NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sangkar Milik Pangeran

Napas Hwa-young memburu, tetapi  setajam pecahan kaca. "Aku sedang membangun bentengku sendiri, Yang Mulia."

Keheningan yang pecah di gudang itu terasa berat, sarat dengan bau asam dari pewarna ungu dan debu kayu lapuk. Yi Seon, Pangeran Mahkota yang wajahnya biasa terukir dari es, kini menunjukkan retakan. Di matanya yang gelap, berkecamuk badai, amarah, keterkejutan, dan sekelumit rasa kagum yang enggan ia akui.

Di belakangnya, Jenderal Kim menggeser tumpuan kakinya. Tangannya tak pernah lepas dari gagang pedang, tatapannya menyapu Sora dan anggota Chungmae lainnya seolah sudah mengukur leher mereka untuk tiang gantungan. Mereka mematung, pasrah pada takdir yang berada di ujung titah sang Pangeran.

Yi Seon melangkah maju, kakinya tak menimbulkan suara di lantai yang kotor. Ia memungut selembar sutra yang kini ternoda ungu, merasakannya di antara jemarinya. "Benteng?" desisnya, suara rendahnya menggetarkan udara. "Kau menyebut tindakan vandalistik ini benteng? Kau merusak sutra kekaisaran, Putri Mahkota. Kau menyabotase pengiriman milik Matriarch Kang. Ini bukan pertahanan. Ini deklarasi perang."

"Dan apa namanya saat Matriarch Kang mengirimkan racun ke pesta pernikahanku?" balas Hwa-young, mengambil langkah balasan. Gaunnya yang kotor dan rambutnya yang acak-acakan adalah bukti nyata betapa ia telah menanggalkan kemewahan istana demi pertarungan ini. "Anda tahu dia dalangnya, Yang Mulia. Anda tahu monopolinya mencekik kas negara. Anda tahu sutra ini hanyalah kedok untuk menyelundupkan barang-barang mewah dan menyuap pejabat!"

Setiap kata adalah tusukan, dan Hwa-young melihatnya mendarat telak. Wajah Yi Seon mengeras saat ia menyinggung keengganan Matriarch Kang membayar pajak ke Istana Timur, sumber frustrasi terbesarnya.

"Bagaimana kau tahu rute nelayan itu?" tanya Yi Seon, nadanya berubah, lebih tajam dan berbahaya. Pertanyaan itu bukan lagi tuduhan, melainkan tuntutan. "Hanya orang-orang kepercayaannya yang tahu jalan itu."

"Karena aku tahu cara Kang berpikir," jawab Hwa-young, menunjuk untaian manik giok yang kini berada di genggaman Yi Seon. "Aku tahu sandinya. Dia terlalu percaya diri, terlalu arogan untuk berpikir ada yang berani menyentuh reputasinya. Jadi, aku serang di sana. Sutra ini tak ada artinya bagi negara, tapi segalanya bagi Matriarch. Tanpa gaun upacara putihnya, ia akan menjadi bahan tertawaan di depan para bangsawan asing. Ia akan terlihat lemah."

"Dan kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?"

"Anda tidak punya pilihan," bisik Hwa-young,  dipenuhi keyakinan yang nekat. "Tangkap aku sekarang, dan Anda harus menyerahkan bukti ini pada Matriarch. Dia akan tahu jaringan Chungmae telah aktif. Dia akan tahu aku punya petanya. Dia akan memaksamu menyerahkan manik-manik itu. Dalam sekejap, Anda akan kehilangan satu-satunya keunggulan yang Anda miliki."

Ini bukan permohonan. Ini adalah ultimatum. Hwa-young telah meletakkan semua kartunya di atas meja, memaksa Yi Seon untuk menjadi sekutunya.

Yi Seon menatapnya lama, seolah menimbang jiwa wanita di hadapannya. Akhirnya, matanya beralih pada kelompok Chungmae. "Siapa mereka?"

"Mereka yang hancur karena monopoli Kang," jawab Hwa-young,  melembut. "Mereka adalah Chungmae. Mereka tidak melayani istana, mereka melayani keadilan. Gudang ini adalah markas kami."

Sora menelan ludah, terperangah oleh kejujuran Hwa-young yang bisa berakibat fatal.

Yi Seon menghela napas panjang, sebuah embusan yang sarat dengan beban politik. "Kau memberiku pilihan yang sangat buruk, Putri Mahkota."

"Pilihan yang paling logis," Hwa-young mengoreksi. "Gunakan aku, Yang Mulia. Biarkan aku menjadi senjatamu di bawah tanah, sementara Anda melindungiku dari atas. Musuh kita sama. Dan aku baru saja membuktikan, aku bisa melukainya."

Yi Seon menatap noda ungu di tangannya, lalu beralih pada Jenderal Kim yang setia menunggu.

"Jenderal Kim," titah Yi Seon,  kembali dingin dan tegas.

"Siap, Yang Mulia."

"Gudang ini tidak pernah ada," kata Yi Seon, matanya menyapu sekeliling. "Pengiriman sutra ini mengalami kecelakaan di Jembatan Naga karena cuaca buruk. Pastikan Matriarch Kang menerima laporan itu."

Jenderal Kim sedikit terkejut, tapi ia hanya membungkuk patuh. "Baik, Yang Mulia."

"Dan kau," Yi Seon menatap Hwa-young tajam, "Kembali ke Istana. Kau sedang sakit parah. Kau tidak pernah meninggalkan Paviliun Bulan Baru. Kau tidak tahu apa-apa."

"Bagaimana dengan mereka?" tanya Hwa-young, melirik Sora.

Tatapan Yi Seon pada Sora sedingin es. "Mereka akan lenyap. Jika aku mendengar satu desas-desus pun, atau jika Matriarch menemukan jejak mereka, hukumanmu akan jauh lebih menyakitkan daripada kematian, Nyonya."

Hwa-young mengangguk. Ini bukan aliansi, melainkan gencatan senjata yang rapuh. "Sora, pergi sekarang," bisiknya. "Gunakan jalur komunikasi darurat."

Tanpa sepatah kata, Sora dan yang lainnya melebur ke dalam bayang-bayang melalui pintu belakang.

Yi Seon menunggu hingga gudang kembali senyap. Ia mendekati Hwa-young, aroma ozon dari amarahnya masih terasa. "Kau bermain dengan api, Putri Mahkota. Jika kau terbakar, jangan harap aku akan menarikmu keluar."

"Aku tidak butuh ditarik keluar, Yang Mulia," balas Hwa-young. "Aku hanya butuh Anda memastikan tidak ada yang menyiramku dengan minyak."

Dengusan sinis keluar dari bibir Yi Seon. Ia menyimpan manik-manik giok itu di balik jubahnya. Sesaat sebelum melangkah keluar, ia berhenti. "Jenderal Kim, bakar tempat ini. Ratakan dengan tanah."

"Tapi, !" Hwa-young panik. "Itu markas kami! Produksi arang, "

"Aku tidak peduli dengan arang konyolmu!" potong Yi Seon, membalikkan badan. "Yang aku pedulikan adalah keamanan. Matriarch bukan orang bodoh. Kau punya waktu satu minggu untuk mencari lubang baru. Setelah itu, aku ingin tempat ini hanya menjadi abu."

Ia pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Hwa-young yang gemetar karena campuran antara kemenangan dan frustrasi. Yi Seon telah memberinya tali, tetapi sekaligus mengikatkan lonceng di lehernya.

  *

Keesokan paginya, lonceng itu mulai berbunyi. Paviliun Bulan Baru yang biasanya tenang kini terasa sesak.

"Dua pengawal baru di gerbang, Yang Mulia," bisik Mae-ri saat menuangkan teh. "Mereka orang-orang pribadi Jenderal Kim. Setiap pelayan yang keluar-masuk dicatat."

Hwa-young menyesap tehnya, kepahitan di lidahnya bukan berasal dari daun teh. "Kita kini burung di dalam sangkar emas, Mae-ri. Bedanya, pemilik sangkar ini adalah Pangeran Mahkota, bukan Matriarch Kang." Setidaknya, sangkar ini memberinya sedikit ruang untuk bernapas.

Napas itu datang di sore hari dalam bentuk seikat kangkung. Diikat dengan benang berwarna khusus, Hwa-young membukanya saat sendirian. Simpul-simpul itu adalah pesan dari Sora,  Pengawasan dimulai. Kim fokus pada rute keluar. Beri dia umpan.

Hwa-young tersenyum tipis. Ia harus membuat Jenderal Kim sibuk mengejar hantu. "Mae-ri," panggilnya. "Kau akan menyelinap keluar malam ini."

"Lagi, Yang Mulia?"

