"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Aku Takkan Kembali!
..."Tak ada lagi ruang setitikpun di dalam hatiku. Pergilah. Mari kita jalani hidup di jalan masing-masing. Antara aku dan dirimu, hanya ada luka yang tersisa."...
...\~ Serena Azura Auliana \~...
***
Serena duduk di ujung ranjang. Matanya tak pernah lepas dari layar gawai yang menampilkan nomor telepon pribadi seseorang.
Cukup lama ia terdiam dalam keheningan. Ragu bercampur dengan jantung yang berdegup kencang.
Setiap kali merasa gelisah, ia akan menggigit bibirnya tanpa sadar.
"Ini terakhir kali. Aku harus menyelesaikan semuanya." Ia berbisik lirih.
Setelah beberapa detik terdiam, ia menarik napas dalam-dalam. Jari telunjuknya kemudian menyentuh ikon hijau di layar-tanda panggilan dimulai.
Sekian detik, terdengar bunyi ponsel yang berdering. Tak lama setelah panggilan tersambung, suara seseorang yang tak asing menyambut di seberang sana. Suara yang dulu membuat hatinya merasa nyaman, kini hanya menyisakan perasaan getir dan sesak yang tak lagi tertahankan.
"Serena? Kau menelponku?" Suara Brian terdengar begitu bahagia dan antusias.
Namun, Serena hanya diam. Berusaha menyusun napas yang tiba-tiba membuatnya merasa tak nyaman.
"Aku menelponmu bukan untuk menyenangkanmu. Sebenarnya, apa yang kau mau? Buat apa kau sampai menelpon ke kantorku? Kau masih saja hanya memikirkan dirimu sendiri, Briansyah!" Suara Serena terdengar datar, tapi ada kemarahan yang siap meledak kapan saja di baliknya.
"Aku hanya ingin tahu kabarmu. Setelah semua ini ... aku-"
"Setelah semua ini? Kau pikir normal menghubungi kantorku? Kau pikir aku akan senang?" Nada Serena meninggi, matanya mulai berkaca-kaca. "Kau benar-benar sudah kelewat batas!"
Brian menghela napas. "Aku nggak punya pilihan lain, Re. Aku cuma ingin membuatmu, mendengarkan ku meski hanya sekali saja."
Serena mengatupkan rahangnya. "Lalu setelah itu apa?" bisiknya tajam. "Setelah itu, kau mau menyeretku lagi dalam hubungan yang hanya seperti neraka bagiku?"
"Serena-"
"KAU BENAR-BENAR GILA!" teriak Serena dalam kemarahan yang meledak tanpa bisa ditahan.
Brian terdiam. Lalu berkata dengan lirih, "Kau benar, Re. Aku benar-benar sudah gila, karena aku nggak mau kehilanganmu."
Serena menutup wajahnya, tubuhnya mulai bergetar. Ia mencoba menahan air mata, tapi gagal. Tangis itu akhirnya pecah. Tangis yang dipenuhi dengan amarah, kecewa, dan gambaran dari perasaannya yang telah hancur berkeping-keping.
Mendengar Serena menangis, suara Brian berubah panik.
"Re, kamu menangis? Maafkan aku, Re. Aku minta maaf padamu. Aku benar-benar minta maaf. Tolong ... beri aku satu kesempatan terakhir. Aku janji akan berubah. Aku bersumpah, aku akan jadi seperti yang kau harapkan ...."
Serena menarik napas gemetar. Dia tidak boleh dibutakan oleh perasaan marahnya. Dalam keadaan marah, seseorang bisa saja kehilangan akalnya, dan Serena tidak ingin hal itu terjadi. Bagaimanapun juga, dia harus tetap waras dalam menghadapi Brian.
"Kenapa baru sekarang, Brian? Kenapa baru sekarang kamu meminta maaf setelah semua yang terjadi? Tujuh tahun aku berjuang sendirian. Tujuh tahun aku berharap kau berubah. Tujuh tahun aku terus meminta, memohon ..., bahkan mengemis padamu!"
Brian terdiam. Tak ada kata-kata pembelaan yang cukup kuat untuk membela dirinya.
"Aku marah, aku terluka, dan aku selalu memohon padamu. Tapi kau selalu menganggapnya lelucon!" Serena tersedu. "Kau sudah membuatku gila. Kau membuatku selalu meragukan diriku sendiri. Kau tahu, rasanya seperti apa? Rasanya seperti membentur tembok yang tak pernah runtuh!"
"Serena ...." Brian memanggil pelan, suaranya nyaris berbisik, dan terdengar putus asa.
"Kau tahu apa yang paling menyakitkan?" suara Serena bergetar, terdengar begitu pilu "Kau baru datang sekarang. Setelah aku menyerah. Setelah aku kehabisan tenaga. Setelah aku mulai menyusun hidupku sendiri untuk tidak bergantung padamu lagi. Setelah aku sadar, bahwa aku layak bahagia."
Brian menahan napas. "Tapi aku akan datang, Re. Tiga bulan lagi aku ke sana. Aku akan menikahimu. Kita akhiri LDR ini. Kita mulai dari awal."
Serena tertawa miris. "Menikah? Dari awal?" tawanya menyayat. "Brian, tak ada awal yang bisa dibangun dari reruntuhan seperti ini. Hubungan kita bukan rumah yang bisa diperbaiki. Ini puing. Dan aku ... aku sudah terlalu capek mengais serpihannya sendirian."
"Kau .... sungguh tidak menyisakan apa pun untukku?" Brian bertanya, lirih. "Sedikit saja ... rasa itu ... masihkah ada?"
Serena menatap kosong ke depan. "Yang tersisa hanya luka. Dan luka itu ... tak mencintaimu, Briansyah."
