NovelToon NovelToon
TERJEBAK DALAM LUKA DAN HASRAT

TERJEBAK DALAM LUKA DAN HASRAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Romansa
Popularitas:23.9k
Nilai: 5
Nama Author: Reetha

Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Alan menarik napas panjang. Udara malam terasa lembut menelusup ke sela-sela jaket yang baru saja ia kenakan. Suara tawa mamanya masih terdengar samar dari dalam  seperti gema kebahagiaan yang entah kenapa malah membuat dadanya terasa sesak.

Ia menuruni anak tangga pelan, berjalan menuju halaman kecil di depan sana.

Alan menyandarkan diri di pagar, pandangannya kosong menatap jalanan yang mulai sepi.

Tadi mamanya bilang soal cucu, soal kebahagiaan, soal cinta yang datang di waktu yang tepat. Lucu, pikirnya. Cinta selalu terdengar sederhana ketika dibicarakan orang lain. Tapi bagi dirinya yang masih dibayangi masa lalu, cinta justru terasa seperti teka-teki. Sekilas, pikiran membawanya pada bayanga bocah kecil yang memanggilnya "papa" waktu itu.

Wajah bocah itu kembali muncul di benaknya, jelas sekali seolah baru kemarin.

Rambut hitam, mata bulat jernih, senyum polos yang tiba-tiba saja menyapanya di tengah keramaian mall. Dan panggilan itu…

"Papa!"

Alan memejamkan mata, membiarkan memori itu datang perlahan.

Rasanya aneh, pertemuan sesingkat itu malah meninggalkan jejak yang tak bisa ia hapus. Ada sesuatu di wajah anak itu yang terlalu mirip dirinya waktu kecil.

Tatapan mata, bentuk rahang, bahkan caranya tersenyum … semuanya sama.

“Aku bahkan belum tahu namamu,” gumamnya pelan.

Ia masih ingat bagaimana wanita paruh baya, pengasuh bocah itu datang tergesa menghampiri, berbicara cepat sambil menggandeng si kecil menjauh.

Dan sebelum Alan sempat menanyakan apa pun, mereka sudah lenyap di antara kerumunan.

Sejak hari itu, wajah bocah itu tak pernah hilang dari pikirannya.

Ia tak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang terasa salah… dan sekaligus benar.

Rasa itu aneh, seperti naluri yang berbisik, seperti sesuatu yang menghubungkannya dengan bocah kecil itu lebih dari sekadar kebetulan.

Alan membuka mata, menatap langit.

“Papa, ya…” ujarnya pelan sambil tersenyum getir.

“Mungkin cuma salah orang. Tapi kenapa… rasanya begitu nyata?”

Angin berhembus sedikit lebih kencang, membuat helaian rambutnya bergoyang pelan.

Ia tertawa kecil, tapi tawanya terdengar hambar.

Lucu, bahkan ketika semua orang di rumah memikirkan tentang pernikahan dan cucu, pikirannya justru terikat pada anak kecil yang bahkan tak ia kenal namanya.

Namun jauh di lubuk hatinya, ada bisikan lembut yang sulit ia abaikan — sebuah firasat yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Bahwa bocah itu bukan sekadar pertemuan kebetulan.

Alan menghela napas, menatap lampu taman  satu per satu.

“Ah, sudahlah,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri. “Kayaknya aku beneran butuh liburan.”

Ia tersenyum kecil, lalu berbalik menuju pintu rumah.

Tapi sebelum langkahnya benar-benar masuk, ia sempat menatap ke arah langit, dengan perasaan yang sulit dijelaskan antara rindu, bingung, dan harapan yang samar.

___

Malam di Seoul turun perlahan, Lampu-lampu dari gedung tinggi memantul di jendela apartemen Shenia. Di ruangan itu hanya ada bunyi detak jam dan suara napas tenang Aaron yang tertidur pulas.

Shenia duduk di tepi ranjang, bersandar pada dinding. Di tangannya, ponsel yang sejak tadi tak ia lepaskan menampilkan foto yang sudah lama tak ia buka, potret Alan, tersenyum dalam cahaya sore, saat mereka dulu tertawa tanpa beban di halaman belakang kediaman keluarga Abram.

Senyum itu masih sama. Hangat, tulus, dan penuh ketenangan yang dulu selalu membuatnya merasa aman.

Namun kini, setiap kali menatap foto itu, Shenia merasa dadanya sesak.

Matanya memanas, bibirnya bergetar menahan perasaan yang terus mendesak keluar dari ruang paling dalam hatinya.

Ada rindu di sana — rindu yang begitu kuat hingga rasanya menyakitkan. Tapi di balik rindu itu, ada luka yang tak kalah besar, dan rasa bersalah yang menggerogoti.

“Alan…” bisiknya pelan, seolah nama itu terlalu berharga untuk diucapkan keras-keras.

Ia menatap wajah di layar itu lama, seolah takut bayangan itu menghilang begitu ia berkedip.

