Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kebingungan penghianat
"Kenapa lama sekali? Aku sudah lama nungguin kamu tahu nggak sih!" gerutu Arsylla saat Bryan baru sampai di tempat.
Wanita itu menunggunya dari tadi, dia menghubungi Bryan agar datang ke sebuah kafe. Arsylla yang memang sedang kesal merasa waktu satu menit berasa berjam-jam. Semua orang di sekitarnya seolah mengolok jika apa yang diinginkannya tidak akan pernah terjadi, padahal dia sudah merencanakan semua ini dengan matang.
"Aku tadi langsung ke sini setelah mendapat telepon dari kamu, jalanan juga macet sekali. Kamunya saja yang tidak sabaran. Lagian kamu ada masalah apa sampai memaksaku untuk datang cepat ke sini. Aku lagi bingung cari kerjaan belum juga dapat," sahut Bryan yang juga sedang kesal.
"Aku mau kamu sewain apartemen buat aku. Bagaimanapun aku seperti ini juga gara-gara kamu."
Bryan tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang dikatakan Arsylla. Dia yang menjadi korban di sini, tetapi wanita itu malah mengatakan jika dirinya tang korban. Sungguh wanita yang tidak punya urat malu. Tidakkah Arsylla berpikir dan menyesali apa yang sudah dilakukan? Dirinya saja menyesal kenapa wanita itu malah bersikap biasa saja tanpa adanya rasa bersalah.
"Apa kamu tidak salah orang? Bukankah kamu yang awalnya memperkenalkan Sahna padaku? Kamu juga merayuku agar mau menikahi Sahna dengan berbagai macam alasan tang keluar dari mulut manismu itu. Kamu tidak usah berpura-pura polos di depanku. Mungkin dulu kamu bisa membohongi Adisti, tapi tidak denganku. Apalagi sekarang aku tahu alasan kamu yang sebenarnya ingin menghancurkan Adisti dengan memperalat aku, tapi ternyata usahamu sia-sia. Adisti bahkan tanpa perasaan menghancurkanmu dan juga aku secara bersamaan. Seharusnya dari awal aku memikirkan semua ini baik-baik, tidak termakan dengan kata-katamu itu saja. Sekarang aku yang kehilangan semuanya."
Wajah Arsyilla memerah menahan amarahnya. Tidak cukup Adisti yang mengejeknya, kini sama Bryan pun sama. Tidakkah pria itu memikirkan perasaannya yang seorang wanita. Memang selalu seperti itu, manusia akan saling menyalahkan satu sama lain saat sedang tertimpa masalah.
"Kamu juga menikmati pernikahan itu, kan? Kenapa malah menyalahkanku atas semua yang terjadi. Seharusnya yang paling bersalah itu kamu. Kalau kamu tidak tergoda dengan Sahna, semua ini tidak akan terjadi jadi, tidak usah menyalahkanku. Adisti memang tidak pantas mendapatkan suami sepertimu. Aku juga menyesal menggunakanmu untuk balas dendam kepada Adisti."
"Kamu memang salah telah memanfaatkanku. Sampai kapan pun kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan Adisti karena kalian itu jauh berbeda. Sekuat apa pun kamu
Arsila semakin marah karena apa yang dikatakan Bryan, hampir sama seperti yang dikatakan Adisti jika dirinya bukan selevel dengan mantan sahabatnya itu. Namun, lagi-lagi egonya terlalu tinggi. Dia tidak ingin disalahkan atas semuanya karena bagaimanapun juga ini bukan murni kesalahannya seorang diri. Berdebat dengan Bryan pun tidak ada gunanya.
"Aku tidak ingin berdebat denganmu lebih panjang lagi. Yang penting sekarang aku ingin kamu menyewakanku apartemen. Aku tidak tahu lagi harus tinggal di mana, aku juga harus mencari pekerjaan yang lain," pungkas Arsylla.
"Kamu pikir aku tidak sama sepertimu? Aku juga sekarang jadi gembel, tidak punya apa-apa."
Arsylla membuang napas kasar, dia memang belum tahu apa yang terjadi pada Bryan, tetapi wanita itu yakin jika keadaan temannya itu tidak beda jauh dengannya. Sekarang semua jalan sudah buntu baginya, tidak ada lagi tempat untuk berteduh.
