Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN DARI MASALALU
Jakarta diselimuti hujan malam. Dari balik kaca mobil yang buram oleh embun, Arif Dirgantara menatap lampu-lampu kota yang berpendar seperti garis waktu yang patah. Mobilnya berhenti di depan Dirgantara Tower, namun ia belum juga turun. Wajah perempuan bersepeda di jalan desa tadi terus menari di pikirannya — wajah yang entah kenapa terasa terlalu akrab untuk disebut kebetulan.
“Pak, sudah sampai,” ucap sopirnya hati-hati.
Arif hanya mengangguk pelan, lalu membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam gedung tinggi itu, seakan ingin mengubur semua perasaan aneh di bawah ritme rutinitas.
Malam itu, ruang kerja Arif di lantai 37 sunyi. Di luar, kilatan petir sesekali memantul di kaca besar, menampakkan siluet tubuhnya yang tegak di hadapan jendela. Di meja, laptop masih menyala — menampilkan video acara amal di Gumalar.
Ia menonton ulang pidato anak itu — Lanang Damar Panuluh — dengan ekspresi datar. Anak itu berbicara dengan yakin, suaranya tegas, cara berpikirnya matang. Arif mengerutkan kening. Ada sesuatu di balik cara anak itu menatap dunia… sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.
Namun ia menepis pikiran itu.
“Anak berbakat, banyak,” gumamnya pelan. “Jangan berpikir aneh.”
Ia mematikan video, menutup laptop, lalu beralih ke berkas laporan yang dikirim staf yayasan pagi itu.
Nama: Lanang Damar Panuluh
Ibu: Sari Retnowati
Alamat: Desa Gumalar, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pemalang.
Keterangan tambahan: Ditemukan dalam kondisi luka berat di tepi hutan lebih dari sepuluh tahun lalu. Tidak memiliki data identitas resmi, hidup sederhana, mengajar sukarela di sekolah dasar setempat.
Arif membaca kalimat itu perlahan. Pandangannya berhenti di baris terakhir, tepat di atas nama ibu anak itu.
Retno Kinasih… Sari Retnowati.
Ia mengulang dalam hati, lidahnya kelu, dadanya bergetar aneh. Nama itu seperti dua dunia yang hampir bersentuhan, dua garis waktu yang nyaris bersilangan.
Namun Arif menarik napas panjang.
“Tidak. Itu hanya kebetulan.”
Ia menutup berkas itu dengan tegas, lalu berdiri, menatap ke luar jendela.
“Kalau pun mirip… dunia ini penuh nama yang serupa.”
Suara hatinya terdengar berat, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri lebih keras daripada siapa pun.
Ia mengambil jasnya dan melangkah keluar ruangan. Dalam pikirannya, keputusan itu sudah bulat:
Jangan terjebak masa lalu.
Hari-hari berikutnya berlalu cepat, ditelan kesibukan.
Arif kembali ke rutinitas lamanya — menghadiri rapat lintas negara, memimpin negosiasi investasi, menandatangani kontrak-kontrak bernilai triliunan.
Hari ini Tokyo, minggu depan Singapura, lalu Dubai, kemudian Shanghai. Dalam setiap penerbangan, wajah perempuan bersepeda itu sesekali muncul di pikirannya, tapi selalu ia tepis. Dunia bisnis menuntut fokus, dan Arif tidak boleh kehilangan kendali hanya karena bayangan dari masa lalu.
Di tengah jadwal padatnya, ia tetap memantau kegiatan Yayasan Kinasi. Beasiswa untuk anak itu sudah disetujui, tim lapangan memastikan semua berkas lengkap. Ia tidak menghapus nama Lanang Damar Panuluh, tapi juga tidak menaruh perhatian lebih.
“Anak itu pintar. Layak dapat kesempatan,” katanya dingin setiap kali laporan datang.
Namun di balik dinginnya suara, ada sesuatu di matanya yang tidak tenang — seperti ombak kecil yang terus berdebur, meski permukaan laut tampak datar.
Sementara itu, di desa Gumalar, kehidupan berjalan dengan ritme yang sama sederhana.
Retno — atau Sari, begitu orang-orang memanggilnya — tetap mengajar di sekolah dasar, membantu anak-anak belajar membaca dan berhitung. Setiap pagi ia berjalan kaki melewati jalan setapak menuju sekolah, membawa tas kain tua berisi buku.
Lanang semakin sibuk belajar. Setelah mendapat kabar bahwa beasiswanya disetujui, ia semakin bersemangat. Ia belajar hingga larut, membaca buku ekonomi dan bisnis yang ia pinjam dari guru.
“Kalau aku besar nanti, aku mau bikin perusahaan yang bantu orang kecil,” katanya sambil menulis catatan.
Sari tersenyum samar. “Kalau kau tulus, Tuhan pasti buka jalan, Nak.”
Namun setiap malam, saat semuanya tenang, ada hal aneh yang tak bisa ia jelaskan.
Kadang, saat memandangi langit dari teras rumah, wajah pria itu — yang melintas di mobil hitam — muncul lagi dalam benaknya. Ia tak tahu siapa dia, tapi setiap kali bayangan itu datang, dadanya bergetar, dan hatinya terasa… rindu.
Rindu pada sesuatu yang tak ia pahami.
Waktu terus berjalan.
Jakarta dan Gumalar seperti dua kutub dunia — sama-sama berputar, tapi tak pernah bersentuhan.
Arif terus berlari mengejar ambisi dan tanggung jawabnya di kancah internasional.
Retno terus menenun kehidupannya yang sederhana di desa, mendidik anak yang semakin cerdas.
Tak satu pun sadar bahwa jarak di antara mereka bukan lagi sekadar ruang, melainkan waktu dan penyangkalan.
Namun seperti matahari dan bayangan, keduanya ditakdirkan bergerak ke arah yang sama — hingga tiba saatnya garis mereka bersinggungan lagi.
menarik