Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 22
Hari berikutnya, Axel gelisah bukan main. Jantungnya berdegup tak karuan ketika mendapat kabar ayahnya akan mampir melihat apartemen—tepat di hari yang sama mobil barunya juga akan dikirimkan. Panik, ia langsung menelpon Kayla.
“Angkat, anjing!” geramnya begitu suara sambungan terhubung.
Di kos, Kayla baru saja terbangun dari tidur siang yang pulas. Rambutnya masih berantakan, matanya setengah tertutup. Ia mengangkat telepon dengan suara serak.
“Apa?”
“Gue jemput lo. Bokap gue mau datang ke apartemen!” suara Axel terdengar tegang.
Kayla menguap lebar, malas-malasan.
“Hmm… gue mandi dulu.” Matanya masih terpejam.
“Lama, anjir! Ini gue udah mau sampe di kosan lo!” Axel hampir berteriak di seberang sana.
Kayla bangkit dengan kesal.
“Sabar, goblok akh.” Ia menyeret langkah, mencuci muka asal-asalan, lalu meraih tasnya.
Tak lama, ia berdiri di pinggir jalan dengan wajah kusut. Mobil CRV putih milik Axel berhenti di depannya. Kayla masuk ke kursi penumpang, duduk dengan malas.
“Kusut banget muka lo,” komentar Axel sambil melirik sekilas.
“Baru bangun gue,” sahut Kayla pendek.
“Molor terus, perasaan.”
“Gimana gue dong? Mata-mata gue sewot aja lo!” Kayla menatapnya kesal.
“Yee, biasa dong.” Axel menepikan mobil ke parkiran basement apartemen.
Kayla menoleh keluar jendela, menatap bangunan tinggi yang menjulang angkuh.
Apartemen itu terlihat modern, rapi, dan entah kenapa terasa dingin. Mereka naik lift berdua, suasana hening hanya diisi suara mesin lift yang berdengung.
Saat berjalan di koridor, Kayla melirik kanan-kiri. Lorong sepi, lampu putih berkilau, semuanya tampak steril.
Axel membuka pintu unit mereka.
“Masuk.”
Kayla melangkah pelan. Nyaman banget, batinnya, meski tak diucapkan.
“Kalo lo mau di sini, kamar ada dua. Jadi jangan takut,” Axel menjatuhkan tubuh ke sofa dengan santai.
Kayla mengintip salah satu kamar. Ruangannya lumayan luas, membuatnya diam-diam terkesan. Ia lalu kembali duduk di sofa seberang Axel, masih canggung.
“Kalo mau minum, ambil aja,” ucap Axel cuek, matanya sibuk dengan ponsel.
“Ya,” jawab Kayla malas. Alih-alih mencari minum, ia berjalan ke balkon, menghirup udara segar yang lebih menenangkan daripada duduk di samping Axel.
Tak lama, pintu diketuk. Ibu Ami dan Pak Herman datang.
“Pengantin baru!” seru Bu Ami sambil langsung memeluk Kayla hangat.
“Hay, Ibu.” Kayla tersenyum sopan.
“Gimana? Nyaman tinggal di sini?” tanya Bu Ami sambil menatap sekeliling.
“Nyaman, Bu,” jawab Kayla singkat.
Tapi ekspresi Bu Ami berubah ketika membuka rak dapur. Kosong. Sama sekali tak ada persediaan.
“Loh, ini kosong banget, Xel! Kamu kan dikasih uang buat belanja. Kok belum diisi? Kayla makan apa?”
Axel dengan tenang berbohong.
“Belum sempet belanja. Kayla tidur terus.”
Kayla mendelik tajam.
“Dih!” gerutunya pelan, kesal karena dijadikan kambing hitam.
Pak Herman menepuk sofa, memanggil Kayla duduk.
“Kayla, ini ponsel buat kamu.”
Kayla menerima dengan senyum tulus.
“Makasih, Pah.”
Sementara Axel, dengan gaya manjanya yang menyebalkan, menukas.
“Mana mobilnya, Pah?”
Najis… Kayla mengernyit dalam hati.
“Bentar lagi datang,” jawab Pak Herman tenang.
Mereka mengobrol hangat, hingga akhirnya telepon masuk. Mobil baru sudah tiba di bawah.
“Yuk kita lihat,” ajak Pak Herman.