Jeda sejenak. Dada Serena semakin sesak. Namun, masih ada beberapa hal yang harus dia sampaikan pada Brian. Ini untuk yang terakhir kalinya.
"Datanglah kalau kau mau. Tapi jangan harap aku akan menyambutmu. Aku akan mengusirmu. Dengan tanganku sendiri. Aku tidak akan menikah dengan pria yang selama tujuh tahun hanya memberiku rasa sakit, harapan palsu, dan pengkhianatan. Apa kau pikir, aku hanya boneka yang tak berperasaan?"
"Serena, aku ...."
"Cukup! Aku memohon padamu sekali lagi, jangan lagi ganggu aku. Aku juga ingin bahagia. Kenapa kau dan dunia terus menyakitiku?! Kalau kalian tidak bisa memberiku bahagia, setidaknya ... menjauhlah! Biarkan aku mencari kebahagiaanku sendiri."
Satu tarikan napas terakhir, sebelum Serena menyampaikan peringatannya. "Ini terakhir kalinya, Briansyah. Aku dengar kau melakukan sesuatu lagi, aku tidak akan diam."
Klik. Telepon diputus.
Serena menunduk dan menangis sejadi-jadinya. Tangisan keras yang menggema di seisi ruangan. Ia tak tahu apakah itu karena luka, kecewa, atau kelegaan karena akhirnya berani melepaskan salah satu belenggu yang terus mengikatnya dalam penderitaan.
Ternyata, rasanya seperti ini. Tidak terlalu buruk seperti yang Serena bayangkan.
Di sisi lain dunia, Brian masih menggenggam ponsel di tangannya. Sunyi. Suara Serena tak lagi terdengar, tapi kata-katanya terus bergaung di kepala pria berusia 24 tahun itu.
Ia terpejam, kepalanya tertunduk, dan dadanya terasa akan meledak karena sesak.
"Seandainya aku berhenti lebih awal ... Berhenti menyakitinya, berhenti mengejar egoku sendiri, berhenti pura-pura tidak peduli ... Mungkin Serena tak perlu hancur sejauh ini. Akulah yang bodoh, karena sudah menyakiti hatinya."
Air matanya menetes. Ia menangis tanpa suara. Ia telah kehilangan sesuatu yang paling berharga, bahkan hatinya sendiri tahu ... Serena takkan pernah bisa ia dapatkan kembali.
"Aku akan tetap menepati janjiku, Serena. Aku akan datang padamu. Kita akan menyelesaikan ini dengan bertemu secara langsung. Aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri, bahwa kamu memang tidak menginginkanku lagi. Tapi jangan harap, aku akan menyerah padamu, Serena."
***
Tangis Serena perlahan mereda. Sisa-sisa isak masih terdengar di sela napas yang tersengal. Ia merebahkan diri di atas kasur, matanya menatap kosong ke langit-langit.
Kantong matanya mulai tampak membengkak. Serena harus melakukan sesuatu sebelum matanya semakin membengkak.
Hening beberapa saat, sampai tiba-tiba ponselnya kembali bergetar.
Serena melirik malas, tapi dia mengangkat ponselnya dan membaca nama yang terpampang di layar.
Alisnya berkerut saat membaca pesan dari layar ponsel yang cahayanya sedikit menyilaukan.
Rupanya, pesan itu dikirim oleh Claudia.
[Claudia:
Serena, besok pagi aku mau ngajak kamu ikut kajian. Jam 10 pagi, ya. Aku jemput kamu jam 9. 😊 ]
Serena terpaku beberapa detik. Kajian? Dia tidak pernah datang ke acara seperti itu sebelumnya. Rasanya seperti akan datang ke dunia yang terasa asing, tapi ... tidak terdengar menakutkan sama sekali.
Pesan susulan masuk:
[Claudia:
Btw Serena punya gamis untuk dipakai besok? Kalau nggak ada, Mbak bawa aja beberapa punya Mbak yang masih bagus dan jarang banget dipakai🤭😉]
Serena mengernyit kecil. Dia benar-benar melupakan satu hal yang paling penting sebelum ikut pergi ke acara rohani seperti itu, yaitu memiliki pakaian yang pantas dan sesuai dengan tempatnya.
Ia meletakkan gawai di kasur, kemudian berjalan menuju ke lemari pakaian. Memeriksa di dalamnya, apakah ada baju yang masih pantas untuk dipakai pergi ke acara esok hari.
Tangannya menggeser satu per satu gantungan baju.
Kemeja kantor. Kaos oblong. Sweater. Celana jeans yang sudah mulai pudar warnanya. Tak ada satupun rok panjang. Apalagi gamis.
Ia menghela napas kecil. Pandangannya kembali ke layar ponsel. Ia mengambil benda pipih itu, lalu jari-jarinya mulai mengetik pelan.
[Serena:
Aku nggak punya gamis. Cuma celana jeans biasa, itu pun nggak terlalu longgar😔]
Ia menatap ketikan itu sejenak sebelum akhirnya dikirim ke nomor Claudia. Ada sedikit rasa malu, sebenarnya. Tapi, dia akan jujur dengan kondisinya saat ini.
Serena mencoba mempertimbangkan banyak hal, memaksa membeli yang baru, rasanya terlalu boros. Jika membeli baru pun, harga gamis sepertinya tidaklah murah, kecuali jika kualitasnya nggak terlalu bagus.
Tak lama kemudian, Claudia membalas.
[Claudia:
Nggak apa-apa banget! Mbak bawain gamis dan kerudungnya sekalian🥰.]
Serena tersenyum tipis. Hatinya terasa sedikit lebih ringan. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa tidak sendiri.
[Serena:
Terima kasih, Mbak☺️.]
Pesan itu terkirim.
Bersambung
Senin, 25 Agustus 2025