Luna terjebak dalam pernikahan kakaknya dengan william, pria itu kerap disapa Tuan Liam. Liam adalah suami kakak perempuan Luna, bagaimana ceritanya? bagaimana nasib Luna?
silahkan dibaca....
jangan lupa like, komen dan vote
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momy ji ji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22.
Luna mengikuti Liam masuk ke ruang kerja pribadinya yang luas dan mewah. Liam duduk di kursi kebesarannya, sementara Luna duduk di sofa dengan wajah cemberut tapi setidaknya dia merasa menang karena berhasil mengerjai para staf tadi.
Tiba-tiba ponsel di tas Luna bergetar hebat. Di layar yang menyala terpampang nama
"Dion". Wajah Luna pucat seketika. Liam yang memiliki pendengaran setajam elang langsung menghentikan aktivitasnya di depan laptop.
Matanya menyipit menatap ponsel Luna yang terus bergetar.
"Angkat," Perintah Liam singkat dengan nada yang sangat rendah.
"Gunakan pengeras suara."
"Tuan ini... mungkin salah sambung," Bohong Luna gugup.
"Angkat.. atau aku sendiri yang akan mengangkatnya dan mengirim lokasimu saat ini ke anak buahku untuk menjemput pria itu dan memberinya bogem mentah," Ancam Liam.
Dengan tangan gemetar, Luna mengangkat telepon itu dan menyalakan loudspeaker.
"Luna! sayang... kau baik-baik saja?" Suara Dion terdengar sangat cemas dan terengah-engah dari seberang sana.
"Aku masih di depan rumah sakit, mereka bilang ayahmu dipindahkan. Luna jangan takut pada pria itu. aku akan melakukan apa saja untuk membawamu pergi. Aku mencintaimu Luna, sangat mencintaimu."
Luna tidak berani menjawab. Ia melirik Liam yang kini sudah berdiri dan berjalan perlahan ke arahnya. Liam mengambil ponsel dari tangan Luna dengan gerakan tenang namun penuh intimidasi ke wajahnya.
"Sangat mencintainya, eh?" Liam berbicara langsung ke arah ponsel Luna dengan nada mengejek yang sangat kentara.
"Dion... aku terkesan dengan kenekatanmu. tapi sayang sekali istriku sedang sibuk... melayaniku! dia tidak punya waktu untuk mendengarkan dongeng pahlawan kesiangan darimu."
"Tuan Liam! kau... jangan berani-berani menyentuhnya!" Teriak Dion marah,
Liam tersenyum manis ke arah Luna yang ketakutan, lalu kembali bicara ke ponsel.
'Astaga Dion... kau benar-benar membuat kita hancur bersama!'
"Menyentuhnya? dia istriku. aku punya hak penuh atas setiap inci tubuhnya, dan dengar ini... karena kau sudah mengganggu waktu kami. biaya perawatan ayah Luna di rumah sakit baru... akan aku naikkan kelasnya ke president suite, tapi tagihannya akan aku kirimkan atas namamu. mari kita lihat seberapa besar cintamu bisa membayar tagihan milyaran rupiah itu."
Liam langsung mematikan teleponnya dan melempar ponsel Luna ke sofa. Ia mengunci pergerakan Luna dengan kedua tangannya di sandaran sofa ketika melihat Luna hendak berbicara.
"Sepertinya dia perlu diberi pelajaran yang lebih permanen Luna," Bisik Liam tepat di depan bibir Luna.
"Dan kau... sepertinya butuh hukuman karena masih menyimpan nomornya."
Luna menatap Liam dengan tatapan menantang, meski jantungnya berdegup kencang karena posisi mereka yang sangat intim. Ia tidak tahan mendengar Liam terus-menerus merendahkan pria yang tulus mencintainya.
"Hentikan Tuan Liam! anda tidak bisa terus-menerus menggunakan uang untuk menindas orang lain," Seru Luna dengan suara bergetar.
