tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Pengawal rombongan ini berkurang, senapati widura tidak menampakan diri, juga temanku Anin dan Sari tidak kembali tapi aku juga tidak bisa menyusul mereka, aku berada di ujung pasukan memastikan tidak ada satupun dari rombongan yang tertinggal.
" ibu suri sebaiknya di depan " kataku sehalus mungkin, memang seperti ini lah cara kami berbicara dengan atasan, walau memang kami tidak dididik untuk menjadi wanita lemah lembut.
" tidak mengapa, aku juga ibu mereka, aku akan memastikan semua aman" kata ibu suri, wanita bangswan yang mengayomi.
" namamu siapa ?" bertanya ibu suri kepadaku.
" saya Gemi " sahutku
" namamu cukup bagus, secantik wajahmu " kata ibu suri yang kupastikan hanya basa basi menyenangkanku, aku tidak secanti orang lain, dan namaku juga baru kali ini ada yang bilang bagus, andaikan yang mengatakan adalah temanku, aku pasti berpikir dia akan meminta hutangan.
Aku mendengar derap rombongan kuda dipacu dengan kecepatan penuh, celaka mereka sudah menyusul,
" ki gerbo, ambillah kekang kudaku dan segera bawa mereka lebih cepat, kataku sambil menyerahkan kekang kudaku yang dinaiki ibu suri
" larilah sampai benteng " bisiku kepada kuda tungganganku
" aku bisa membawa kuda sendiri, tidak perlu dituntun" kata ibu suri, aku tersenyum dengan manis sambil mengumpat didalam hati, " kenapa tidak dari tadi"
Senapati Galuh, wulan, Dewi, Sapto , Kromo, tinggalah bersamaku yang lain segera berlindung di Benteng , tameng kedua ratih, wani, Kadi, dan lima orang pemikul tandu " perintahku lantang
" sesampainya di benteng ikuti perintah ibu suri " kataku lagi, mereka serempak mengatakan siap.
Rombongan terdiri dari para wanita bangsawan, para emban kepercayaan dan beberapa orang lelaki pemanggul beban itu, bergerak dengan sedikit tergesa, tidak terdengar lagi putri atau selir yang menggerutu, semua tegang pada akhirnya.
" hati-hatilah " kata ibu suri , aku mengangguk merasa diperhatikan.
aku menyarungkan kembali celuritku, dan mulai mengeluarkan panah dan busurku, mengajak Galuh ikut bersamaku menyongsong mereka dari atas, pepohonan sedang ketiga orang lainya bersembunyi di rerimbunan, kami harus berusaha mengurangi musuh sebanyak kami bisa.
aku menemukan sebuah pohon yang pas, dengan sekali tarikan tenaga dalam tubuhku seperti melayang dan aku berhasil menggapai sebuah ranting yang cukup untuk mengintai, dari kejauhan aku melihat pasukan ternyata tidak sebanyak yang kuduga, atau ini masih sebagian saja, aku memberikan kode setelah menghitung jumlah mereka tidak lebih dari lima belas orang, aku memberikan kode kepada temanku bahwa orang yang kami incar, kami minimal harus melumpuhkan lima orang, maka ketepatan waktu harus dipertimbangkan atau mereka akan segera balas menyerang.
aku memberikan kode kepada masing-masing, orangku, aku mengangkat tangan kiriku dan mulai menghitung mundur, 3 ... 2..1
hujan anak panah dari atas pepohonan membuat keributan di bawah, bahkan ada seekor kuda yang berlari sangat kencang tidak mampu mengerem secara mendadak ikut terbanting dan menindih kuda yang lain, dan penunggangnya terlempar cukup jauh tidak nampak bergerak lagi.
