Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Galuh berguling-guling di atas kasur, wajahnya dipenuhi senyum geli, ketika mendengar pesan milik Dewa yang dibacakan penyiar radio. Dibandingkan Ryan yang sok-sokan ala pujangga, pesan Dewa terdengar lebih puitis, lebih romantis, bahkan membuat bulu kuduknya merinding karena terlalu manis.
[Teruntuk Denok-ku yang makin cantik dan selalu menggetarkan dada ini. Hatiku ini hanya untukmu seorang. Tidak peduli dengan semua halangan dan rintangan, aku akan berjuang untuk mendapatkan kamu.]
“Wah, beruntung sekali Denok ini! Dicintai oleh Kesatria Zirah Hitam sampai segitunya,” ucap penyiar radio, suaranya penuh semangat. “Semoga saja kalian berjodoh.”
Galuh menutup wajah dengan bantal, tertawa ngakak sambil menendang-nendang udara.
"Astaga, Dewa lebay pisan, tapi manis juga, ya!"
Suara merdu Nike Ardilla pun mengalun, memenuhi kamar mungil itu. Lagu-lagu Nike memang jadi favorit Denok, maka tak heran Dewa selalu meminta diputarkan lagu sang idola untuk menambah romantisme dalam pesan-pesan cintanya.
Sementara Galuh terbuai dengan lantunan musik, situasi di ruang tamu rumahnya berbanding terbalik.
Bagja duduk kaku di kursi, tangannya saling menggenggam erat hingga buku-buku jarinya memutih. Hatinya diguncang kegugupan. Dia baru saja mengucapkan sesuatu yang membuat jantungnya seperti mau copot.
“Aku sungguh-sungguh ingin melamar Galuh, Pak,” ulang Bagja dengan suara bergetar, seolah takut ucapan sebelumnya hanya dianggap angin lalu.
Mama Euis, ibunya Galuh, menatap Bagja penuh selidik. “Kamu tahu sendiri Galuh itu seperti apa orangnya,” katanya lembut tapi menusuk. “Apa kamu tidak keberatan dengan sifatnya itu?”
Bagja menelan ludah. Bayangan Galuh yang suka ngomel, suka meledak-ledak, dan hobi ngejek melintas di kepalanya. Akan tetapi senyum tak juga surut dari bibirnya. “Aku tidak keberatan, Bu. Galuh memang unik. Itu yang bikin dia ... berbeda.”
Suasana sempat hening, sampai Nini Ika tiba-tiba nyeletuk sambil menepuk paha. “Jika suami yang bener, bisa mengarahkan istrinya untuk jadi orang yang bener juga.”
Semua mata langsung menoleh ke arah nenek itu.
“Iya, bener. Aku yakin Bagja bisa mengubah kelakuan Galuh,” tambah Mih Ella, neneknya Bagja yang sering dipanggil Aden Ella karena status kebangsawanannya. Suaranya penuh wibawa, seperti hakim yang baru menjatuhkan vonis.
“Usia mereka sudah matang untuk berumah tangga. Kita juga berharap jodohnya Bagja itu orang yang dekat dan sudah kita kenal dengan baik,” ucap Bu Kania, ibunya Bagja, sambil tersenyum ramah.
Pak Dhika menoleh ke arah istrinya. Mama Euis hanya menghela napas panjang lalu mengangguk pelan. Dia tahu, Bagja punya perangai baik, rajin, sopan, dan meski kadang tengil, tetap jauh lebih stabil dibanding Galuh yang meledak-ledak seperti petasan.
“Terima saja, Pak. Mama yakin Bagja bisa mendidik dan menjaga Galuh,” ucap Mama Euis mantap.
Pak Dhika akhirnya mengangguk. “Baiklah. Aku terima lamaran Bagja ini.”
