Asti hanya tinggal berdua dengan Bude Ayu di sebuah desa di daerah paling timur di Jawa Tengah.
Dalam usianya yang hampir 22 tahun, tak ada seorang pemuda pun yang mau menjalin hubungan dengan gadis itu karena Asti terkena kutukan setelah kakek dan ayahnya dulu membuka jalan desa membelah hutan bambu yang terkenal angker. Satu demi satu anggota keluarga Asti meninggal dimulai dari ayahnya sebelum dia dilahirkan.
Kini dia kehilangan Bude Ayu, satu- satunya keluarga yang tinggal. Sehingga Asti berniat meninggalkan desa itu bersama kutukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atin Supriyatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Adat istiadat dan Kebiasaan
Sebenarnya, Satrio agak ragu-ragu membawa Asti pergi ke desa Sendang Mulyo untuk memperingati seratus hari meninggalnya Bude Ayu. Namun Asti tetap ngotot ingin pergi!
Tak peduli kalau perutnya yang buncit itu masih tidak nyaman untuk dibawa bepergian jauh. Dokter sudah memberi Asti vitamin dan penguat kandungan setelah Satrio mengatakan akan membawa istrinya berpergian agak jauh ke desanya.
Maksud Satrio, bukan jarak tempuh yang harus diperhitungkan. Desa itu jaraknya dari rumah tak sampai 60 dari kota tempat mereka tinggal. Tetapi emosi yang ditimbulkan karena suasana acara Yasinan tersebut yang akan mempengaruhi batin Asti yang masih selalu merasa kehilangan wanita itu yang peranannya melebihi seorang ibu kandung.
Benar saja, Asti langsung tergolek lemah di kamarnya setelah mereka baru datang beberapa menit saja ke rumah joglo itu. Di kamar itu, Asti sudah dikerumuni beberapa ibu dari tetangga kanan dan kiri rumah.
Di sana ada Ibu Haji Anissa, Mbah Parto sampai Mbak Cici. Selain sudah lama mereka tidak bertemu satu-satunya keponakan Almarhum Bude Ayu itu, mereka juga sangat antusias dengan kabar kehamilan Asti, pada saat Bude Ayu meninggal.
"Nggak apa-apa, Bu. Asti cuma agak mual saja!" Ucap Asti lemah.
Dia tahu kedatangan para ibu tetangga ini sebenarnya untuk membantu Bulek Ratih masak, bukan menjaga dia dan kehamilannya.
Satrio yang sangat sigap dengan keadaan istrinya itu. Dia segera memijat kedua kaki Asti yang agak kram, karena duduk agak lama di dalam mobil. Menurut Dokter Saskia yang menangani kehamilan Asti, justru janin di rahim Asti tumbuh baik dan sehat .
Setelah Magrib, para tetangga yang telah diundang untuk Yasinan berdatangan ke rumah joglo peninggalan almarhum Mbah Harjo Winangun. Mereka para bapak itu dipandu oleh Pak Haji Anwar untuk pembacaan surat Yasin dan mendoakan Bude Ayu almarhumah dan anggota keluarga Asti lainnya dari ayahnya, Mbah Putri Sri Sumarsih dan Mbah Kakung Harjo Winangun.
Suara merdu Pak Haji Anwar saat melantunkan doa pembuka itu terasa sangat syahdu. Mereka membaca surat-surat lainnya dalam doa yang sangat khusyuk.
Sementara di dalam kamar Asti, Satrio sambil memeluk erat tubuh istrinya yang tampak ikut berdoa sambil meneteskan air mata. Ada rasa sedih, kehilangan dan rindu pada keluarganya yang telah tiada. Namun doa terus dilantunkan dari bibir Asti dalam nada tak bersuara.
Sampai doa telah diakhiri oleh Pak Haji Anwar. Satrio segera keluar dari kamar. Tadi dia meminta Asti berbaring sebentar. Di depan ruangan Satrio ikut duduk bersama Lek No sebagai tuan rumah.
Para Ibu yang berada di dalam ruang makan segera yang membantu Bulek Ratih mengeluarkan baki-baki berisi gelas minuman kopi juga jajanan pasar dalam piring-piring.
Para tamu itu bercakap-cakap sambil menikmati kopi panas dan beragam kue-kue. Sementara bapak yang mau merokok, berjalan ke depan teras.
Setelah para tamu selesai menikmati hidangan berupa kue-kue tradisional tersebut. Ibu-ibu mengeluarkan berkat dalam kotak kardus yang dimasukan dalam tas kresek merah.
Kresek itu digeser satu persatu, sampai masing-masing tamu mendapat satu berkat. Terkadang bapak - bapak itu mau juga membawakan berkat itu pada tetangga yang diundang namun tidak dapat hadir.
Isi berkat itu berupa nasi, sambel goreng kentang, ada sepotong ayam dimasak bumbu kecap. Kadang ditambahkan dengan sebutir telur dan beberapa masakan sayuran seperti capcay , acar wortel timun atau tumis buncis.
Makanan itu biasanya dimasukan dalam beberapa plastik kantong yang lebih kecil dan transparan agar lebih pantas dan tidak tercampur satu sama lain. Semua itu ide dari Ibu Hajjah Anissa yang pernah diperlihatkan oleh sanak saudara yang tinggal di kota besar seperti di Jakarta.
