantry, namun tangan Rendra mencegahnya, "Mau kemana?" bisik Rendra lemah.
"Aku buatin teh manis ya," ia tersenyum menenangkan. Membuat Rendra melepaskan genggamannya.
Setelah membuat secangkir teh manis hangat, ia menyuapkannya kearah Rendra menggunakan sendok.
"Lagi ya?"
Namun Rendra menggeleng. "Temenin aku tidur," bisik Rendra sambil berusaha merengkuhnya.
Ia pun menurut, meringkuk di dada Rendra yang terasa sedingin es. Sambil tangannya menangkup pipi Rendra. Berusaha menyalurkan kehangatan agar Rendra tak terlalu kedinginan.
Entah berapa lama ia tertidur, namun rasa panas menyengat yang tiba-tiba menyergap di sepanjang telapak tangan yang menempel di pipi Rendra membuatnya terperanjat.
"Abang?" dengan panik disentuhkan punggung tangannya ke dahi Rendra. Panas sekali. Berapa suhunya kira-kira?
Aduh, ia menepuk dahinya kesal, mereka bahkan belum memenuhi kotak first aid kit yang tertempel di dinding ruang tengah dengan perlengkapan standar pertolongan pertama. Kotak itu praktis hanya berisi betadine, plester penutup luka, alkohol, dan minyak but-but.
Sekali lagi disentuhkannya punggung tangan ke dahi Rendra. Kali ini terasa semakin panas. Dengan tersaruk-saruk ia mengambil baskom kecil, mengisinya dengan air hangat dari dispenser, kemudian mengambil handuk kecil, dan mulai mengompres dahi Rendra.
Beberapa kali ia sempat mengganti air kompresan dengan yang baru agar tetap hangat, untuk kemudian tanpa sadar jatuh terlelap di samping Rendra.
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu