NovelToon NovelToon
SUAMI TAK PERNAH KENYANG

SUAMI TAK PERNAH KENYANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Angst / Suami Tak Berguna / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Euis Setiawati

Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional

Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.

Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.

Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Godaan di meja makan

Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan melalui celah tirai ruang makan. Udara masih sejuk, aroma kopi bercampur wangi tumisan bawang dari dapur memenuhi ruangan. Di meja makan, Arfan duduk sendirian. Pandangannya kosong menatap piring yang sudah terisi rapi roti panggang, telur dadar, dan segelas susu hangat.

Di dapur, Bi Ratmi sibuk memotong sayuran untuk masakan siang. Ia mengenakan daster bunga-bunga berwarna biru, kain tipis itu membungkus tubuhnya yang masih terlihat ramping untuk ukuran seorang wanita berusia hampir empat puluh. Tangannya lincah mengiris wortel, namun telinganya peka mendengar setiap gerakan majikannya.

"Pak, sarapan dulu..." ucap Bi Ratmi sambil sedikit memiringkan kepala, senyumnya tipis namun matanya berkilat.

Arfan, yang masih larut dengan bayangan semalam pemandangan lingerie merah yang tak sengaja ia lihat hanya menganggukkan kepala. Tangannya meraih roti, namun gerakannya kaku. Ia mencoba bersikap biasa saja, tapi pikirannya tidak bisa melepaskan citra tubuh Bi Ratmi yang tertidur pulas di balik kain tipis itu.

Ketika Bi Ratmi kembali ke dapur, tubuhnya bergerak dengan langkah yang pelan namun penuh lenggok. Daster tipisnya bergoyang mengikuti ayunan pinggulnya. Arfan menelan ludah, matanya tanpa sadar mengikuti gerakan itu.

"Bi Ratmi..." batin Arfan berdesis, "Kenapa aku jadi begini? Aku nggak bisa fokus..."

Dari sudut matanya, Bi Ratmi beberapa kali menangkap tatapan majikannya. Tatapan itu berbeda. Bukan lagi tatapan cuek seperti biasanya. Ada sesuatu di sana panas, intens, penuh rasa ingin tahu.

"Pak Arfan... kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Biasanya dia nggak peduli sama sekali. Apa dia... sudah mulai tergoda?" pikir Bi Ratmi sambil mengaduk tumisan di wajan.

Senyum penuh arti muncul di bibirnya.

"Bu Laila kan belum pulang... pasti dia butuh pelampiasan. Kalau aku pintar mainnya, bukan nggak mungkin dia datang sendiri."

Ketegangan pun Meningkat

Arfan mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca koran, tapi setiap kali ia mendengar suara sendok beradu dengan panci dari dapur, imajinasinya kembali liar.

“Biar saya tambahkan sambal, Pak?” tanya Bi Ratmi tiba-tiba, muncul dari dapur sambil membawa mangkuk kecil.

Arfan menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sejenak waktu terasa melambat. Bi Ratmi berdiri di hadapannya, jarak mereka begitu dekat hingga Arfan bisa mencium samar aroma sabun mandi yang masih menempel di kulitnya.

“Eh… iya… boleh,” jawab Arfan gugup.

Bi Ratmi menunduk sedikit, menuangkan sambal ke piringnya. Gerakan itu membuat bagian leher dan dadanya sedikit terbuka. Arfan buru-buru mengalihkan pandangan, tapi hatinya berdegup lebih cepat.

"Ini nggak boleh... tapi kenapa aku malah nggak bisa berhenti mikirin dia?" gumamnya dalam hati.

Setelah meletakkan sambal, Bi Ratmi tidak langsung kembali ke dapur. Ia berdiri sejenak, pura-pura merapikan meja.

“Pak, makan yang banyak ya... biar kuat kerja,” ucapnya dengan nada yang terdengar biasa, tapi di telinga Arfan seperti mengandung arti lain.

Arfan hanya mengangguk. Tangannya meraih gelas susu, mencoba menghindari tatapan itu. Tapi Bi Ratmi berjalan kembali ke dapur dengan lenggok yang lebih jelas.

Di dapur, Bi Ratmi tersenyum sendiri.

"Kena juga... tatapannya tadi jelas sekali. Dia nggak bisa bohong."

Sarapan selesai, tapi Arfan tidak langsung berangkat. Ia duduk lebih lama di ruang makan, menunggu Bi Ratmi lewat lagi.

