Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Ruangan meeting di lantai 18 gedung Starlight Entertainment terasa seperti sebuah kapsul yang terisolasi dari dunia luar. Dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memamerkan pemandangan megah Jakarta, sementara interiornya didominasi warna abu-abu tua dan aksen kayu hitam, memancarkan aura profesional dan elegan. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dari marmer hitam dikelilingi oleh kursi kulit mewah.
Jessy Sadewo duduk dengan postur sempurna, meski jantungnya berdebar-debar penuh antisipasi. Dia mengenakan blazer putih dan celana tailoring hitam yang membuatnya terlihat seperti eksekutif muda, namun tidak bisa menyembunyikan kecantikan alaminya yang memesona. Di depannya terbentar naskah video klip dan storyboard.
Di seberang meja, duduk pria yang menjadi pusat proyek ini: Arya Nata. Penyanyi yang namanya sedang melambung tinggi itu ternyata lebih impresif secara personal. Tingginya sekitar 185 cm, dengan bahu bidang yang mengisi jaket kulit hitamnya dengan sempurna. Tato sleeve yang rumit terlihat dari bawah lengan bajunya, memanjat hingga ke bagian lehernya, menambah aura misterius dan pemberontak. Namun, kontras dengan penampilannya yang 'bad boy', senyum yang dia berikan pada Jessy saat berkenalan tadi hangat dan ramah. Matanya, berwarna coklat tua, memancarkan ketenangan yang jarang ditemui di industri hiburan.
"Jadi, konsep video klip ini adalah dreamscape," jelas Bagus, sang sutradara berambut ikal dan berkacamata, sambil menunjuk storyboard. "Kita akan banyak menggunakan efek CGI dan chroma key. Jessy, kamu akan berperan sebagai personifikasi dari mimpi Arya. Kamu muncul dalam fragmen-fragmen kenangan indah, lalu menghilang, meninggalkan rasa rindu."
Deri, produser yang duduk di samping Bagus, menambahkan, "Kita shooting utama di studio 3 hari. Lokasi tambahan di rooftop untuk adegan senja, mungkin 1 hari. Jessy, kamu ready untuk jadwal padat?"
Jessy mengangguk percaya diri. "Siap, Pak."
Bimo, manager Arya yang duduk di sampingnya, kemudian berbicara dengan suara serius. "Kita harus perhatikan blocking dan chemistry. Arya, di adegan di perpustakaan, kamu lihat Jessy dari balik rak buku, tatapan harus penuh longing, seperti melihat hantu yang kamu rindukan."
Arya mengangguk, "Oke, Bim."
Jessy terkesan. Dia tidak menyangka seorang superstar seperti Arya begitu humble dan profesional. "Siap, Mas. Aku akan coba eksplor lebih dalam."
Proses reading pun dimulai. Suara Arya yang dalam dan berkarakter saat membacakan dialog membuat bulu kuduk Jessy berdiri. Begitu pula dengan Arya, dia terpana oleh kemampuan natural Jessy dalam mengekspresikan emosi hanya dengan tatapan matanya.
"Bagus sekali, Jessy!" puji Bagus setelah mereka menyelesaikan satu adegan penting. "Chemistry kalian di kamera nanti pasti akan amazing."
Arya tersenyum pada Jessy, sebuah senyum tulus yang membuat jantung Jessy, untuk sesaat, berdetak sedikit lebih kencang. "Setuju. Senang bisa bekerja dengan talenta yang begitu natural," pujinya.
Jessy membalas senyum, merasa disanjung oleh idola yang selama ini hanya dia lihat di layar. "Terima kasih, Mas Arya. Aku juga fans berat suara Mas Arya."
---
Setelah meeting berakhir dan jadwal syuting besok dikonfirmasi, Jessy diantar pulang oleh Deri. Pikirannya masih penuh dengan bayangan proses syuting besok dan sosok Arya Nata yang jauh lebih menawan secara personal.
Sesampainya di kamarnya yang mewah, dia buru-buru merebahkan diri di atas kasur balunya dan menelepon Rayyan. Wajahnya masih berseri-seri.
"Sayang...." sapa Jessy, suaranya riang dan menggoda.
Di ujung telepon, suara Rayyan terdengar datar, tapi ada nada kesal yang halus. "Akhirnya telpon juga. Dari tadi aku chat nggak kamu bales. Aku telpon nggak kamu angkat."
"Sorry..." nada Jessy menjadi manja, berusaha meluluhkan hatinya. "Eh, tau nggak kamu..." ujarnya, bersemangat untuk berbagi kabar.
"Apa?" tanya Rayyan, penasaran.
"Tadi aku meeting sama Arya Nata! Aku mau syuting video klip lagu dia!" seru Jessy, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Rayyan terdiam sejenak. "Siapa Arya Nata?" tanyanya, polos. Dunia Rayyan memang hanya berputar pada kampus, proyek elektro, dan Jessy. Tidak ada ruang untuk berita selebriti.
Jessy terkekeh. "Ih, kok kamu nggak tau sih! Itu penyanyi yang lagi booming banget, tau. Sumpah, dia ganteng banget pas liat aslinya," ujarnya, polos tanpa filter, matanya masih berbinar mengingat penampilan Arya.
"Oh... Ganteng." Suara Rayyan berubah. Nada datarnya menghilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih berat dan mendalam. Sebuah perasaan tak nyaman, panas, dan menusuk mulai menggerogoti dadanya. Kecemburuan.
Tapi Jessy, dalam euforianya, sama sekali tidak menyadari perubahan nada Rayyan. Dia terus berceloteh. "Iya! Lebih tinggi dari kamu kayaknya. Badannya berotot, tatonya keren banget. Dan suaranya... wah, live aja bagus banget, sumpah!"
"Tapi sayang dia udah punya pacar. Namanya Sherlin," keluh Jessy, seolah itu adalah berita duka.
Rayyan, yang sudah semakin tersiksa oleh gambaran pria tampan dan berotot yang membuat pacarnya begitu antusias, tak bisa menahan sindirannya. "Emang kalau dia nggak punya pacar, kamu mau jadi pacarnya?" suaranya terdengar tajam.
"Mau lah..." jawab Jessy spontan, terbawa suasana. Tapi dia segera menyadari kesalahannya. "Eh, nggak deh! Aku kan udah jadi pacarnya Mas Rayyan yang jenius," kekehnya, berusaha memperbaiki situasi.
"Jawaban pertama sih yang jujur," sindir Rayyan, rasa cemburunya semakin menjadi. Rahangnya mengeras saat dia membayangkan Jessy begitu terpesona oleh pria lain.
Jessy masih terkekeh, malu tapi tetap tak sadar betapa cemburunya Rayyan. Pikirannya masih melayang ke dunia gemerlap yang baru saja dia masuki.
"Duh, gimana ya kalau besok ada adegan ciuman," ujar Jessy tiba-tiba, berbohong untuk sekadar menggoda Rayyan. Dalam naskah, tidak ada adegan seperti itu.
Efeknya langsung terasa. Suara Rayyan tiba-tiba meninggi, penuh dengan protektif dan kecemasan. "Nggak bisa, Jes! Kamu cancel aja deh!"
Jessy terkejut dengan reaksinya yang keras. "Lho, kata kamu kemarin aku suruh cari kegiatan," bantahnya, sekarang sedikit kesal. "Sekarang aku ada project malah suruh cancel."
"Ya masa adegannya ciuman sih!" Rayyan tak terima, bayangan Jessy beradegan mesra dengan pria tampan berotot itu membuat darahnya mendidih.
"Kan cuma acting," balas Jessy, masih terkekeh, menikmati sedikit 'penderitaan' Rayyan. Baginya, ini adalah bukti bahwa Rayyan sangat mencintainya.
