Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. KESAKITAN NAYA
Tangis Naya pecah saat itu juga. Dadanya bergetar dengan hebat menahan sesak yang membuncah dalam dadanya. "Aku tidak mungkin bisa menerimanya. Aku tidak ingin terluka lagi. Aku hanya ingin hidup tenang membesarkan anakku. Maafkan aku dok.. aku hanyalah perempuan hina. Sampai kapan pun aku tidak akan pantas bersanding dengan siapapun."
Wira hanya mampu menatap pintu kamar Naya. Bisa saja baginya untuk menerobos masuk ke kamar itu dan kembali meyakinkan Naya tentang keseriusannya untuk menikahi Naya. Namun dia tidak ingin egois, memaksakan keinginannya sendiri. Tidak ingin menambah beban pikiran Naya. Dia hanya ingin Naya benar - benar bisa menerimanya dengan tulus. Bukan karena terpaksa.
"Mungkin bagimu ini semua terlalu tiba - tiba Naya. Namun aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Aku ingin membahagiakanmu. Kita bisa sama - sama saling menguatkan satu sama lain." Monolog Wira dalam hatinya.
Perlahan langkah berat kaki Wira meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tujuan hidupnya di pintu itu. Mencoba memberikan ruang dan waktu bagi Naya untuk memikirkan kembali permintaannya.
* * *
Malam itu suasana begitu sepi. Meski belum jam 7 malam, namun keheningan seolah menyergap tempat itu. Perlahan Naya merebahkan dirinya di atas ranjang. Usia kehamilan yang semakin tua membuatnya sering merasa lelah. Tubuhnya seolah tak mampu lagi membawa beban di perutnya.
Ceklek ...
Pintu terbuka dari luar. Seorang suster memasuki kamarnya dengan sorot matanya yang tajam.
"Kamu dipanggil dokter Wira, ada serangkaian test yang harus kamu lakukan untuk kepulanganmu besok." ucapnya dengan nada ketusnya.
Nayla menoleh sesaat sembari mencerna ucapan suster itu. "Test? Bukannya test dilakukan di pagi hari? Kenapa harus malam hari begini?" gumam Naya dengan suaranya yang lirih.
"Malah bengong. Ayo Cepat..!!" teriak suster itu membuyarkan lamunan Naya.
Naya pun turun dan memakai cardigan, mengingat cuaca yang cukup dingin di malam hari. Naya akhirnya keluar diantar oleh suster tersebut. Berjalan beriringan melewati lorong panjang di dalam rumah sakit tersebut.
Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup sepi. Hanya beberapa kursi dan ranjang yang tertutup kain warna putih seolah menunjukkan ruangan itu sudah lama kosong dan tak terpakai.
Tubuh Naya bergidik ngeri melihat tempat itu. Sebuah tempat yang lebih cocok dikatakan sebagai gudang ketimbang ruang medis.
"Sus.. Kenapa tidak di ruangan biasanya? Dan dimana dokter Wira? Apa suster yakin tempatnya disini?" ucap Naya dengan nada penuh curiga.
"Kau meragukanku. Disini tempatnya lebih tenang, jadi kamu bisa fokus." ucap sang suster dengan nada remehnya.
Ceklek..
Pintu terbuka dari luar. Suara perpaduan heels dengan lantai menggema dalam ruangan itu. Sorot mata Naya menyipit. Mencoba menerka siapa yang datang kesana.
"Kau menungguku? Kau pasti sangat kecewa atas kedatanganku karena bukan dokter Wira yang datang."
Nyali Naya mendadak menciut melihat kedatangan dokter Laras. Bukan karena takut menghadapinya, melainkan kondisinya yang tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan kepada dokter itu.
Naya memegangi perutnya yang terasa kencang, mungkin efek dari kepanikannya menghadapi dokter Laras. Perlahan ia beringsut mundur, sebisa mungkin mencoba menghindar dari ketegangan dengan dokter Laras.
Perlahan dokter Laras mengunci pintu ruangan itu. Langkah beraninya berjalan mendekati Naya. Sorot matanya yang tajam seolah mampu menguliti Naya hidup - hidup.
Dokter Laras duduk dikursi. Merogoh sakunya, mengambil rokok dan kemudian menyulutnya dihadapan Naya.
Dengan sangat kasar suster itu mendorong tubuh Naya hingga terjatuh tepat di kaki Laras.
"Aww.. " ringis Naya seraya memegangi perutnya yang kesakitan.
Heels dokter Laras mendarat dengan begitu sempurna di tangan Naya. .
"Aawww.. Sakit dok." Naya mencoba melepas pijakan kaki Laras dari tangannya. Dengan wajah angkuhnya ia menyesap rokok itu dan mengepulkan asapnya tepat ke wajah Naya hingga terbatuk.
Ditariknya rambut hitam Naya hingga kepalanya mendongak ke atas. " Aku kira wanita berkelas yang berani merebut Wira dariku, tapi ternyata hanya wanita hina yang tidak tahu diri. Aku merasa kasihan kepadamu, apa karena kau sudah lama tidak disentuh hingga kau menargetkan Wira selanjutnya. Kau jual berapa tubuhku ke Wira, hah?" Sebuah kalimat yang tidak mencerminkan wibawa seorang dokter. Kata - kata yang sangat kasar.
Naya terbatuk - batuk, asap rokok itu membuatnya sesak nafas. "Sedikitpun aku tidak pernah pernah bermimpi untuk merebut dokter Wira." ucap Naya dengan wajah memerahnya menahan kesakitannya.