Betapa ia ingin kembali ke masa lalu — saat semua masih sederhana, saat ia bisa menggenggam tangan Alan tanpa takut dunia menatap sinis. Tapi waktu sudah berjalan terlalu jauh.

Keluarganya hancur, kehidupannya tak lagi sama, dan dirinya… sudah bukan wanita yang dulu Alan kenal.

Ia merasa kotor, tercabik oleh keputusan yang ia buat sendiri.

Air matanya jatuh perlahan, membasahi layar ponsel yang masih menampilkan wajah pria itu.

Ia tersenyum pahit, mengusapnya lembut dengan ujung jarinya. “Kau pasti membenciku sekarang, ya?” gumamnya lirih.

Bahkan kata-katanya terdengar seperti permohonan maaf yang terlambat.

Shenia memejamkan mata, membiarkan kenangan datang silih berganti, suara tawa Alan, cara pria itu memanggil namanya dengan nada lembut, pelukan yang membuat semua beban seolah lenyap.

Ia merindukan itu semua.

Sekarang, setiap napas terasa setengah, setiap langkah terkadang seperti kehilangan arah.

Lalu pikirannya kembali pada Aaron, anak kecil  yang selalu ia perjuangkan itu, darah daging yang lahir dari cinta dan sekaligus kesalahan.

Shenia menatap ke arah anaknya, matanya berkaca-kaca.

“Maafkan mama, Nak,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. “Mama cuma ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik dan sehat setiap hari.”

Ia menggigit bibir, menahan isak yang nyaris pecah.

Bayangan Alan tak sengaja bertemu Aaron melintas di benaknya, seperti potongan gambar yang indah tapi menyiksa. Tapi, Shenia bahkan tidak berani membayangkan bagaiaman jika suatu saat pria itu akan tahu semua ini.

Semua rasa itu segera ia pendam baik-baik. Ia tahu, dirinya tak pantas. Ia bukan lagi gadis yang memiliki segalanya, derajatnya telah jatuh jauh ke bawah hingga tak berani lagi bermimpi untuk berada di sisi Alan seperti janji mereka dulu.

Bahkan jika Alan memaafkannya, ia tak yakin bisa memaklumi dirinya sendiri.

Di layar ponsel, senyum Alan seolah masih sama seperti dulu, lembut dan menenangkan.

Shenia tersenyum lirih, menyeka sisa air matanya.

“Kalau aja waktu bisa diulang…” ucapnya pelan. “Apa aku tidak akan meninggalkanmu? Apa kamu akan tetap memilih aku. ”

Ia menatap layar itu sekali lagi, lama, sebelum akhirnya menekan tombol lock.

Cahaya ponsel padam.

Ia menyandarkan kepala di dinding, membiarkan air matanya mengalir diam-diam sambil berbisik,

“Rindu ini... nggak pernah hilang, Alan. Bahkan setelah semua yang terjadi.”

Dan di malam yang sunyi itu, di antara rasa bersalah dan kerinduan, hati Shenia kembali mengucapkan nama yang selalu hidup dalam diamnya, Alan.

Pagi itu, sinar matahari menembus lembut melalui tirai putih yang bergerak pelan tertiup angin. Aroma teh chamomile menguar dari dapur kecil apartemen Shenia. Di meja makan, dua cangkir sudah terisi, satu untuknya, satu lagi untuk bocah kecil yang baru bangun dengan rambut acak-acakan dan piyama bergambar dinosaurus biru.

Aaron mengucek mata, lalu berjalan pelan dengan langkah gontai menuju meja.

“Selamat pagi, Mama,” sapanya dengan suara serak khas anak baru bangun tidur.

Shenia menoleh sambil tersenyum lembut, menyembunyikan mata sembabnya dengan cara paling sederhana, senyum yang sedikit terlalu lebar. “Selamat pagi, pangeran kecil Mama,” balasnya sambil merapikan rambut Aaron. “Tidur nyenyak?”

Anak itu mengangguk, lalu duduk dan menyeruput susu hangatnya perlahan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan nyaman, sampai akhirnya Aaron menatap wajah mamanya dengan dahi berkerut kecil.

“Mama capek, ya?” tanyanya polos.

Shenia terdiam sejenak. Tangan yang tadi sibuk memotong roti panggang berhenti di udara.

Ia menatap anaknya, “Kenapa kamu pikir gitu, sayang?” tanyanya pelan.

Aaron mengangkat bahu kecilnya. “Soalnya... mata Mama kayak abis nangis,” katanya jujur, sambil menunjuk ke mata Shenia dengan ekspresi khawatir. “Mama jagain Aaron terus, ya? Mama capek, ya, jagain Aaron sendirian?”

Kata sendirian itu meluncur begitu saja dari mulut kecil Aaron, tapi menghantam dada Shenia seperti gelombang besar.

Ia menatap anaknya, menelan keras, lalu tersenyum lagi, kali ini dengan air mata yang justru jatuh tanpa bisa ditahan.