"Kali ini, lakukan dengan mencolok. Biarkan salah satu penjaga melihat bayanganmu. Pergilah ke kantor akuntan di Distrik Timur, yang terkenal menangani catatan transaksi kuno."

Hwa-young mengeluarkan dua puluh keping emas terakhir mereka. "Gunakan ini untuk menyewa mereka. Minta mereka mencari semua catatan sejarah tentang 'Koin Tembaga Ratu' yang hilang. Tembaga. Bukan emas, bukan sutra. Komoditas yang membosankan. Matriarch tidak akan peduli, tapi Jenderal Kim, yang mencoba memecahkan sandi manik-manik itu, pasti akan tertarik."

Ia menulis catatan singkat,  Cari di antara catatan pajak, tahun ke-3 pemerintahan Kaisar Agung. Fokus pada lima ratus koin tembaga. Angka 3 menandakan pengkhianatan di istana.

"Ini akan mengikatnya pada masa lalu," kata Hwa-young, melipat kertas itu. "Sementara dia sibuk menggali kuburan tua, kita akan membangun benteng yang baru."

  *

Di ruang kerjanya, Yi Seon memutar sebutir manik giok di antara jemarinya. Di hadapannya, terbentang tumpukan laporan mengenai koin tembaga.

"Putri Mahkota memang menyewa mereka, Yang Mulia," lapor Jenderal Kim. "Tim kami sedang menyelidiki tiga pejabat yang bertugas saat itu, terkait sandi 'pengkhianatan'."

Yi Seon bahkan tidak mengangkat kepalanya. Dia sudah tahu koin-koin itu hilang karena korupsi internal belasan tahun lalu. Sebuah kasus yang sudah basi.

"Dia tahu aku mengawasinya," gumam Yi Seon. "Dia tahu aku mencari pola, jadi dia memberiku pola yang usang." Ia akhirnya menatap Jenderal Kim. "Dia tidak mencari koin tembaga, Jenderal. Dia sedang mengulur waktu. Waktu untuk mencari markas baru sebelum aku membakar gudangnya malam ini."

"Perintah Anda, Yang Mulia?"

Senyum tipis dan dingin tersungging di bibir Yi Seon. "Biarkan tim tembaga terus bekerja. Biarkan dia berpikir umpannya dimakan. Tapi kau, Jenderal, lacak dia secara pribadi. Gunakan broker properti di pasar gelap. Cari transaksi sewa mendadak di dekat Gerbang Utara atau Pelabuhan Selatan. Aku ingin tahu di mana lubang tikus barunya."

"Baik, Yang Mulia."

"Dan Jenderal," tambah Yi Seon, tatapannya begitu tajam hingga membuat Kim menahan napas. "Jika kau menemukannya melakukan sesuatu yang ilegal, jangan hentikan. Laporkan saja padaku. Aku ingin tahu  ... seberapa jauh dia bersedia melangkah."

Setelah Jenderal Kim pergi, Yi Seon bersandar di kursinya. Ruangan itu terasa dingin. Ia baru saja memerintahkan kepala pengawalnya untuk memata-matai istrinya sendiri, membiarkannya melakukan kejahatan yang, secara ironis, menguntungkan negara. Pertanyaan itu kembali menghantuinya,  Apakah aku melindunginya, atau aku sedang mengasahnya menjadi senjata yang lebih tajam?

  *

Tiga hari kemudian, di sebuah rumah sewa kecil yang berbau ikan asin di Distrik Selatan, Hwa-young merasa bisa bernapas lega untuk pertama kalinya. Letaknya sangat dekat dengan wilayah kekuasaan Matriarch Kang, tempat yang tak akan pernah terpikirkan oleh siapa pun sebagai markas perlawanan.

"Umpan Anda berhasil, Nyonya Hwa," lapor Sora pada malam hari, wajahnya tampak ceria. "Jenderal Kim dan orang-orangnya masih terkubur dalam catatan pajak kuno. Mereka bahkan mulai menggali arsip keluarga para pejabat yang sudah lama meninggal."

"Bagus," kata Hwa-young. Waktu yang mereka beli sangat berharga. "Itu memberi kita kesempatan untuk bergerak. Paman Go sudah mulai menjual arang di desa-desa terpencil. Keuntungannya kecil, tapi cukup untuk mendanai operasi kita."