Kesibukan di dapur hampir selesai, saat ibu-ibu pun juga pulang setelah membawa berbagai makanan dan kue-kue pemberian Bulek Ratih. Ada beberapa ibu yang tadi diberi amplop oleh Asti karena wanita itu yang sejak dua hari lalu sudah sibuk membantu Bulek dari berbelanja, sampai mengolah berbagai masakan.
" Sehat Asti, besok kita ke makam Budemu sekaligus makam anggota keluarga yang lain. Nanti kamu dibonceng Lek No!" Kata Bule Ratih sambil pamit untuk kembali ke rumahnya lewat jalan pintas di samping gudang.
Besok pun Satrio akan kembali ke kantornya di kota, lusa dia harus berangkat keluar kota untuk urusan dinas selama empat hari. Sebelum ke desa, Asti sudah merapikan satu koper kecil pakaian Satrio untuk dibawa bepergian dalam tugasnya .
Pagi harinya, rombongan Asti datang dengan tiga motor. Selain Asti yang dibonceng motor oleh Lek No,ada juga Bule Ratih, Ibu Haji Anissa juga Bude Prapti. Keadaan makam di desa memang seperti ini, agak kurang rapi dengan penataan tiap makamnya
Pagar pembatasnya hanya dari pagar bambu. Pohon - pohon kamboja yang menanungi tempat itu yang menunjukkan kalau itu adalah tempat pemakaman umum. Namun semua keluarga dan keturunan dari Winangun diberi lahan tersendiri yang letaknya ada di bagian Utara makam.
Makam - makan itu cukup rapi dengan diberi nisan dari potongan marmer yang terdapat nama-nama orang yang telah tiada. Bahkan di sisi masing makam diberi alas rumput halus.
Bulek Ratih agak terkejut, karena makam Bude Ayu sudah dipenuhi bunga setaman yang nampaknya masih segar dan baru. Siapakah yang telah mendatangi makam itu sebelum keluarganya datang?
Sepertinya Bulek Ratih punya beribu pertanyaan yang ada di kepalanya saat ini. Namun dia tak berani membicarakan hal ini kepada Asti, takut menambahv senewen ibu hamil ini.
Kemarin Satrio sudah curhat kalau sikap dan tingkah laku Asti berubah 180 derajat sejak dia hamil. Semakin cerewet, bawaannya cemas dan lebih suka di rumah, daripada mengenal tetangga barunya di perumahan itu.
Lek No menyuruh Satrio lebih banyak sabar dan selalu memberinya dukungan. Apalagi Asti tidak mempunyai anggota keluarga terdekat lagi setelah meninggalnya Bude Ayu. Kecuali dia dan istrinya yang tinggal jauh terpisah dari Asti dan suaminya.
"Jangan nangis, Asti. Ikhlas dan doakanlah mereka! "Bisik Ibu Haji Anissa mengingatkan.
Makam Bude Ayu masih berupa gundukan tanah merah dengan nisan dari bilah papan kayu. Menurut adat setempat, makam itu belum boleh dibuat secara permanen sebelum berusia lebih dari satu tahun. Untuk memberi pondasi di sekeliling makam dengan batu bata dan semen saja harus mengadakan upacara dulu, atau selamatan.
Tampaknya Lek No yang rajin mengurus makam dari anggota keluarga Asti. Sebab pria itu merasa berhutang budi, diangkat oleh Pak Harjo Winangun dari lembah kemiskinan yang pada saat itu daerah mereka mengalami berbagai bencana. Dari hama wereng yang menghancurkan ribuan hektar tanaman padi, gagal panen dan musim pancaroba yang berkepanjangan.
Mereka tidak terlalu lama berada di makam itu, karena ada dua penjaga makam yang sudah diberi upah oleh Lek No untuk mengurus dan menjaga makam keluarga Winangun.
Dari kejauhan mata Asti melihat deretan makam dari cikal bakal keturunan Winangun. Pada posisi paling timur ada sepasang makam yang bentuk bangunan lebih tinggi dengan model nisan seperti candi yang disebut cungkup, di situlah Makam Mbah Buyut Saridi Winangun dan Istrinya Ni mas Ayu.
Di sampingnya ada Makam Ayahnya, Bagas Prasetyo Winangun. Pria itu bahkan tidak sempat menunggu kelahiran Nastiti Anjani, karena sebulan sebelumnya tewas dalam kecelakaan di jalan tol. Bersanding dengan makam ayahnya, adalah Makam Mbah Putri Sri Sumiarsih, yang tanggal beliau meninggalnya hanya beda tahun, namun kalau dihitung tak sampai 6 bulan setelah kematian putra kebanggaannya.
Tak jauh dari Makam itu juga ada makam Mbah Harjo Winangun, beliau masih sempat merawat cucu tunggalnya, Asti sampai berusia 15 tahun. Sekarang di makam yang masih berupa gundukan tanah itulah Ayu Sulaksmi, Kakak ayahnya yang telah mengurus dan merawatnya sejak dia berumur 10 bulan sampai dia berumah tangga.