Turun bersama, Axel langsung sumringah begitu melihat sebuah BMW putih mengkilap terparkir. Ia memeluk ayahnya setengah berlebihan.
“Waaah, makasih ya, Pah!”
Pak Herman menepuk bahu putranya, nada suaranya tegas.
“Sama-sama. Ingat kata Papa, jangan sakiti istri kamu. Nanti kamu bantu Papa di perusahaan juga, biar punya penghasilan sendiri.”
“Iya, Pah,” jawab Axel tersenyum, meski matanya berbinar lebih karena mobil ketimbang pesan ayahnya.
Kayla hanya diam, melipat tangan di dada. Antara malas menanggapi dan muak melihat kelakuan suaminya.
Sore itu, setelah puas, orang tua Axel pun pamit pulang. Sunyi kembali mengisi apartemen.
Axel membuka kulkas kosong, menggaruk kepalanya.
“Mau belanja apa?” tanyanya.
Kayla duduk santai, menyalakan ponsel barunya, wajahnya berseri-seri penuh kebahagiaan.
“Ngga tau. Gue ngga bisa masak,” jawabnya ketus.
Axel menutup kulkas, menoleh.
“Lapar ngga lo? Mau makan ngga?”
“Boleh,” jawab Kayla singkat, masih fokus dengan layar ponselnya yang kinclong.
Axel mendesah, lalu membuka aplikasinya. Pesanan makanan segera diketik, sementara Kayla sibuk dengan dunia kecil barunya, ponsel yang terasa jauh lebih berarti daripada perhatian suaminya.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya makanan yang mereka pesan tiba. Axel meletakkannya di meja, namun tak ada kehangatan dalam suasana.
Mereka makan di tempat masing-masing, jarak meja seolah menjadi sekat dingin di antara keduanya.
“Lo besok kuliah, padahal lebih deket dari sini daripada di kosan,” ucap Axel santai sambil menyuap nasi, matanya tak lepas dari piring.
“Ogah,” jawab Kayla singkat, tanpa menoleh. Matanya terpaku pada layar ponsel, menonton film dengan headphone terselip di telinga.
Axel mendengus, lalu tertawa sinis.
“Gue ngga akan ngapa-ngapain lo, jangan ge’er lo.”
Ucapan itu membuat Kayla berhenti sesaat. Ia menatap Axel dengan sorot mata penuh peringatan.
“Hari ini lo ngomong gitu. Ngga tau kan kalo besok-besok.”
Axel malah menanggapinya dengan tawa pendek, jelas meledek, seolah
kata-kata Kayla justru menghiburnya.
Kayla menghela napas keras, lalu menutup ponsel.
“Anterin gue balik abis makan.”
“Ogah,” jawab Axel datar, malas.
“Test drive mobil baru,” pancing Kayla dengan nada santai.
Axel akhirnya mengalah, meski dengan helaan napas panjang.
“Ok. Tapi kita belanja dulu. Ntar takutnya Mamah ke sini lagi ngomel-ngomel.” Ia menatap Kayla, lalu menambahkan dengan nada menyindir.
“Sekalian lo mau duit berapa dari gue?”
“Ngga perlu,” jawab Kayla dingin, tatapannya kembali ke layar ponsel barunya.
“Gue suami lo, anying. Harus kasih lo duit. Ya, itu juga dari bokap gue deng.” Axel terkekeh.
Kayla ikut tersenyum kecut, geli sekaligus muak.
“Udah punya rekening blom lo? Gue tf.”
“Ada.”
“Chat.”
“Hm.” Kayla menjawab malas.
Usai makan, mereka pun pergi ke supermarket. Axel mendorong troli, sementara Kayla berjalan pelan sambil mengamati rak-rak penuh barang.
“Lo pilih yang lo mau dan lo suka. Nanti suatu saat lo pasti ke apartemen,” kata Axel sambil mengambil beberapa barang kebutuhan dasar.
Kayla tersenyum miring. Ia mulai memasukkan barang ke troli satu per satu, awalnya biasa, lalu semakin banyak. Iseng, ia ambil semua yang diinginkan, bahkan yang tak terlalu penting. Troli pun penuh sesak.
“Udah?” tanya Axel singkat.
“Ya.”
Kayla melirik Axel, heran dalam hati. Si anjir, kagak komplain dia…
“Yakin ngga mau di apartemen?” Axel kembali menawarkan saat mereka sudah di mobil.