"Ada lagi," kata Sora, mengeluarkan peta baru. "Setelah serangan sutra, Matriarch menggandakan pengiriman berikutnya. Dia tidak lagi percaya jalur darat. Dia akan menggunakan rute laut yang lebih tersembunyi, di luar yurisdiksi Pangeran Mahkota."

"Pelabuhan militer pribadinya," gumam Hwa-young, matanya berbinar penuh semangat. "Dia terlalu sombong." Kemenangan kecil ini terasa memabukkan. Ia telah mengelabui Jenderal Kim, mendapatkan markas baru, dan menemukan celah serangan berikutnya.

Namun, keceriaan di wajah Sora tiba-tiba memudar. "Ada satu hal lagi, Nyonya Hwa. Ini bukan dari jaringan kita. Ini dari kurir yang bekerja serabutan di galangan kapal."

"Galangan kapal yang mana?"

"Galangan Kapal Utara. Di dekat gudang yang dibakar itu."

Hwa-young seketika tegang.

"Kurir itu melihat sesuatu yang aneh," lanjut Sora,  merendah. "Bukan prajurit Istana Timur, tapi agen-agen pribadi Pangeran Mahkota. Mereka tidak menyelidiki gudang yang terbakar. Mereka  ... mereka memetakan bagian-bagian galangan kapal yang sudah lama ditinggalkan."

Hawa dingin menjalari tulang punggung Hwa-young. Dia membakar gudang itu untuk keamananku, tapi mengapa dia mengirim agen pribadinya ke tempat itu?

Sora mengeluarkan secarik kertas kumal dengan gambar kasar. "Kurir itu bilang, mereka tidak mencari bijih besi. Mereka menyisir pantai berlumpur. Mereka mencari jejak  ... jejak dari perahu-perahu kecil yang biasa dipakai untuk mengangkut..." Sora menelan ludah sebelum melanjutkan, "...garam."

Garam.

Dunia Hwa-young seakan berhenti berputar. Garam adalah monopoli Matriarch Kang yang paling berharga. Sandi garam adalah yang paling rahasia di manik-manik giok itu, sandi yang sama yang digunakan ibunya bertahun-tahun lalu.

Ia pikir umpannya berhasil. Ia pikir Yi Seon mengutus Jenderal Kim.

Tapi Yi Seon tidak mengirim Jenderal Kim untuk mengejar umpan itu. Dia mengirim agen pribadinya untuk berburu mangsa yang sesungguhnya. Yi Seon tidak sedang mencari harta karun ibunya yang hilang. Dia sedang mempersiapkan perang yang akan datang.

"Tidak mungkin," bisik Hwa-young, tangannya gemetar. "Dia tidak mungkin bisa memecahkan sandi garam secepat itu."

"Mungkin dia tidak memecahkannya," kata Sora pelan. "Mungkin dia hanya tahu ke mana harus mencari. Setelah sutra, dia tahu Anda akan menyerang komoditas yang lebih besar."

Hwa-young menatap peta di tangannya, rasa dingin itu kini berubah menjadi teror yang membekukan. Ia telah meremehkan Yi Seon. Ia memberinya teka-teki palsu, tapi Yi Seon menggunakan waktu yang ia berikan untuk memecahkan teka-teki yang asli.

"Dia tidak mencari tembaga, Sora," kata Hwa-young,  serak. "Dia tidak mencari koin."

Ia meremas peta itu, rasa kertas yang kasar di telapak tangannya terasa seperti pasir hisap.

"Dia mencari kelemahan Matriarch Kang yang paling fatal," lanjut Hwa-young, matanya melebar saat kepingan terakhir jatuh ke tempatnya. "Operasi sutra hanya pemanasan. Dia tahu itu."

Sora menatapnya dengan cemas. "Lalu  ... apa yang dia cari, Nyonya Hwa?"

Hwa-young mengangkat kepalanya, napasnya tercekat di tenggorokan.

"Dia tidak hanya mencari rute penyelundupan garam," bisiknya dengan ngeri. "Dia mencari jejak ibuku. Dan menurut kurirmu  ... dia sudah menemukannya." Sora mengangguk pelan, matanya penuh ketakutan. "Mereka menemukan sesuatu di salah satu tiang dermaga tua yang tersembunyi. Sesuatu yang terukir di sana."

"Apa yang mereka temukan, Sora?"

"Simbol Chungmae yang lama," jawab Sora. "Simbol pribadi milik Ratu.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!