Enam orang tumbang, anak panahku menyumbang seorang lelaki memakai ikat rambut berwarna merah, aku mengincar lehernya, sayang sekali tembakanku meleset mengenai pundak saja. sepertinya kalau terpaksa dia masih bisa kembali melawan atau berlari.
sembilan orang lainya menarik kekang kuda secara spontan, kemudian turun dari kuda dan membentuk formasi saling memunggungi dan membuat putaran, kembali kami menghujani panah, tapi kali ini mereka lebih siap, peluru yang kami lepaskan berakhir sia-sia.
sembilan orang tersisa dengan kami berlima, aku memberi isarat untuk bertempur jarak pendek, karena mereka sudah mengetahui titik kami berada dan kemungkinan segera membalas juga, maka menurutku kami harus mendahului, keempat temanku turun seketika dan terjadilah perang.
aku masih belum turun dan berharap mereka tidak sedang melihatku, dengan cepat kembali kutarik busurku, tapi kali ini aku harus lebih berhati-hati, teman atau lawan bergerak dengan cepat dan aku takut salah bidik, aku mulai merentangkan busurku kembali kemudian mengikuti gerakan dibawah dan membidik.
" crassssss jleb " panah tertancap tepat di leher salah satu musuh kami, sembilan orang tinggal delapan yang aktif dan berdiri tanpa cedera, aku tidak bisa kembali berspekulasi, aku takut tembakanku meleset dan mengenai temanku sendiri.
seseorang menyongsongku ketika melihatku turun dari pohon.
" Kau gadis juga " kayanya mengeluh
" aku gadis dan tidak takut padamu " kataku tersenyum sinis dan kemudian langsung membacoknya dengan celurit besarku,
" woshhhhhh " serangan pertamku dielakan dengan sangat mudah, tapi tujuanku memang hanya mengertaknya, menyusul serang kedua, tendangan ketiga, celuritku yang besar dan mengkilap terlihat menakutkan, pedang bertemu celurit pijar api terbentuk dari kedua benturan, tapi celuritku bukan sembarang celurit, aku membawanya dari daerah selatan dimana pande besinya adalah saudara nenek di Madura, dan bahannya adalah bahan terbaik.
" gadis iblis " katanya sambil memaki, aku tidak keberatan dimaki seperti itu.
aku tidak banyak berbicara, tapi seranganku yang mengatakanya, pada serangan ke lima, aku berhasil melukai punggungnya dengan parah, cukup singkat untuk sebuah pertarungan antar prajurit apalagi melawan seorang perempuan.
" matehh " kataku menggertak dengan bahasa madura, dengan kata ini mereka mengetahui dari mana asalku, biasanya beberapa orang sering menjadikan bahasaku sebagai candaan, karena prajurit dari madura belum terlalu banyak, sebagian besar komunitas kami adalah pedagang ulung bukan prajurit.
orang yang melawanku segera tumbang, ternyata kami pentas untuk diperhitungkan, hanya tinggal beberapa orang melawan yang pada akhirnya tinggal tiga orang dan berusaha melarikan diri, sebelum benar-benar terjadi aku merogoh ketapel di selendangku, dan dengan cepat kongkok mengambil batu apapun di depanku dan melempar tanpa perhitungan matang,
tapi sungguh sial penunggang kuda paling belakang, batu secepat peluru mengenai tengkuknya, lelaki itu terjerembab jatuh kemudian tidak bergerak lagi.
" Kau perempuan luar biasa " kata senapati Sapto, sebelumnya kami tidak saling mengenal, senapati sapto berasal dari bayangkara,
" gadis madura ini sungguh kuat kan ?" sambung senapati Kromo, mereka berdua terlibat pembicaraan.
" ayo kita segera menyusul rombongan " kataku,
beberapa menit kemudian kami membedal kuda kami berusaha menyusul rombongan, aku tahu dengan pasti bahwa mereka berdua akan melapor dan mendatangkan pasukan yang lebih besar lagi untuk menggempur kami, semoga istana dalam keadaan aman, sehingga mereka bisa fokus ke inti tidak datang untuk menyerang kami.
sementara itu pasukan musuh walaupun dengan susah payah bisa dipukul mundur, pangeran Soka, biang keladi dari kekacauan ini juga bisa di lumpuhkan dan dipenjarakan sambil menunggu keputusan pengadilan
, keadaan mulai kondusif, sisa pasukan pemberontak sebagian menyerah dan dimasukkan kedalam penjara-penjara di berbagai tempat, penjara penuh sesak, sebagian lagi melarikan diri.
pasukan bayangkara bekerja semakin keras, pemulihan keamanan kotaraja tidak bisa diselesaikan dengan cepat, langkah darurat militer diambil.