"Dion tidak salah apa-apa. dia hanya mencintaiku, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah Tuan mengerti karena Tuan hanya tahu cara membeli, bukan memiliki hati!"
Rahang Liam mengeras. kilatan amarah dan sesuatu yang mirip dengan rasa sakit muncul di matanya.
"Hati? jadi kau membela dia di depanku? di ruangan kerjaku?" Kata Liam.
Dia ingat Dion pernah bertemu dengan seorang wanita di taman dan itu calon istrinya, bersama seorang gadis kecil lainnya. apakah wanita itu Luna?
"Iya! karena dia pria yang baik! dia memperlakukanku seperti manusia, bukan seperti penghutang atau pajangan!" Balas Luna berani, meski Ia tahu ini termasuk sedang bermain api.
"Bahkan jika Tuan membuat dia bangkrut sejuta kali pun, itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku mencintai--"
"Cukup Luna!" potong Liam dengan suara menggelegar.
Kemarahan Liam mencapai puncaknya. rasa cemburu yang membakar dadanya meledak seketika melihat istrinya sendiri terang-terangan membela pria lain.
Tanpa peringatan, Ia merenggut tengkuk Luna dan membungkam bibir wanita itu dengan ciuman yang kasar dan penuh tuntutan.
Itu bukan ciuman yang lembut, melainkan itu adalah ciuman yang penuh dengan rasa posesif, dominasi, dan kecemburuan yang nyata. Liam seolah ingin menghapus setiap jejak nama Dion yang pernah terucap dari bibir Luna.
"Umhhhhhh."
Liam semakin memperdalam ciumannya tanpa peduli pemberontakan Luna padanya.
Luna semakin meronta, tangannya memukul dada bidang Liam, namun pria itu justru semakin mempererat pelukannya, mengunci tubuh Luna di antara sofa dan tubuhnya yang tegap.
Perlahan, perlawanan Luna melemah seiring dengan napasnya yang mulai memburu.
Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, Liam melepaskan ciumannya membiarkan Luna menarik napas, tampaknya ini pertama kali bagi wanita itu.
Namun tetap membiarkan wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Luna. Ia menatap bibir Luna yang kini sedikit membengkak dengan tatapan gelap.
"Katakan lagi," Bisik Liam dengan suara serak yang berbahaya.
"Katakan lagi kau mencintainya, maka aku pastikan besok dia tidak akan punya lidah lagi untuk memanggil namamu."
Luna terengah-engah, matanya yang berkaca-kaca menatap Liam dengan campur aduk antara benci dan perasaan asing yang mulai menjalar.
"Tuan... kamu benar-benar gila," bisik Luna lirih.
Liam menyeringai tipis, ibu jarinya mengusap bibir Luna dengan lembut namun mengancam.
"Aku memang gila Luna. dan aku bisa menjadi jauh lebih gila jika ada orang lain yang mencoba mengambil apa yang sudah menjadi milikku. ingat itu."
Liam merasa sedikit bersalah melihat Luna yang meneteskan airmata, tapi dia juga enggan untuk minta maaf. seharusnya ini tidak salah? mereka suami istri bukan? bahkan saat ini Liam sedang menepis rasa ingin lebih di dalam hatinya pada tubuh Luna.
***
Suasana di ruang kerja yang tadinya tegang mendadak berubah menjadi sunyi yang menyesakkan.
Luna membuang muka, pipinya bersemu merah bukan hanya karena marah, tapi juga karena debaran jantungnya yang tidak karuan.
Liam pun berdehem pelan, merapikan dasinya yang sedikit miring, mencoba mengembalikan sisa-sisa wibawanya yang runtuh akibat rasa cemburu yang meledak tadi.
"Duduk yang manis, bantu aku rapikan dokumen-dokumen ini," Perintah Liam dengan nada yang jauh lebih lembut, hampir terdengar canggung.
"Dan... jangan harap aku harus minta maaf untuk yang tadi." Luna mendengus, meski masih gemetar.
"Siapa juga yang butuh permintaan maaf dari pria kasar seperti Tuan?" Gumamnya ketus, mengelap airmata dan sedikit ingus akibat isak tangis menyesalnya.
Karena ciuman pertama harus direbut oleh pria itu. tentu saja itu pertama kali, dia selalu menjaga diri bahkan dari Dion pacarnya yang bertahun-tahun itu.
Tapi Luna tidak ingin mengatakannya, takut pria itu semakin keras menyatakan kepemilikan terhadap dirinya kan bisa bahaya. katanya? pria akan merasa tertantang jika tahu merekalah yang pertama kali.
Dea pernah membahas itu tentu saja Luna semakin ada bekal ilmu untuk berhati-hati mulai sekarang.
Namun Ia tetap menurut dan duduk di sudut sofa, berpura-pura sibuk dengan tumpukan dokumen meski pikirannya masih tertuju pada sentuhan bibir Liam.
'Apa yang aku pikirkan, hapus ingatan itu.' Jerit Luna.
***
Sore Hari di Mansion.
Matahari mulai terbenam, menyisakan warna oranye kemerahan yang cantik di langit saat mereka tiba kembali di mansion.
Tanpa banyak bicara, Liam langsung menuju area kolam renang di lantai bawah untuk mendinginkan kepalanya yang panas sepanjang hari.
Jujur saja, sebagai pria dewasa. Liam ingin meniduri Luna tapi dia menahannya sebisa mungkin, dia tidak boleh melakukan hal itu sekarang. karena akan menyakiti Luna nantinya.
Luna berada di kamar mereka di lantai dua. Ia melangkah ke balkon, bermaksud menghirup udara segar, namun matanya justru tertuju pada sosok pria di bawah sana.
Liam sedang berenang dengan gerakan yang kuat dan ritmis. air kolam yang jernih memantulkan cahaya lampu taman yang mulai menyala, memperlihatkan otot-otot punggung dan bahu Liam yang bidang setiap kali Ia muncul ke permukaan untuk mengambil napas.
Pria itu kemudian berhenti di pinggir kolam, menyugar rambutnya yang basah ke belakang, membiarkan tetesan air mengalir di dadanya yang tegap.
Luna terpaku di balkon, memegang pagar pembatas dengan erat. ada perasaan aneh yang merayap di hatinya, perasaan yang sangat berbeda dari apa yang Ia rasakan pada Dion.
Ia benci mengakuinya, tapi pemandangan di depannya benar-benar mengintimidasi akal sehatnya.
Tiba-tiba, Liam mendongak seolah merasakan ada sepasang mata yang mengawasinya.
Mata elangnya langsung bertemu dengan mata Luna.
Liam menyeringai tipis, sebuah senyuman nakal yang jarang Ia perlihatkan. Ia berteriak kecil dari bawah, suaranya menggema di kesunyian sore itu.
"Apa kau sedang melihatku dengan pandangan cinta Luna?"
Luna tersentak, wajahnya langsung terasa panas. "S-siapa yang melihatmu! aku hanya sedang melihat tanaman di bawah!" Serunya panik sambil mundur selangkah.
"Tanaman tidak punya otot dada dan perut, sayang," Sindir Liam manis, suaranya penuh kemenangan.
"Turunlah ke sini jika kau ingin melihat lebih dekat. aku janji tidak akan menerkammu seperti tadi siang... kecuali kau yang memintanya."
Luna mendesah keras, meski jantungnya berpacu cepat. "Dalam mimpimu... Tuan Liam!" Ia segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon dengan keras, namun Ia tidak bisa menyembunyikan senyum tipis yang muncul di bibirnya saat Ia bersandar di balik pintu sambil memegang dadanya yang berdegup tak karuan.
Bersambung.