Rantai Kekayaan

Lurah Sukarta malah teringat ketika dia pulang dari kunjungan ke orang pintar dengan wajah kusut. Namanya juga lurah, untuk pegangan dia sering pergi ke orang pintar agar dirinya selamat dan tak ada orang yang berani terhadap dirinya. 

Namun, kali itu dia merasa sangat bingung ketika orang pintar itu mengatakan sesuatu hal tentang putri sulungnya.

"Anak sulungmu itu tak akan bisa menikah dengan pria pilihanmu. Sulit mencari yang mau menerima Susi, dengan hari kelahirannya yang dianggap istimewa itu."

Sukarta mengerutkan dahi, dia ingat bagaimana warga desa memandang kelahiran Susi sebagai kutukan dan pembawa sial yang bisa membawa bencana bagi warga desa.

Kalau saja dulu dia bukan turunan orang kaya yang sering pergi ke dukun untuk jaga-jaga, sudah dapat dipastikan kalau keluarga lurah Sukarta akan diminta pindah atau pergi dari kampung itu.

Dia juga masih sangat ingat apa yang dikatakan oleh orang pintar, Susi akan membawa kesialan bagi pria yang menikahinya. Kini di benaknya mulai tertanam pikiran lain. Terbersit di pikirannya untuk menikahkan Susi dengan Dirja.

"Kalau begitu, kamu nikah saja dengan Dirja,” ujar Sukarta dengan suaranya yang pelan sekali.

Meskipun Dirja sudah punya istri, anaknya jatuh hati padanya. Selain itu, Dirja orang miskin yang tengah membutuhkan uang untuk biaya pengobatan istrinya yang lumpuh saraf. Sukarta yakin, Dirja pasti mau menerima lamaran ini. 

"Pak, tapi bukankah Bapak yang bilang aku tak boleh menikah dengan Dirja?” tanya Susi. Suara Susi terdengar ragu.

Dia menatap ayahnya dengan mata penuh tanya. Sukarta menghela napas panjang, dia mencoba menepis rasa bersalah yang menggelayut. 

"Kita lamar Dirja saja untuk menikahimu,” katanya pelan, seolah meyakinkan diri sendiri lebih dari Susi.

"Tapi, Pak. Apa Bapak yakin?"

"Tadinya Bapak nggak mau kalau nantinya kamu disebut orang ketiga di dalam rumah tangga Dirja, tapi keadaannya mendesak. Dea sudah hamil, sekalian kamu nikah juga. Kalau nanti dia lahiran, bilang aja lahir prematur. Biar warga tak curiga," ujar Sukarta.

"Terserah Bapak saja, Susi manut, Pak."

Dengan langkah perlahan dia didampingi oleh Susi dan juga Srini menuju pos satpam, di mana di sana ada Dirja dan juga Darmi yang sedang makan siang bersama. Lebih tepatnya, Dirja menyuapi Darmi dengan penuh kasih sayang. 

"Maaf, apa kedatangan kami ngganggu?"

"Nggak, Pak. Ada perlu apa ya? Kenapa sampe rame banget datangnya? Apa saya mau dipecat?" tanya Dirja was-was.

Keinginannya untuk meminang Susi belum terlaksana, bisa bahaya kalau dirinya dipecat dari pekerjaannya. Sulit untuk mencari wanita yang memiliki hari kelahiran spesial untuk dia nikahi. 

"Nggak ada yang salah sih, saya cuma mau ngomong sama kamu dan istri kamu. Lebih tepatnya mau meminta izin kepada istri kamu, apa boleh?"

"Silakan, Pak."

Dirja segera mempersilahkan lurah Sukarta untuk mendekat ke arah istrinya, pria yang bergelar sebagai pamong desa itu sampai berjongkok dan menggenggam tangan Darmi. Wanita yang memiliki kelumpuhan saraf itu terdiam dengan wajah kaget. 

"Darmi, saya tahu kalau permintaan saya itu tidak masuk akal. Tapi, saya mohon dengan sangat kepada kamu. Dea sudah hamil dan minta untuk dinikahkan, sedangkan Susi belum menikah dan saya tidak mau dia dilangkahi. Apakah boleh kalau suami kamu menikahi putri saya?"