Tapi di ujung telepon, Rayyan Albar yang biasanya dingin dan terkendali, kini merasakan gejolak emosi asing yang menguasainya. Cemburu. Dan untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa rapuhnya dirinya ketika menyangkut Jessy Sadewo.
***
Jessy sedang asyik memilih outfit untuk syuting besok ketika ketukan pintu yang agak keras mengganggunya.
"Iya, sabar!" serunya, sedikit kesal.
Dia membuka pintu kamarnya yang lebar. Di baliknya, berdiri salah satu pembantu rumah tangganya dengan ekspresi sopan.
"Maaf mengganggu, Mbak Jessy. Ada Mas Rayyan di bawah," ujar pembantu itu.
Jessy terkesiap. Matanya membelalak. Rayyan? Di sini? Tanpa pemberitahuan? Hatinya langsung berdebar kencang, campur antara kaget dan senang. Tanpa pikir panjang, dia buru-buru menyusuri koridor marmer dan menuruni tangga yang megah.
Dia menemukan Rayyan di teras depan, membelakangi pintu masuk. Postur tubuhnya yang tegap dan tinggi terlihat jelas bahkan dari belakang. Dia tidak bergerak, tampak sedang menatap gazebo di kejauhan, tempat mereka menghabiskan banyak sore untuk belajar dan... jatuh cinta. Pundaknya tampak tegang, seolah ada beban berat yang dipikulnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Jessy melangkah mendekat dan merangkulnya dari belakang, menempelkan pipinya di punggung Rayyan yang hangat. "Sayang..." bisiknya lembut, suaranya penuh kelegaan setelah seminggu lebih tak berjumpa karena kesibukan mereka masing-masing.
Rayyan sedikit terkejut, lalu tubuhnya yang kaku perlahan-lahan melunak. Dia berbalik, wajah tampannya yang biasanya dingin kini terlihat lelah namun hangat. Matanya, seperti dark coffee yang pekat, menatap Jessy dengan intens. Tanpa banyak bicara, dia menarik Jessy ke dalam pelukannya, erat, seolah ingin memastikan bahwa dia benar-benar ada. Lalu, dengan penuh kelembutan, dia mengecup kening Jessy.
"Kangen..." bisiknya pelan, suaranya serak dan penuh perasaan. Dua kata itu terasa lebih bermakna daripada seribu puisi.
Jessy merasakan dadanya sesak oleh kebahagiaan. Dia memeluk Rayyan lebih erat. "Aku juga," balasnya, suaranya lirih.
Setelah beberapa saat dalam pelukan, Rayyan menarik diri sedikit. "Mau keluar?" tawarnya, sebuah senyum kecil yang langka muncul di bibirnya. "Ngedate ala rakyat miskin."
Jessy terkekah, senang melihat Rayyan kembali bersemangat. Dia mengangguk antusias. "Mau!"
Mereka pun berangkat menggunakan motor tua Rayyan yang setia. Saat Jessy mendekatkan diri untuk membelakanginya, Rayyan bertanya dengan suara rendah, "Kamu nggak malu kan pake motor butut?"
Jessy hanya memeluknya lebih erat dari belakang, menempelkan pipinya di punggung Rayyan. "Nggak... Asal drivernya kamu," jawabnya, tulus. Bagi Jessy, kemewahan mobil-mobil mewahnya tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa aman dan bahagia yang dia rasakan di dekat Rayyan.
Perjalanan mereka berakhir di sebuah pasar malam yang ramai dan penuh warna. Suara gemericik air mancur, teriakan penjual, dan musik dangdut yang riang menyambut mereka. Lampu-lampu warna-warni berkelap-kelip, menerangi wajah-wajah orang yang lalu lalang. Ini adalah dunia yang sama sekali asing bagi Jessy.
"Wah, rame banget!" seru Jessy, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Dia seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat sirkus.