"Suster.. bantu aku membawanya ke ranjang itu." perintah Laras dengan emosinya yang meledak - ledak.
Mereka berdua menyeret tubuh Naya hingga ke tepi ranjang. Memaksanya bangun dan menjatuhkan tubuh Naya ke atas ranjang.
"Kau ingin fokus melahirkan? Itu kan alasanmu di depan Wira. Baiklah aku akan membantumu dengan senang hati.."
Tangannya dengan cepat mengambil 4 butir obat dan memasukkannya ke dalam mulut Naya secara paksa.
"Suster ... Kau punya dendam kan kepadanya. Lampiaskan saja sekalian saat ini juga. Buat dia selalu mengingat malam ini seumur hidupnya." Senyuman iblis jelas tercetak di wajah dokter Laras.
Tanpa belas kasihan suster itu menggunting rambut Naya. mengguntingnya hingga tak berbentuk. " Rasakan... Kau selalu kegatelan dengan dokter Wira. Merasa sok cantik kan dengan rambut hitammu ini kan. Kita lihat setelah ini, apakah dokter Wira mau masih melirikmu jalang kecil.."
"Haahahha.."tawa mereka berdua menggema memenuhi ruangan itu.
"Aww... Sakit dok... Tolong ... Awww... " teriak Naya penuh kesakitan seraya memegangi perutnya yang terasa kencang dan nyeri.
"Aww... Sakit ya? Kau bahkan tidak bisa menahan sakit tapi malah menantangku. Kau itu hanya secuil debu bagiku. Jangan pernah mengusik Wira lagi. Atau aku akan berbuat hal yang lebih gila dari ini. Camkan itu." tangannya mengepal kuat memukul perut Naya.
Mereka berdua meninggalkan Naya sendirian diruangan itu. Menguncinya dari luar. Suasana begitu hening, hanya isakan tangis pilu Naya yang memecah keheningan malam itu.
"Sakit... Tolong...Devan.. Tolong aku.."
Darah segar mengalir di sela - sela kaki putihnya.
Dengan keringat dingin yang membanjiri tubuhnya, Naya mencoba turun dari ranjang itu . Namun ia terjatuh, hingga akhirnya ia merangkak mencoba keluar dari tempat itu. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisunya penyekapan dan penganiayaan terhadapnya.
"Tolong. .. Tolong aku... Siapapun... Tolong.." teriaknya dengan suara yang lemah. Tangannya mengetuk pintu dengan sisa tenaga yang ada.
* * *
Hah.. Hah.. Hah..
Kedua matanya terbuka. Nafasnya tercekat. Mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin guna mengisi pasokan oksigen yang semakin menipis di dalam dadanya.
"Hanya mimpi. Kenapa terasa begitu nyata? Kamu dimana sayang? Pertanda apa mimpi ini.." ucapnya lirih dengan nada frustasi.
Perlahan ia turun dari ranjang. "Dimana aku? Kenapa bukan kamarku? Jam berapa ini?" gumamnya dengan suara khas bangun tidur.
Devan pun keluar dari kamar itu. Sorot matanya berpendar menyisir ruangan itu. Hingga akhirnya ia menemukan bayangan seorang wanita dengan berbalutkan celemek sedang sibuk memasak. Aroma nasi goreng menguar dan menggelitik indra penciumannya.
Tanpa pikir panjang, Devan berlari dan memeluk tubuh ramping itu dari belakang. Mencoba menyalurkan segala kerinduan yang menyesakkan dada. Sebuah kerinduan yang semakin menebal setiap harinya.
"Sayang kau disini? Aku sangat merindukanmu." ucapnya dengan nada sendu.
Embun terdiam sesaat. Mencoba melepaskan perlahan pelukan itu. " Pak Dev sudah bangun?" ucapnya dengan penuh keraguan.
Devan terlonjak kaget, seketika matanya membulat melihat wanita asing di depannya. "Siapa kamu?" ucapnya dengan nada dingin.
"Hah... Saya Embun pak. Saya anak magang di perusahaan Bapak, kemarin saya menemukan bapak tidak sadarkan diri di club. Mau saya antar pulang tapi saya tidak tahu alamat bapak." ucap Embun dengan nada ketakutan.
"Ah... Sialan.. Kenapa aku bisa sampai mabuk?" ucapnya seraya memijit pelipisnya sendiri.
Embun tersenyum tulus. "Bapak butuh sesuatu? Aku masak nasi goreng. Kalau bapak mau, mari kita makan siang bersama."
Senyuman Embun yang tulus mampu membuat Devan terdiam sejenak. Pikirannya menerawang jauh. Teringat akan senyum Naya. Senyuman yang mampu menggetarkan hatinya sejak awal kali pertemuan mereka.
Hingga tanpa aba - aba Devan mendaratkan bibirnya tepat di bibir Embun. Perlahan tapi pasti ciuman yang begitu lembut itu mampu membius Embun. Embun begitu terbuai dengan ciuman itu. Namun ia tetap mencoba bertahan dengan sisi kewarasannya.
Embun mendorong paksa tubuh Devan dengan begitu keras. "Hah... Pak hentikan.."ucapnya dengan nafas terengahnya.
Devan yang tersadar hanya bisa merutuki dirinya sendiri yang terbuai dengan kenikmatan sesaat itu. "Maaf ...maafkan aku." ucap Devan seraya pergi meninggalkan tempat itu.
"Sialan... Kenapa aku malah membayangkan wajah Naya pada gadis itu. Aku harus segera menemukan Naya. Kalau bisa, aku akan kembali ke Bandung dan mencarinya sendiri." ucapnya dengan penuh penekanan.