“Gue pikir-pikir dulu deh.” Kayla menjawab sambil melihat keluar jendela.
“Ok,” jawab Axel datar, lalu menepikan mobil di depan kosan.
“Thanks.” Kayla turun dengan cuek, menutup pintu mobil.
Di kos, Anya langsung melotot kaget melihat barang belanjaan.
“Waaah, lo belanja banyak amat, Kay!”
Kayla menjatuhkan diri ke kasur, membuka snack sambil terkekeh.
“Lebih banyak malah. Cuma buat di apartemen. Si Axel royal, anjir. Gue sengaja ambil banyak, sampe troli penuh, kagak komplain dia.”
“Ya lo tau dia kan emang sultan dari dulu,” sahut Laras sambil nyemil.
“Gue disuruh pindah, tapi males, anjir.” Kayla mendengus, membuka bungkus snack.
“Padahal nyaman di apartemen loh, Kay. Lebih luas. Di sini sumpek.” Anya menimpali.
“Iya sih… tapi gue ogah debat mulu. Cape. Dia nyebelin terus, gue juga takut dia ngapa-ngapain gue.” Kayla meringis, uring-uringan.
“Dia suami lo, anjir. Wajar ngapa-ngapain lo,” Laras ngakak sambil nyuap keripik.
“Ia sih…” gumam Kayla, menggigit bibir bawahnya. Ragu sekaligus takut.
“Terserah lo deh,” timpal Anya, acuh sambil ngemil.
Suasana hening sebentar, sampai ponsel Kayla berdering. Nama Revan muncul di layar. Kayla buru-buru menjawab dengan senyum manis.
“Hallo.”
“Hay, lagi apa cantik?” suara Revan terdengar ceria.
“Ngemil,” jawab Kayla terkekeh.
“Bagi dong.” Revan bercanda, nadanya ringan.
Kayla terdiam sejenak, lalu menghela napas berat.
“Iya, Van. Ngga ada yang suka bagi jajanan aku sekarang…” Nada suaranya berubah sendu.
Revan ikut melembut, meski lelah masih terdengar.
“Sabar ya. Nanti aku balik kok.”
Kayla menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Kangen, Van.”
“Sama, Kay. Sabar ya.” Revan tersenyum tipis.
“Van…” Kayla terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara gemetar.
“Aku disuruh tinggal di apartemen. Gimana ya? Aku takut, Van.”
“Dia suami kamu, Kay. Kamu harus nurut,” ucap Revan lembut, tapi suaranya terdengar berat.
“Tapi aku takut dia kasar, Van.” Kayla menutup wajahnya, air matanya akhirnya jatuh.
Revan mendesah, menahan emosi.
“Kalo gitu jangan. Aku ngga akan rela kamu disakitin. Jangan nangis, sayang.”
“Mau nyusul kamu, Van.” Kayla bicara sambil mengusap air matanya.
“Nanti ya… kalo aku udah sukses.”
“Ngga perlu nunggu sukses, Van. Buat bahagiain aku, kamu ada di samping aku aja… aku udah bahagia kok,” Kayla menangis semakin keras.
Revan terdiam lama, lalu berkata lirih.
“Tapi Kay… masalahnya kamu udah nikah. Baru aja nikah. Ngga akan semudah itu buat pisah dari suami kamu. Gimana nanti keluarga dia, gimana nanti keluarga kamu. Mereka pasti saling nyalahin. Kamu jangan ikutin ego kamu ya, cantik. Kasihan ibu kamu nanti sakit.”
Kayla menatap layar, matanya sembab.
“Revan, kamu baik banget sih. Kamu tuh mikirin keluarga aku terus dari dulu. Sedangkan mereka… ngga pernah nganggep kamu ada, Van.”
“Gak apa-apa… Aku lihatnya kamu kok, bukan mereka.” Revan berusaha tersenyum meski suaranya bergetar.
“Bobo ya. Besok kuliah, kan.”
Kayla hanya mengangguk sambil mengusap air mata.
Revan menutup telpon lebih dulu, wajahnya tertunduk. Hatinya hancur. Ia menahan tangis keras-keras, tapi akhirnya air mata pun jatuh.
“Semoga kamu bahagia, Kay,” bisiknya pelan, sambil meneteskan air mata di balik layar gelap ponselnya.