Rayyan tersenyum, menikmati reaksi polos Jessy. Dia menggandeng tangannya erat, melindunginya dari kerumunan.
Mereka mencoba berbagai wahana. Jessy menjerit-jerit kegirangan saat mereka naik komidi putar, memeluk erat tangan Rayyan. Lalu, di rumah hantu, meski mulutnya mengaku tidak takut, Jessy nyaris melompat ke pelukan Rayyan saat sebuah hantu palsu tiba-tiba muncul. Rayyan, yang biasanya dingin, hanya tertawa geli melihat tingkah pacarnya.
Mereka juga menyantap berbagai jajanan yang bagi Jessy adalah petualangan baru. Dia mencoba gulali untuk pertama kali, wajahnya meringis manis lalu tersenyum. Dia memakan sate tusuk yang dibeli dari abang-abang dengan lahap, dan matanya berbinar saat mencoba pisang bakar yang hangat dan harum.
"Enak banget, Yan! Ini lebih enak dari dessert di restoran bintang lima!" serunya polos, membuat Rayyan tersenyum lebar.
Saat mereka sedang asyik menikmati jagung bakar, tetesan air hujan tiba-tiba mulai turun. Awalnya rintik-rintik, lalu tak lama kemudian berubah menjadi hujan deras yang mengguyur.
"Cepat, kita cari tempat teduh!" seru Rayyan, menarik Jessy berlari.
Mereka akhirnya berteduh di bawah tenda kecil sebuah warung kopi, bersama dengan puluhan pengunjung pasar malam lainnya. Ruangannya sempit, mereka berdesak-desakan. Bau tubuh, aroma kopi, dan wangi hujan bercampur menjadi satu.
Tapi Jessy tidak terlihat jijik atau tidak nyaman sama sekali. Sebaliknya, dia terus memeluk lengan Rayyan erat-erat, kepalanya bersandar di bahunya yang kuat. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar bahagia.
"Aku senang banget hari ini, Yan," bisiknya, hanya untuk didengar Rayyan.
Rayyan menatapnya, melihat bagaimana air hujan masih membasahi beberapa helai rambut Jessy, bagaimana dia tersenyum lepas di tengah keramaian dan kesempitan ini. Gadis kaya yang dulu arogan ini kini dengan tulus menikmati kencan sederhana bersamanya. Hatinya terasa hangat, dipenuhi oleh perasaan yang semakin dalam.
Hujan akhirnya reda. Rayyan mengantar Jessy pulang. Motor tua mereka berhenti di depan gerbang besi megah rumah Sadewo. Mereka berdua turun dan melepaskan helm.
"Makasih udah mau kencan ala rakyat miskin," ucap Rayyan, matanya menatap Jessy dengan lembut.
Jessy tersenyum, sebuah senyum yang tulus dan penuh cinta. "Asal sama kamu, kemanapun aku ikut," balasnya, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
Mendengar kata-kata itu, Rayyan tertegun. Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya: Bisakah aku terus bersamanya? Bisakah aku memberinya kebahagiaan yang layak dia dapatkan?
"Sayang..." panggil Jessy, memecah lamunannya.
"Iya..." jawab Rayyan, tatapannya masih tertambat pada wajah cantik Jessy yang diterangi lampu sorot taman.
Jessy melangkah mendekat. Tangannya yang lembut meraih wajah Rayyan. Dia berdiri di atas ujung jarinya, dan dengan penuh kasih sayang, menempelkan bibirnya yang lembut pada bibir Rayyan. Ciuman itu hangat, penuh perasaan, dan dibarengi oleh tetesan hujan rintik-rintik yang kembali turun, membasahi rambut dan pakaian mereka.
Di bawah gerimis Jakarta yang romantis, di depan gerbang rumah mewah yang membentang seperti istana, dua dunia yang berbeda itu bertemu dalam sebuah ciuman yang menjanjikan sebuah masa depan, seberat apa pun tantangannya nanti.
kudu di pites ini si ibu Maryam