Siapa sangka, menabrak mobil mewah bisa berujung pada pernikahan?
Zuzu, gadis lugu dengan serangkaian kartu identitas lengkap, terpaksa masuk ke dalam sandiwara gila Sean, cassanova yang ingin lolos dari desakan orangtuanya. Awalnya, itu hanya drama. Tapi dengan tingkah lucu Zuzu yang polos dan penuh semangat, orangtua Sean justru jatuh hati dan memutuskan untuk menikahkan mereka malam itu juga.
Apakah pernikahan itu hanya permainan? Atau, sebuah takdir yang telah ditulis untuk mereka?
Mampukan Zuzu beradaptasi dengan kehidupan Sean yang dikelilingi banyak wanita?
Yuk, ikuti kisah mereka dengan hal-hal random yang dilakukan Zuzu!
Happy Reading ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelramstrong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar dari Desa
Suara tangis Zuzu terdengar pilu, menggema di kamar kedap suara itu. Tubuh bergetar, dan kacamata bulatnya melorot ke hidung. Isak tangisnya yang keras membuat Sean panik sekaligus cemas, pria itu bangkit dan berusaha menenangkannya.
"Zu, sudah. Jangan nangis kayak gini," ucap Sean, suaranya serak khas orang bangun tidur. "Belum tentu juga Abah kamu meninggal hari ini. Mungkin saja besok," lanjutnya, kehabisan kata untuk menenangkan Zuzu.
Mendengar ucapan suaminya, tangis Zuzu malah semakin keras. "Sean... kamu doain Abah meninggal?!" teriak Zuzu sambil menghentak-hentakkan kaki di atas kasur. Dia menatap suaminya dengan mata yang sembab.
Sean mengusap wajah kasar. Rasa kantuk dan bingung menyergap, membuat dia tidak bisa berpikir jernih. "Zuzu, tenang dulu..."
"Mana bisa aku tenang, Sean!" jerit Zuzu, merasa putus asa. Dia memeluk lutut. Tatapan wanita itu menerawang jauh, mengingat kenangan bersama sang ayah di masa lalu.
"Abah.... sejak dulu hanya Abah yang selalu memanjakan aku. Aku nggak bisa kehilangan dia..." Nada suaranya lirih, tercekat oleh isak tangis yang semakin menjadi. Ia kemudian menenggelamkan wajah di antara kedua lutut.
Sean duduk bersila, sambil menopang dagu. Rasa kantuk semakin tak bisa dibendung. "Abah kamu hanya sakit, Zu. Dokter mana yang berani memvonis umurnya beberapa hari lagi?" tanya Sean, suaranya pelan. Sesekali matanya terpejam, lalu terbuka lagi.
Zuzu mengangkat kepala, dan meletakan dagu di atas lutut. Posisinya masih sama, saat menanggapi ucapan suaminya, "Biasanya Abah berobat ke orang pintar, Sean. Pasti orang pintar yang bilang usia Abah tinggal beberapa hari lagi."
Sean hampir kehilangan kesadarannya, saat tiba-tiba Zuzu menggoyangkan tangan dia, kuat. "Aku ingin pulang, Sean. Aku ingin ketemu Abah...," pinta Zuzu.
Sean spontan menegakkan kepala, meskipun terasa berputar. "Oke-oke. Kamu boleh pulang," jawabnya, cepat.
Mendengar jawaban suaminya, tangis Zuzu perlahan mereda. Ia membetulkan kacamata yang sudah hampir terlepas. "Kamu, gak mau antar aku?" tanyanya, memandang Sean penuh harap.
"Aku mana bisa. Di kantor banyak kerjaan!" alibi Sean. Sebelah tangan kembali menopang wajah, menatap istrinya dengan mata mengantuk.
"Tapi, Abah juga orangtua kamu sekarang, Sean." Zuzu memajukan bibir bawahnya, kecewa.
Ia kemudian menundukkan kepala, memperlihatkan kesedihan untuk membujuk suaminya. "Memangnya kamu nggak mau ketemu Abah untuk terakhir kali? Gimana jika Abah kasih wasiat sama kamu?" Suaranya bergetar.
"Cuma wasiat, 'kan? Bukan warisan?" jawab Sean, tanpa beban. Baginya, kedua orang tua itu hanya mertua yang selalu bertingkah memalukan dan kuno.
"Sean, kamu udah kaya!" pekik Zuzu, ia membelalakkan mata, tak percaya dengan ucapan suaminya. "Jangan serakah minta warisan dari Abah!" tegasnya.
"Memangnya warisan apa yang bisa Abah kasih? Domba? Ayam? Bebek? Memangnya kamu mau ngangon semua ternak itu?"
Sean mengorek telinga yang terasa penuh oleh kecerewetan istrinya, dengan jari kelingking. Lalu dia sentil ke sembarang arah. Ia menghela napas panjang, akhirnya menyerah.
"Ya sudah. Aku bakal antar kamu pulang. Tapi setelah itu, aku akan balik ke rumah. Di kantor banyak kerjaan," jawab Sean, nada suaranya terdengar malas.