"Baiklah, kalau begitu aku tinggal di rumahmu saja bersama Sahna."
"Rumah yang mana? Bahkan rumah itu sudah disita oleh Adisti."
"Apa! Kamu jangan bercanda!" pekik Arsylla yang memang belum mengetahui tentang hal itu.
Bryan dan Sahna juga belum menceritakan apa pun pada keluarga mereka yang ada di kampung. Jika semua orang tahu, pasti akan sangat marah besar. Arsylla pun akan terkena dampak juga karena dia yang mengenalkan keduanya.
"Apa aku seperti orang yang sedang bercanda? Aku serius, sangat-sangat serius."
Arsylla merutuki kebodohannya karena bisa seceroboh ini. Seharusnya dia sudah mewanti-wanti Bryan agar lebih hati-hati. Mereka belum mendapatkan apa-apa, terutama dirinya. Sekarang harus terhempas begitu saja tanpa mendapatkan apa pun. Kalau sudah seperti ini akan sangat sulit mengambil hati Adisti lagi.
Arsylla sangat mengenal bagaimana watak mantan sahabatnya itu. Sekali wanita itu dikhianati, maka dia akan sangat sulit untuk percaya kembali. Begitu pula sebaliknya, sekali Adisti percaya pada seseorang, maka dia akan menaruh seluruh kepercayaan itu pada orang tersebut, sama seperti padanya. Dulu Arsylla begitu pintar memanipulasi keadaan dan sekarang malah sebaliknya, dia harus kehilangan banyak. Wanita itu mengakui jika Adisti adalah teman yang baik, mau membantu tanpa bertanya alasan dengan jelas.
"Rencanamu sekarang apa?" tanya Arsylla pada akhirnya. Dia sudah tidak bisa berpikir lagi, entahlah harus berbuat apa.
"Bukankah biasanya kamu yang banyak akal? Kenapa sekarang malah bertanya padaku? Aku sekarang saja sudah sangat bingung tidak bisa memikirkan apa pun. Apalagi Sahna sekarang sedang hamil, sementara aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Kartu ATM juga sudah diblokir oleh Adisti."
Adisti menghela napas panjang. Ternyata hidup Bryan lebih mengenaskan daripada dirinya. Setidaknya dia masih memiliki tabungan, sedangkan milik pria itu sudah habis semuanya tanpa sisa. Tentu saja tidak sulit bagi Adisti melakukan semua itu. Apalagi dengan bantuan orang-orang hebat yang ada di sekitarnya.
"Kamu sudah hancur sampai sejauh ini, tapi kenapa kamu tidak memiliki rencana apa-apa? Seharusnya sebagai kepala rumah tangga kamu bisa tegas dan mengusahakan untuk keluargamu. Apalagi istri keduamu juga sedang hamil," ucap Bryan dengan kesal, dia menganggap pria itu seperti enggan bertanggungjawab dan pasrah dengan keadaan tanpa mau berusaha.
Bryan menatap Arsylla dengan sinis. "Kamu tidak usah mengajariku tentang apa yang harus aku lakukan pada keluargaku, terserah aku mau memperlakukannya bagaimana. Dia istriku, kamu sendiri yang sudah mengirimnya padaku jadi, tidak usah terlalu ikut campur. Sudah bagus aku menikahinya karena mengikuti perintahmu, sekarang saat aku hancur kamu malah tidak mau bertanggung jawab."
"Kenapa aku harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan? Memang benar aku yang menawarkan sepupuku padamu, tapi kalau kamu punya kesetiaan yang tinggi, kamu tidak akan menghianati istrimu. Kamu saja yang mudah terpengaruh pada orang lain, malah menyalahkanku. Seharusnya kamu itu introspeksi diri."
Tanpa berpamitan, Arsylla pergi meninggalkan Bryan begitu saja. Percuma juga mengundang pria itu untuk datang dan berbicara berdua, nyatanya mereka sama-sama jatuh miskin. Wanita itu pergi dengan membawa mobilnya, bingung harus ke mana lagi. Dia memang punya uang, tetapi hanya cukup bayar kos-kosan. Uang untuk sehari-hari sudah tidak ada lagi karena kemarin harus membayar uang yang diambilnya dari kantor.