“Nggak, sayang…” jawabnya sambil mengusap pipi Aaron lembut. “Mama nggak capek. Mama bahagia kok, bisa jagain kamu tiap hari.”

Aaron memiringkan kepala, menatapnya dalam, seolah mencoba membaca kebenaran dari wajah itu. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia turun dari kursinya dan memeluk Shenia erat dari samping.

Kedua tangannya yang mungil melingkar di pinggang mamanya, sementara kepalanya bersandar di bahu Shenia.

“Mama nggak boleh sedih, ya…” bisiknya lirih. “Aaron udah besar, nanti Aaron yang jagain Mama gantian. Aaron janji bakal sembuh, biar Mama nggak capek lagi.”

Kata-kata polos itu membuat air mata Shenia jatuh deras. Ia memeluk Aaron erat-erat, menunduk hingga wajahnya menempel di rambut halus anaknya.

Hatinya terasa hangat sekaligus pilu. Anak sekecil itu sudah begitu sadar akan keadaannya sendiri, bahkan lebih peduli pada ibunya daripada dirinya sendiri.

Aaron tersenyum kecil di pelukannya. "Mama kuat kayak  superhero kan?”

Ucapan itu membuat Shenia tertawa di sela air mata. Ia mencubit pelan pipi Aaron, lalu mengecup keningnya penuh kasih.

“Ya ampun, siapa yang ngajarin kamu ngomong pinter kayak gini, hm?”

Aaron mengangkat jari telunjuknya dengan gaya misterius. “Rahasia,” katanya, membuat Shenia akhirnya tertawa tulus untuk pertama kalinya setelah malam yang berat itu.

Suasana di dapur kecil itu kembali terasa hangat. Matahari makin terang, menyorot dua sosok yang saling berpelukan, ibu dan anak, saling menguatkan tanpa perlu banyak kata.

Shenia menatap wajah Aaron yang tersenyum lembut di pelukannya.

Dalam hatinya, ia berjanji lagi, apa pun yang terjadi, meski seluruh dunia menilainya salah, ia akan terus berjuang untuk kebahagiaan anak ini terutama kesembuhannya.

Mereka berdua kemudian tertawa kecil, melanjutkan sarapan sederhana yang terasa jauh lebih hangat dari biasanya.

Namun di balik senyum itu, Shenia tahu, di balik dunia kecil yang mereka bangun berdua, bayangan masa lalu masih menunggu di luar sana.

___

Bersambung.... likenya yaaa cinta..,,

1
Ophy60
Soalnya sikembar ada gara² kamu ngapa²in Alan y Shen 🤭🤭
Aku malah penasaran sama kehidupan Lila thor.
Dar Pin
ketawa sendiri bacanya Thor jadi sasaran ledekan kan Alan 🤣
Dar Pin
lanjut Thor masih kurang
Dew666
🔥🔥🔥
septiana
jadi terharu,ga terasa ikut ngalir aja ini air mata.. semoga kakek sama Aroon sukses untuk menyatukan kedua orangtuanya
Ophy60
Alana masih sebaik itu.Meski kecewa dengan Shenia tapi tetap memperlakukan Shenia dengan baik.
Dar Pin
bahagianya Thor semoga dilancarkan sampai halal dan chesna selamat sampai melahirkan 💪😄
Diyah Saja
ahh lega nya😍
Diyah Saja
eh jangan salah masih cinta itu mas nya Saama mbak chesnaa 😍
Dar Pin
ayolah sen setidaknya demi anak anak 💪Thor jangan lama lama updatenya
tari
semangat thor
up lagi dong yang banyak 😄😀
Dar Pin
ayo Alan semangat jagain anak anakmu jangan lepaskan shenia 💪😄
Dar Pin
habis nangis nangis Bombay langsung ngakak Thor sama kelakuan mama mertua tersayang ada ada aja hebohnya 🤭 💪 Thor tak tunggu lanjutanya👍
tari
thor up lagi dong yang banyak
Nurminah
akhirnya semoga segera yg manis2 ya Thor buat mereka berdua
tari
akhirnya kebongkar juga thor
Dar Pin
plong deh Alan udah tau kebenarannya pedih deh Thor mataku pengen nangis tp cuma cerita novel tp rasanya ky kisah nyata semangat Thor udah berhasil memporak porandakan hatiku 🤣
RaveENa
kl aku jd alan juga pasti bakalan marah bgt.
dr awal shenia udah salah jd terima aja hasil dr semua perbuatan km.
buat alan gak usah sadis2 amat,bagaimanapun juga Shenia ibu dr anak km.jgn km pisahin seorang ibu dr anaknya,ingat gmn menderitanya ibu km rania waktu jauh dr anak2nya
Dar Pin
tahulah shenia kesel deh nggak kasian malah mana ada ibu tega memberikan anaknya meskipun sama ayahnya sendiri nggak ngerti lah Thor bikin darting aja kenapa nggak jujur 🤣aja sih lanjut Thor bikin emosi 🤭
tari
thor kok anak nya di ambil alan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!