Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ibu?
Di ruangan gelap itu, napas Arunika tersengal. Gelora amarah dari ucapan wanita tadi masih menguasai pikirannya.
'Roman bukan ayahku … Rafael hanya memanfaatkan aku … siapa sebenarnya yang bisa kupercaya?' akhirnya borgol besi di tangan Arunika berhasil terlepas karena kegigihannya saat mencoba melepaskan diri. Namun, terdiam saat suara dari luar terdengar nyaring dari telinganya.
Suara langkah penjaga mendekat membuatnya tersadar. Dengan sigap, Arunika menjatuhkan tubuhnya seolah masih pingsan. Penjaga masuk, merendahkan tubuhnya untuk memastikan. Saat itulah Arunika bergerak cepat, menghantam kepala pria itu dengan kursi kayu di dekatnya.
Brak!
Penjaga itu ambruk. Arunika gemetar, tapi tangannya tetap sigap meraih pistol di pinggang pria itu. Jantungnya berdetak kencang. 'Aku harus keluar dari sini … sekarang juga.'
Dengan langkah hati-hati, ia menyusuri koridor lembab itu. Setiap suara berderit dari sepatu penjaga membuatnya hampir panik, namun ia tahu ini satu-satunya kesempatan.
Di waktu yang sama, Rafael memasuki markas tersembunyi itu bersama Marco dan beberapa orang kepercayaannya. Bau besi dan darah memenuhi udara. Rafael berjalan mantap, matanya tajam, hingga langkahnya terhenti di depan sebuah aula besar.
Di sana, berdiri sosok wanita elegan dengan senyum samar, wanita itu adalah ibunya.
“Rafael,” sapanya tenang, seakan pertemuan itu biasa saja. “Akhirnya kau datang juga. Kudengar kau mengamuk hanya karena seorang gadis?”
“Jangan main-main denganku, Bu.” desis Rafael, rahangnya mengeras. “Di mana Arunika?”
Wanita itu mendekat, langkahnya anggun, mata tajam menelusuri wajah putranya. “Kau sungguh melindunginya … padahal dia anak dari musuh kita. Putri Arum dan Larasastri. Kau lupa bagaimana keluargamu hancur karena mereka? Kau lupa bagaimana aku kehilangan suami dan kau kehilangan ayahmu!" teriak wanita itu lantang.
“Diam! Nyonya Aurel ... Anda sudah cukup dan puas bukan dengan apa yang Anda dapat selama ini? Tiga tahun Arunika hidup miskin di luar sana. Apa Anda belum puas?!” Rafael membentak, suaranya menggelegar. “Dia tidak bersalah!” lanjutnya.
Ibunya terkekeh dingin. “Kau jatuh cinta, Rafael? Itu kelemahan. Dan kelemahan adalah kehancuran. Aku tidak mendidikmu untuk menjadi lemah. Sudah ku katakan ... nikahi gadis itu dan buat dia menderita ... bukan membantu dia melawan semua orang,'
Rafael maju selangkah, wajahnya mendekat penuh amarah. “Kalau kau berani menyentuhnya … aku tidak akan peduli lagi kau ibuku atau bukan.” Untuk pertama kalinya, senyum wanita itu pudar. Tatapannya menajam, menyadari anaknya kini berdiri bukan lagi sebagai putra, tapi lawannya.
Di sisi lain markas, Arunika berhasil keluar ke halaman belakang. Nafasnya terengah, tangannya masih menggenggam pistol curian. Dari kejauhan ia mendengar suara bentakan Rafael, menggema dari aula utama. Dadanya bergetar, antara lega karena Rafael ada di sini, atau takut kebenaran yang terungkap membuat segalanya semakin rumit.
Langkah Rafael maju mendekati ibunya, tatapan matanya membara. Nafasnya berat menahan amarah yang hampir meledak.
“Aku tidak peduli siapa Arunika,” Rafael berkata lantang, menembus udara dingin aula itu. “Biarpun dia anak musuhmu, musuhku, atau siapa pun ... aku mencintainya. Aku akan melindunginya dengan hidupku. Dan suatu hari … aku akan punya anak bersamanya.”
Ucapan itu bagai petir yang membelah langit. Aula yang tadinya dipenuhi bisik prajurit seakan hening seketika.
Arunika yang sedang bersembunyi di balik dinding, masih dengan tangan bergetar menggenggam pistol curian, mendengar jelas setiap kata. Matanya berkaca-kaca, dadanya bergemuruh tak percaya Rafael benar-benar mengungkapkan hal itu di depan ibunya sendiri.
Aurel, wanita yang selama ini dikenal dingin dan tak tergoyahkan, mendadak wajahnya memerah penuh amarah.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rafael. Suaranya menggema di ruang luas itu. Rafael terhuyung sedikit, tapi ia tidak melawan. Hanya berdiri tegak, matanya tetap menatap lurus pada ibunya.
“Kau berani menghina darah dan nama keluargamu sendiri demi perempuan kotor itu?!” Aurel berteriak, suaranya bergetar penuh kebencian.
Rafael tidak bergeming. “Sekotor apa pun Arunika menurutmu, dia tetap wanita yang kucintai.”
Aurel mendengus, lalu tertawa keras, tawa yang membuat bulu kuduk berdiri. “Kau tahu apa yang akan terjadi pada wanita itu sekarang? Dia akan jadi mangsa binatang buasku. Aku pastikan pengawalku akan bersenang-senang dengannya malam ini, di lantai atas markas ini. Kau akan mendengarnya menjerit!”
Rafael mengepalkan tangan, matanya menyala penuh amarah. Namun, yang tak diketahui Rafael, kata-kata Aurel hanyalah jebakan, racun psikologis untuk menghancurkan anaknya.
Sementara itu, Arunika yang sudah berusaha melongok ke arah Rafael, hendak melambaikan tangan, tanda kecil untuk memberitahu keberadaannya, tiba-tiba tercekik. Sebuah tangan kasar menutup mulutnya dari belakang.
“Diam,” suara berat pria itu berbisik, lalu menyeret Arunika menjauh dari aula.
Rafael tidak melihat itu, tapi nalurinya berteriak. Ia melangkah maju, suaranya menggelegar.
“Marco! Kerahkan semua orang! Cari Arunika! Jangan biarkan siapa pun menyentuhnya!”
Marco mengangguk cepat, memberi isyarat pada pasukan bayangan Rafael yang sudah tersebar di sekitar markas. Rafael menatap ibunya sekali lagi, dengan mata penuh api. “Teruslah berteriak, Ibu. Aku tidak peduli. Selama aku hidup, tak akan ada yang menyentuh Arunika. Aku akan menemukannya, dan aku akan menghancurkan siapa pun yang mencoba menyakitinya.”
Aurel berteriak marah, “Kau bodoh, Rafael!” Tapi suara itu tak lagi masuk ke telinga Rafael. Ia sudah berlari meninggalkan aula, hatinya terpaku hanya pada satu nama yaitu, Arunika.
Hai mampir ke karya temanku juga ya.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh