“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 11
Petter berjalan pelan menghampiri Sulastri yang ketakutan. Ditariknya tangan wanita itu hingga beringsut ke sisinya.
Laki-laki itu menatap tajam Margono yang menunduk ketakutan. “Pribumi ora dwe toto kromo (pribumi tidak punya sopan santun) datang ke rumah orang tanpa permisi.”
Margono memberanikan diri mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. “S-saya hanya ingin menjemput anak saya.”
Petter tertawa sumbang, tatapannya masih tajam. “Anakmu? Bukankah kamu sudah membuangnya?!”
Margono menelan ludah kasar, tatapannya gelisah. “Tapi bagaimanapun juga Sulastri masih punya keluarga dan suami, dia harus kembali pada kami.”
“Keluarga mana yang membiarkan seseorang yang baru saja melahirkan berkeliaran tengah malam di jalanan,” sindir Petter tajam.
Margono mengerjap gelisah sambil menundukkan kepala. Kata-kata Petter terasa menusuk dadanya. 'Sial! Londo bajingan, bikin kakiku gemeter aja,' cicitnya dalam hati.
“Sampaikan pada juraganmu itu, kalau dia mau istrinya kembali, suruh dia datang sendiri ke sini! Jangan seperti ayam jantan di tengah kumpulan burung gereja. Beraninya hanya di hadapan yang lemah!” sindir Petter sembari membawa Sulastri masuk ke dalam rumah.
Margono membeku sesaat, tangannya mengepal di sisi tubuh, tapi tak kuasa melampiaskan amarahnya. Matanya masih melirik sekeliling sebelum tiba-tiba lengannya diseret paksa oleh dua orang centeng berkumis tebal.
“Lepas, aku bisa jalan sendiri!” teriak Margono
Laki-laki itu berusaha menepis cengkraman si centeng. Namun, tenaganya kalah besar, kedua centeng itu kemudian dengan kasar melemparkan tubuh Margono hingga tersungkur ke sisi parit, disusul sepeda ontelnya.
“Dasar, Jongos Londo. Pengkhianat kalian semua!” umpatnya sembari bangkit, lalu dengan tertatih pergi dari rumah megah itu.
Di ruangan berdinding kuning gading, Petter duduk bersandar di kursi kerjanya, wajah seputih susunya mengilat tertempa cahaya lampu dinding kuningan. Jari-jarinya mengetuk pegangan kursi, tatapannya datar tanpa ekpresi.
Di depannya Sulastri duduk sembari menunduk pada lantai kayu yang di pelitur sempurna. Tangannya memelintir ujung kebaya, sesekali ia mengusap pelupuk matanya yang masih basah oleh air mata.
Hening mengusai sesaat, hanya bunyi detik jam dan helaan napas pelan yang terdengar.
Petter berdehem kecil, ia menggulung lengan bajunya sampai siku, kemudian mengikat rambut gondrongnya asal, sebelum beranjak dari kursinya dan berdiri di dekat jendela.
“Setelah kejadian ini, apa kau masih tetap berpikir ingin pergi dari rumahku?” tanya Petter, suaranya dingin, tegas—penuh penekanan
Sulastri menghela napas dalam, ia mengangkat sedikit dagunya. “Saya tidak mau orang-orang semakin salah paham dengan keberadaan saya di sini.”
Petter mengangguk kecil, “Apa kau punya bekal? Uang mungkin atau tempat tinggal?”
“Saya bisa tinggal di rumah peninggalan kakek buyut yang ada di ujung kali.”
“Rumah reyot yang hampir ambruk itu?!”
Sulastri menarik napas dalam. Tatapannya tajam, tetapi ada segaris senyum getir di wajahnya.
Petter menyeringai tipis. Wajahnya tampak dingin, dengan tatapan remeh ia melontarkan kata-kata menusuk. “Ini yang tidak aku suka dari pribumi, selalu gegabah dalam mengambil keputusan.”
Laki-laki itu kemudian berjalan pelan, mengambil satu batang rokok kretek, lalu menyulutnya. Ia nampak berpikir sejenak sebelum kembali melanjutkan pembicaraan.
“Kalau kau memang tidak mau tinggal di sini karena takut di pandang buruk, tinggallah di rumah lamaku yang ada di ujung desa. Mbok sum dan Pak No akan menemani sekaligus mengajarimu berdagang di sana,” ujar Petter.
Sulastri menggeleng pelan, matanya membulat lalu beralih cepat antara takut dan ragu untuk menjawab.
“T-tapi bukankah itu sama saja dengan tinggal di sini. Orang-orang tetap akan berpikir saya gundik yang Anda sembunyikan.”
“Kau pikir dengan menjauh dariku orang akan berhenti berpikir kau bukan gundik? Apa kau tau yang sedang terjadi di luar sana?!”
Dahi Sulastri mengernyit, suaranya sedikit terbata. “A-pa maksud Anda.”
Petter menghisap dalam kretek di jarinya, lalu mengepulkan asap tipis keluar jendela.
“Orang-orang tidak pernah tau, kau di usir dari rumah suamimu hanya karena melahirkan seorang putri, bahkan keluargamu pun menolak kehadiran kalian karena dianggap aib. Yang mereka tau, kau minggat dengan laki-laki lain, dan laki-laki itu aku.”
Sulastri membeliak, tubuhnya terpaku sesaat dengan wajah memucat menahan amarah bercampur perih di hatinya.
“T-tapi … bagaimana bisa, dan kenapa Anda diam saja?!”
“Kau pikir mudah, membungkam berita yang sudah terlanjur menyebar. Orang-orang tidak akan peduli dengan penjelasan yang kita buat, mereka hanya peduli dengan apa yang didengar dan dilihat. Apapun kebenarannya, tidaklah penting untuk mereka yang suka menggunjing hidup orang lain.”
Petter menekankan ujung rokok kreteknya ke asbak kaca yang ada di atas meja, kemudian mendudukkan kembali bokongnya di kursi kerja.
laki-laki itu mengerutkan alisnya, ia menyatukan jari-jarinya di depan dada—menatap tajam dengan suara dingin. “Apa kau tidak ingin membalas dendam pada suamimu?”
“Tetap saja orang akan beranggapan buruk tentang saya.”
“Apa kau lebih takut di cap sebagai gundik ketimbang menyelamatkan masa depan anakmu, kau mau anakmu terlunta-lunta di jalan seperti malam itu?!”
Sulastri terdiam seketika, pikirannya menerawang jauh antara pendiriannya atau kenyataan hidup yang harus dijalaninya.
Petter menghela napas kasar, kakinya menghentak lantai dengan keras, “Susah sekali mengajari pribumi berpikiran maju,” ucapnya ketus sembari merebahkan diri ke senderan kursi.
Sulastri melirik sekilas, alisnya terangkat tipis, ia menggenggam tangannya erat, menahan suaranya agar tak bergetar. “Saya menerima tawaran Anda.”
Petter mengangguk pelan, sudut bibirnya terangkat tipis. “Baik, Broto akan menyiapkan semuanya, minggu depan kau sudah bisa pindah kesana.”
Petter kemudian beranjak dari duduknya, berjalan mendekati Sulastri yang mematung di tempatnya. “Ada satu hal lagi yang harus kau kerjakan,” ujarnya pelan.
“Apa?”
“Pergi ke pengadilan.”
Bersambung.