Keluarga Bagja serentak mengembuskan napas lega. Raut wajah mereka berubah cerah, seperti baru saja menang undian berhadiah. Mereka sempat khawatir Bagja akan menjadi bujangan lapuk karena tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun. Kini, harapan terbuka lebar.
Sebenarnya keluarga Bagja juga sempat dibuat terkejut saat pemuda itu meminta orang tuanya untuk melamar gadis di samping rumah. Terlebih lagi dia meminta malam ini juga untuk melamar Galuh.
“O, iya. Galuh ke mana?” tanya Bu Kania, melirik ke sekeliling.
“Ada, tuh, lagi dengerin radio di kamarnya,” jawab Nini Ika sambil nyengir.
“Sebentar, aku panggilkan Galuh dulu,” ucap Mama Euis beranjak dari duduk.
Di kamar, Galuh masih rebahan santai. Tangannya terangkat-angkat mengikuti irama lagu. Mulutnya bersenandung, suaranya fals, tetapi penuh semangat.
“Galuh, tuh, ada tamu! Cepat temui!” teriak Mama Euis dari luar.
Galuh menoleh malas. “Siapa, Mah?”
“Calon suami kamu,” jawab Mama Euis begitu saja.
Galuh refleks bangkit duduk. “Calon suami?” Dahinya berkerut.
"Apaan sih? Mama lagi bercanda kali ya?" batin gadis yang memakai kaos over size dan kolor selutut.
“Iya. Cepat bangun!” Mama Euis masuk dan menarik tangannya.
Galuh menepis. “Aku tidak punya calon suami, Mah!”
Mama Euis menatap tajam. “Sekarang kamu sudah punya.”
“Hah? Siapa?”
“Lihat saja sendiri. Sekarang dia dan keluarganya menunggu di depan.”
Langkah Galuh terseok-seok karena ditarik paksa oleh Mama Euis. Dia masih linglung, campuran bingung, penasaran, dan sedikit takut.
"Calon suami? Siapa pula yang nekat? Jangan-jangan Ryan atau Dewa? Atau... jangan bilang ...."
Begitu kaki Galuh menginjak ruang tamu, matanya langsung membelalak.
"Bagja."
Bagja duduk manis bersama keluarganya. Semua orang menoleh pada Galuh. Ruang tamu terasa berubah jadi panggung drama telenovela, tetapi dengan bumbu sinetron Indonesia.
“Kayaknya aku sedang bermimpi. Pasti gara-gara mantra tadi, makanya Bagja masuk ke dalam mimpiku,” batin Galuh. Dia menepuk-nepuk pipinya, ada rasa sakit yang muncul terasa nyata.
“Galuh, barusan keluarga Bagja melamar kamu. Kita semua sudah setuju,” ucap Pak Dhika, tenang tetapi tegas.
“Apa?!”
Galuh seperti disambar petir di siang bolong. Tangannya refleks mencubit pipi Nini Ika keras-keras, untuk memastikan apa semua Ini mimpi atau nyata.
“Galuuuh! Apa-apaan kamu nyubit pipi Nin?!” teriak Nini Ika. Tanpa pikir panjang, sang nenek membalas dengan menjewer kuping cucunya.
“Aaaaw, sakit, Nin!” Galuh meringis, mengusap telinganya.
Rasa sakit itu cukup untuk membuat Galuh sadar. Kalau ini bukan mimpi. Semua nyata.
“Kita rundingkan kapan hari pernikahan mereka,” ucap Pak Dhika, suaranya terdengar mantap.
“Bapak! Tunggu sebentar,” seru Galuh, matanya melebar. “Siapa yang akan menikah?”
“Ya, kamu dan Bagja,” jawab semua orang serempak, seolah sudah berlatih koor sebelumnya.
Bagja hanya tersenyum manis, wajahnya seakan penuh kemenangan.
“Apa?! Kalian serius mau menikahkan aku dengan Bagja?!” pekik Galuh, nyaris meloncat saking kagetnya.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....