Zuzu mengangguk setuju, lalu mengusap cairan yang keluar dari hidung dengan punggung tangan. Wanita itu kemudian mengacungkan jari kelingking ke depan wajah suaminya.
"Janji, ya?" tanya Zuzu memastikan, dengan sisa isak tangisnya yang masih terdengar.
Sean menatap punggung tangan istrinya yang berair dengan ekspresi jijik. Tatapannya kemudian beralih pada jar kelingking yang semula dia gunakan untuk mengorek kuping.
Dia tersenyum miring dan mengaitkan jari kelingking mereka. "Iya-iya, aku janji. Sudah sana, kamu mandi," titah Sean lalu memeluk guling dan kembali membaringkan tubuh di kasur, sambil memejamkan mata.
"Sean, kenapa kamu tidur lagi?" tanya Zuzu sambil menggoyangkan lengan suaminya. Dia merasa cemas jika pria itu berbohong.
"Aku masih ngantuk, Zu. Gara-gara ngeladenin tingkah kamu jadi kucing betina tadi malam. Aku benar-benar lelah," jawab Sean, suaranya serak dan lelah. Kelopak matanya sudah cukup berat, tak sanggup terbuka.
"Tapi jangan lama-lama. Kita harus berangkat hari ini juga. Aku nggak mau sampe terlambat datang dan Abah sudah pergi meninggalkanku," kata Zuzu sembari melangkah turun dari ranjang.
Sesaat, wanita itu berputar, membuat selimut yang menutupi tubuh polos Sean tertarik, membungkus tubuhnya. Melihat punggung suaminya yang merah-merah akibat ulahnya semalam, Zuzu berlari kecil menuju kamar mandi sambil menahan tawa.
Sementara itu, beberapa saat setelah sepeninggalan Zuzu, Sean baru merasakan hawa dingin yang menusuk kulit tubuhnya. Ia meraba-raba kasur, mencari selimut yang hilang.
"Mana sih?" gumam Sean, tanpa membuka mata. Tangan bahkan kakinya kini bergerak menjelajahi setiap sudut kasur. Akhirnya, dia terpaksa membuka mata yang terasa berat. Pria itu mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya.
Ia tiba-tiba berdecak kesal. "Pasti si Zuzu yang bawa itu selimut. Dasar istri kurang ajar! Apa dia nggak bisa membiarkan aku tidur dengan tenang?" dumelnya, merasa jengkel.
Akhirnya, mau tak mau Sean bangkit dari atas ranjang. Dengan keadaan tubuh yang polos dan belalai yang melambai, pria itu berjalan menuju kamar mandi.
"Kamu sudah membangunkan singa yang tertidur, Zu," desisnya, sambil menyeringai penuh arti.
Dia membuka pintu, dan selang beberapa detik, suara jeritan Zuzu terdengar menggema di dalam kamar mandi. Tak lama kemudian lenyap, tergantikan oleh gemercik air yang mengalir dari shower.
---
Sean berdiri di depan cermin sambil mengenakan jas berwarna biru tua. Bibirnya menggerutu sejak tadi. Bagaimana tidak? Koper berukuran besar yang dibawa istrinya ternyata berisi jaket, selimut, bantal, baju tidur dan sendal jepit. Wanita itu bahkan memasukkan termos air dan beberapa makanan cepat saji.
"Aku mana tahu jika kita akan bulan madu di villa, Sean. Aku kira, kita akan pergi ke puncak," tutur Zuzu, dengan lemas memasukkan semua barang-barangnya kembali ke dalam koper.
Sean mendengus dingin, sambil memperhatikan istrinya dari pantulan cermin. "Siapa yang bulan madu ke gunung, Zuzu? Kamu kira kita mau kemping?" gerutu Sean, sambil menyemprotkan parfum ke kedua ketiaknya.
"Memang kamu mau gancet digunung karena kawin sembarang?" lanjut Sean, belum puas mengomeli istrinya.
Zuzu hanya mengerjapkan mata, otaknya tidak bisa merespon kata-kata ambigu yang terlontar dari mulut suaminya. Setelah barang selesai dimasukkan ke dalam koper, wanita itu berdiri dan merenggangkan badan yang terasa pegal.
"Sudah. Ayo, kita berangkat. Sejak tadi Umi terus mengirim pesan. Sudah mencapai 139 pesan, dan aku belum sempat membaca isinya. Pasti penting," tutur Zuzu, sambil melirik ponsel yang tergeletak di atas ranjang dengan ekspresi cemas.
Dia kemudian meraih ponsel itu dan memperhatikannya tanpa berniat membaca pesan-pesan tersebut. "Aku belum siap menerima kabar buruk dari Umi, Sean. Lebih baik, kita segera berangkat," tutur Zuzu, sambil mengusap sudut matanya di balik kacamata.
Sean berdehem lalu melempar botol parfum ke arah istrinya secara tiba-tiba.
Zuzu, yang belum siap justru menjatuhkan ponselnya, tanpa berhasil menangkap botol parfum kaca milik suaminya. Botol itupun mendarat di puncak kepala dengan keras.
"Aduh..."
Bersambung...