Kadarsih terobsesi ingin mempercantik diri dengan memakai pelet pengasihan lintrik untuk membalas semua dendam dan sakit hatinya kepada orang-orang yang sudah merendahkan, menghina, mencaci, menghujat, membully dan membunuh kedua buah hatinya. Pelet ini membuat seseorang suka dan jatuh cinta kepada pemakainya. Orang yang terkena pelet ini hidupnya akan seperti mayat hidup.
Untuk memiliki pelet tersebut, Kadarsih harus berusaha keras mengikuti ritual demi ritual dan menjadi sekutu iblis. Karena untuk memiliki ilmu lintrik, pemakainya harus memiliki mental yang kuat dan nyali yang besar.
Bagaimana kisah horor selanjutnya? Ayo ikuti kisahnya...
Jangan boomlike, baca pelan-pelan. Kasih dukungan dengan tap love, like, komentar, dan bunga.
Kisah ini hanya sekedar pandangan dari penulis saja, mohon maaf jika ada kesamaan nama, tempat atau kejadian...🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cahyaning fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23 : Pengakuan
"Dok, Bagaimana kondisi suami saya?" cemas Bu Darno.
"Maaf, Bu. Dengan berat hati, kami menyampaikan bahwa suami Ibu tidak bisa bertahan. Dia beristirahat dengan tenang disisi Tuhan," ucap Dokter. Seketika dunianya gelap, kepalanya berputar-putar, tidak mampu menerima kenyataan bahwa suaminya telah meninggal ditangannya sendiri.
"Pah, bangun! Maafkan Mama, Pah!" tangis Bu Darno pecah, "Mama salah, Pah!"
"Sabar ya, Bu!" suster berusaha untuk menguatkan Bu Darno.
"Bagaimana saya sabar, Sus. Suami saya meninggal di tangan saya sendiri!" isak Bu Darno. Suster yang mendengar pernyataan wanita itu, sempet tercengang.
"Bangun, Pah! Bangun!" isak Bu Darno semakin keras.
"Mama nggak bisa hidup tanpa papa," ucapnya lagi, "Mama mohon bangun, Pah!"
Hiks ... Hiks ... Hiks
Setelah dimandikan dan dikafani, jenazah Pak Darno dibawa pulang oleh ambulans untuk dimakamkan. Terpasang bendera kuning di depan rumah Bu Darno. Dan rumah itu sudah ramai oleh warga yang datang untuk melayat.
Kadarsih dan suaminya juga datang untuk melayat. Semua mata menatap ke arah pasangan itu. Namun Kadarsih dan suaminya bersikap biasa. Mereka mengulas senyum ke arah mereka.
"Bu, kami turut berdukacita atas meninggalnya suami ibu!" ucap Rokhim. Bu Darno menatap ke arah keduanya. Tatapannya sangat tajam, namun karena banyak orang Bu Darno hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis.
"Terimakasih," jawabnya.
Setelah acara pemakaman selesai, semua warga pulang ke rumah masing-masing. Bu Heni dan Bu Wati mengajak Bu Darno pulang, tapi wanita itu masih saja menangis. Begitu pula dengan Mario. Anak itu menangis pilu sambil memanggil nama ayahnya. Bu Wati dan Bu Heni sangat iba melihat kejadian tersebut.
"Sudah, Nak. Ayo kita pulang!" ajak Bu Heni.
"Mario masih ingin disini," ucap Mario masih menangis.
"Ini sudah sore, Nak. Besok Mario dan Mama bisa kesini lagi. Lagian sebentar lagi juga akan hujan!" ucap Bu Wati.
"Pokoknya Mario masih ingin disini," ujarnya.
"Bu Darno, Ayo kita pulang! Sebentar lagi akan hujan!" ajak Bu Heni.
"Iya," sahutnya, "Mario, Ayo kita pulang, Nak! Besok kita ke makam Papa lagi!" ajak Bu Darno ke anaknya.
"Papa, Jangan tinggalkan Mario!" isaknya.
"Sudah, Sayang. Ayo kita pulang!"
Setelah dibujuk sekian cara akhirnya Mario menurut. Mereka semua meninggalkan pemakaman. Pemakaman terasa sepi dan sunyi.
Kadarsih berdiri agak jauh dari tempat Bu Darno dan lainnya. Setelah mereka pergi, barulah Darsih mendekat ke pemakaman itu. Darsih nampak mengulas senyum tipis.
"Ini adalah pembalasan yang harus Kau terima. Kau mati ditangan istrimu sendiri!" ucap Darsih seraya menyebarkan bunga di pemakaman pria yang sudah memperkosa dan memfitnahnya dulu, "Aku masih ingat, betapa kejamnya kamu, Darno. Kamu sudah memperkosaku. Dan kamu juga tidak berani mengakuinya di depan warga desa. Dan istrimu memfitnahku dengan keji. Dan karena kalian semua, aku kehilangan kedua buah hatiku. Anakmu juga akan segera menyusul mu, Darno!"
"Ha ... Ha ... Ha." gelak Kadarsih. Dia begitu senang bisa melihat Darno mati secara mengenaskan. Bahkan, pria itu mati dibunuh oleh istrinya sendiri.
Setelah urusannya selesai, Darsih pun pergi dari pemakaman itu. Dia khawatir ada orang yang curiga melihatnya berlama-lama di makam Pak Darno.
Kasus meninggalnya Pak Darno secara tiba-tiba mengundang banyak pertanyaan di benak warga desa. Apalagi setelah kejadian itu sikap Bu Darno agak berbeda. Dia jarang keluar rumah, dan sangat tertutup. Biasanya jam siang, dia akan bergosip dengan ibu-ibu sekitar. Namun berhari-hari, wanita itu tidak terlihat batang hidungnya.
Dua hari yang lalu dua polisi datang ke rumah Bu Darno. Mereka menyelidiki kasus meninggalnya Pak Darno secara misterius. Setelah kedatangan dua polisi itu, rumah Bu Darno nampak sepi. Sepertinya wanita itu dan juga anaknya tidak ada di rumah. Tentu saja membuat opini di kalangan warga desa Sukaharjo.
Satu Minggu kemudian, Polisi kembali datang ke rumah Bu Darno. Namun bukan untuk mencari bukti, tapi menangkap pelaku pembunuh Pak Darno.
"Tidak, Saya tidak bersalah. Bukan saya pelakunya. Saya tidak bersalah!" teriaknya.
"Ayo, ikut kami. Ibu bisa menjelaskan ini semua dikantor polisi," ujarnya.
"Saya nggak bersalah, Pak. Saya mohon jangan tangkap saya!" ucap Bu Darno berteriak-teriak.
"Sudah saya bilang, Saya tidak bersalah! Saya tidak membunuh suami saya. Saya sangat mencintai suami saya. Mana mungkin saya membunuh," ujarnya.
"Tapi semua bukti mengarah kepada ibu!" ujar Pak Darno.
"Saya tidak mau ikut!" Bu Darno bersikeras mengatakan kepada polisi bahwa dirinya tidak bersalah.
Warga yang melihat aksi tarik menarik antara polisi dan Bu Darno menjadi perhatian bagi warga sekitar. Mereka sangat penasaran, dan mereka ingin lebih tahu apa yang sedang terjadi.
Mario yang melihat Mamanya akan dibawa oleh polisi, dia berlari dan mendekap tubuh sang Mama. Anak kecil itu menangis sambil memeluk mamanya, supaya tidak dibawa ke kantor polisi. Yang dia tahu, jika seseorang dibawa ke kantor polisi pasti tidak akan kembali. Mario menangis sedih.
Keributan yang terjadi di rumah Bu Darno mengundang banyak perhatian warga desa, terutama Bu Heni dan Bu Wati. Mereka mendekat untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Bu Heni sangat iba dengan keadaan Mario. Anak itu menangis histeris melihat Mamanya dibawa oleh dua polisi. Bu Heni memegang tangan Mario dan berusaha untuk menenangkan hatinya.
Dikantor polisi, Bu Darno ditanyai banyak pertanyaan. Awalnya dia tidak mau mengaku. Namun Polisi terus mendesak supaya mengaku. Akhirnya, wanita itu mengaku juga. Dia mengaku kalau dirinya yang sudah membunuh suaminya.
"Apa alasan ibu membunuh suami Ibu sendiri?" tanya Polisi dengan tegas.
"Suami saya menarik tangan saya. Dia menyuruh saya untuk mengakui kesalahan yang pernah Saya dan suami lakukan kepada seseorang," jawab Bu Darno. Polisi nampak mengerutkan keningnya.
"Maksud Ibu?"
"Beberapa bulan yang lalu. Saya memergoki suami saya sudah berselingkuh dengan seorang janda muda bernama Kadarsih. Setelah suami saya mengaku, ternyata suami saya yang telah memperkosanya. Saya sangat marah, saat itu. Saya gelap mata dan ingin membalas rasa sakit hati saya. Saya pun memfitnah wanita itu hingga terusir dari desa. Dan semua warga desa percaya. Mereka pun secara beramai-ramai mengusir wanita itu dari desa. Dan akhir-akhir ini, suami saya sangat aneh sikapnya. Dia sering melamun dan marah-marah. Dia selalu menyebutkan nama Kadarsih. Dan siang itu dia menarik tangan saya untuk mengakui semua perbuatan saya di depan Pak RT dan warga desa. Saya ketakutan dan sempat memberontak. Tapi, suami saya terus menarik tangan saya. Saya meraih benda, dan memukulkan ulekan di kepala suami saya!" jujur Bu Darno sambil menangis.
"Tolong jangan penjarakan saya! Saya tidak mau tidur disini, Pak! Anak saya masih kecil!" isak Bu Darno.
Hiks ... Hiks ... Hiks
Beberapa menit kemudian, wanita itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian menangis dan kembali tertawa. Pihak polisi terpaksa harus menahan Bu Darno di kantor polisi.
to be continued ....
jd ga seruu
ketemu novel ini, tenaga naik seribu watt
hahah