Wajah Darmi menegang mendengar permintaan dari lurah Sukarta, matanya bergerak-gerak melihat semua orang yang ada di sana. Dia bahkan menatap suaminya dengan penuh tanya. 

Tak lama kemudian air matanya mengalir, dia menangis tanpa suara. Lurah Sukarta merasa tidak enak hati melihat Darmi yang menangis, dia dengan cepat kembali berkata. 

"Suami kamu tidak berselingkuh, ini murni permintaan saya untuk kamu. Jika kamu mau memberikan izin suami kamu untuk menikahi putri saya, saya jamin kamu akan bahagia. Karena saya akan memberikan uang yang banyak kepada kamu, uang yang bisa kamu gunakan untuk berobat di kota. Bagaimana?"

Darmi terisak, wanita mana yang ingin suaminya menikah kembali. Dia merasa tidak rela, Tapi tetap saja keputusan ada pada Dirja. Wanita itu menatap suaminya dengan tatapan penuh permohonan, lurah Sukarta menolehkan wajahnya ke arah Dirja.

Pria itu bahkan bersimpuh di hadapan Dirja, Dirja sampai memundurkan langkahnya. Dia merasa tidak enak hati dengan sikap dari lurah Sukarta.

"Saya mohon, Dirja. Tolong nikahi putri saya, apa pun yang kamu minta pasti akan saya kasih."

"Tapi, Pak. Saya tidak mungkin mengkhianati istri saya, saya sangat mencintainya."

Lurah Sukarta kembali memohon kepada Darmi, awalnya wanita itu terlihat enggan untuk menyetujui. Namun, lama-kelamaan wanita itu juga merasa kalau Dirja memang lebih baik menikah lagi. 

Dirja masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun. Darmi sadar kalau dirinya tidak boleh terlalu memaksakan diri, dia tidak boleh mengikat Dirja. Walaupun pria itu menikah lagi, tetapi Darmi yakin kalau Dirja tidak akan menyia-nyiakan dirinya.

"Alhamdulillah," ujar Sukarta ketika melihat anggukan dari Darmi.

"Pernikahan akan dilaksanakan besok, kamu siap-siap saja. Walaupun kalian hanya bisa menikah siri, tetapi setidaknya Susi punya suami dan tak dilangkahi oleh Dea. Untuk pernikahan Dea, akan dilaksanakan tiga hari setelahnya."

Srini menimpali ucapan dari suaminya, walaupun dari hati yang terdalam Dia tidak setuju putri sulungnya menjadi istri kedua, tetapi dia tidak memiliki pilihan.

"Setelah kamu menikahi putri saya, kami akan langsung membawa istri kamu untuk berobat di rumah sakit yang ada di kota."

"Iya, Pak Lurah."

Lurah Sukarta dan juga istrinya langsung masuk ke dalam rumah, sedangkan di dalam pos kini hanya ada Darmi, Dirja dan juga Susi. Ketiganya ada dalam ruangan yang sama, dalam ketegangan yang sama.

Susi bersimpuh di dekat Darmi, lalu dia menggenggam tangan wanita itu. Dia sedih melihat keadaan wanita itu, tapi dia harus tega untuk menikahi suaminya.

"Maaf, tapi aku janji tak akan menguasai Kang Dirja. Aku akan berusaha untuk tidak mendominasi," ujar Susi.

Darmi hanya bisa menganggukkan kepalanya, setelah berbicara sebentar dengan Darmi, Susi memutuskan untuk pergi. Kini tinggal Dirja yang ada di sana, pria itu duduk di samping istrinya. Lalu, dia kecup kening istrinya.

"Maaf ya, Dek. Mas gak berkuasa, jadi Mas gak bisa nolak. Kalau nolak, takutnya kita malah akan sengsara. Sumpah! Mas gak kesenengan loh, mau nikah lagi."

Darmi hanya tersenyum, tetapi ada air mata yang mengalir dari sudut matanya. Dirja sebenarnya tidak tega, karena walau bagaimanapun juga Darmi adalah wanita yang dia cinta. Namun, masalahnya dia sudah melakukan perjanjian dengan penghuni hutan larangan.

"Tenang saja, Dek. Kamu akan jadi prioritas-nya Mas, kamu tak perlu takut."