“Bi…” panggil Arfan akhirnya.

Bi Ratmi keluar dari dapur, mengelap tangannya dengan lap kecil.

“Iya, Pak?”

Arfan ragu sebentar, lalu berkata, “Nanti siang… tolong setrika kemeja saya yang warna biru. Saya mau pakai untuk meeting.”

“Siap, Pak,” jawab Bi Ratmi sambil tersenyum. “Kalau Bapak mau… saya setrika sambil Bapak makan siang. Jadi langsung bisa dipakai.”

Nada suaranya datar, tapi senyum itu seperti isyarat. Arfan mengangguk, meski dadanya berdebar.

Sepanjang perjalanan ke kantor, pikiran Arfan tidak bisa lepas dari Bi Ratmi. Bayangan semalam, senyum penuh arti pagi ini, dan lenggok yang sengaja diperlihatkan… semuanya membuatnya sulit fokus.

Di rumah, Bi Ratmi pun memikirkan strategi.

"Kalau aku main halus, dia pasti nggak bisa tahan. Aku harus pelan-pelan... biar dia yang datang padaku, bukan aku yang memulai."

Ia tersenyum puas, lalu kembali membersihkan meja makan sambil mengingat jelas tatapan Arfan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Suasana rumah siang itu begitu sunyi. Hanya suara detak jam dinding di ruang tamu yang terdengar jelas. Matahari menembus tirai tipis ruang keluarga, memantulkan cahaya ke lantai yang sudah dipel bersih oleh Bi Ratmi sejak pagi. Harum wangi sabun pembersih lantai bercampur samar dengan aroma parfum mewah yang ia semprotkan di udara, menciptakan atmosfer yang mengundang siapa pun yang masuk untuk merasa betah.

Sejak pagi, Bi Ratmi sudah menata setiap sudut rumah Laila dengan teliti. Seprai di kamar utama diganti yang baru, warnanya putih gading dengan motif bunga-bunga halus. Tirai dibuka setengah, membiarkan cahaya masuk, namun tetap memberikan kesan hangat dan teduh. Semua ini bukan semata-mata karena ia rajin tetapi karena siang ini adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu.

"Siang ini… dia pasti pulang. Setidaknya sebentar. Dan saat itu… aku akan pastikan dia melihatku bukan sekadar pembantu," batin Bi Ratmi sambil tersenyum tipis.

Sejak pertama kali melihat Pak Arfan beberapa minggu lalu, ada ketertarikan yang langsung muncul dalam diri Bi Ratmi. Lelaki itu tampan, gagah, dan jelas sekali dari penampilannya ia bukan orang sembarangan. Mobil mewah, pakaian rapi, aroma parfum mahal yang menempel di tubuhnya… semua itu adalah magnet yang membuat Bi Ratmi tak mampu berpaling.

Apalagi, ia sering mendengar dari bu yani kalau kehidupan rumah tangga Laila dan Arfan tak seindah yang dilihat orang. Itu membuatnya semakin berani menaruh harapan dan mimpi.

"Kalau aku yang jadi istrinya, hidupku akan berubah. Aku nggak akan susah lagi. Semua akan indah… uang, rumah, semuanya ada." gumamnya sambil merapikan kancing bantal.

Ia melirik jam dinding. Jarum pendek menunjuk angka 11, jarum panjang di angka 5. Tinggal sebentar lagi… dan Arfan akan tiba. Ia tahu betul, setiap ada meeting penting di siang hari, Arfan biasanya pulang sebentar untuk mengganti baju dan mempersiapkan diri. Itu sudah menjadi kebiasaan yang ia amati selama bekerja di rumah itu.

Bi Ratmi tak mau kehilangan momen. Ia segera beranjak ke kamarnya yang sederhana namun cukup bersih. Di meja kecil, sudah ada beberapa perlengkapan yang ia siapkan sejak pagi: sabun mandi cair dengan aroma bunga segar, bedak tabur wangi, lipstik merah muda yang baru dibelinya kemarin, dan botol parfum murah tapi aromanya lembut.

Air dingin membasahi tubuhnya saat ia mandi. Ia menggosok kulitnya dengan busa sabun, memastikan tidak ada satu pun bagian tubuh yang terlewat. Setelah selesai, ia mengeringkan tubuhnya dengan handuk tipis, lalu mulai berdandan di depan cermin kecil. Ia membubuhkan bedak tipis, merapikan alis, memoles bibirnya dengan lipstik, lalu memilih baju.

Baju yang ia pilih bukan baju kerja biasanya. Kali ini ia mengenakan blus ketat berwarna krem dengan kancing depan yang sedikit terbuka di bagian dada. Rok hitam selutut membentuk lekuk tubuhnya. Setelah itu, ia menyemprotkan parfum ke leher, pergelangan tangan, dan sedikit di rambutnya. Aroma harum memenuhi ruang sempit kamarnya.

"Lihat saja, Pak… hari ini aku akan buat kamu tak bisa mengalihkan pandangan." ucapnya sambil tersenyum di depan cermin.

Tak lama, aroma wangi juga memenuhi kamar utama. Ia mengambil inisiatif menyemprotkan parfum berbeda di kamar Arfan aroma maskulin yang menenangkan, berharap bisa memancing mood sang majikan. Ia mengatur ulang posisi baju-baju di lemari, lalu menaruh satu set kemeja putih dan celana panjang hitam di atas ranjang, sudah tersetrika rapi.

Jam menunjuk tepat pukul 12 siang.

Suara mesin mobil terdengar mendekat dari halaman depan. Bi Ratmi buru-buru menatap cermin sekali lagi, memastikan dandanan dan pakaiannya terlihat sempurna. Ia menarik napas panjang, lalu berjalan ke pintu.

Mobil hitam mewah berhenti. Pintu terbuka, dan keluarlah Arfan dengan kemeja kerja hijau tua yang terlihat sedikit kusut di bagian lengan. Wajahnya lelah, tapi tatapannya tetap tajam.

“Siang, Pak…” sapa Bi Ratmi dengan suara lembut, sambil membuka pintu lebih lebar.

“Baju kemejanya sudah saya siapkan di kamar.”

Arfan menghentikan langkahnya sejenak. Matanya secara refleks menyapu tubuh Bi Ratmi dari atas ke bawah. Aroma wangi yang samar dari tubuh wanita itu langsung menyusup ke hidungnya. Ia terdiam beberapa detik, seperti sedang memproses sesuatu.

“Pak… pak?” suara Bi Ratmi memanggil pelan, pura-pura polos.

“Oh… iya, Bi. Terima kasih.” jawab Arfan singkat, tapi sorot matanya tak bisa menutupi keterpukauannya.

Bi Ratmi tersenyum tipis.

"Kena kamu, Pak. Hari ini kamu nggak akan bisa menahan diri." batinnya.

Arfan melangkah menuju kamar, membuka kancing kemejanya perlahan sambil berjalan. Bi Ratmi, tanpa ragu, mengikutinya dari belakang.

“Bajunya di sini, Pak.” katanya sambil mengambil kemeja biru dari atas ranjang. Ia mendekat, dan tanpa menunggu izin, mulai membantu melepas kemeja yang masih setengah terbuka di tubuh Arfan.

“Aduh, Bi… nggak usah repot” Arfan belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika jemari Bi Ratmi menyentuh dadanya. Sentuhan itu lembut, perlahan, tapi penuh maksud. Arfan terdiam, napasnya sedikit berubah.

“Biar saya pakaikan, Pak… Bapak pasti capek, kan?” ucap Bi Ratmi dengan suara rendah dan manja.

Tangannya bergerak lambat, seakan memberi waktu pada Arfan untuk merasakan sentuhannya. Aroma wangi tubuh Bi Ratmi bercampur dengan aroma parfum kamar membuat suasana menjadi berbeda. Pandangan Arfan mulai melembut, matanya mengikuti gerakan wanita itu.

Bi Ratmi tahu, ini saatnya menekan titik lemah sang majikan. Ia sedikit menunduk, pura-pura merapikan lipatan kemeja di dada Arfan, tapi membuat jarak tubuh mereka semakin dekat. Begitu dekat hingga Arfan bisa merasakan hembusan napasnya di kulit.

“Pak…” suara Bi Ratmi nyaris berbisik, “Bapak kelihatan lelah sekali… kalau sama saya, nggak perlu jaim…”

Arfan menelan ludah. Hasrat yang sejak semalam tertahan kini mulai menyeruak. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi semakin ia menghindar, semakin Bi Ratmi mendekat.

Bi Ratmi tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia yakin sebentar lagi lelaki ini akan lupa diri.

1
Vanni Sr
ini laila ny terlalu bodoh sib klo kt aku mah ya, udh tiap mlm d gempur terus apa² d pendem, gada ketegsan jg, laki ny jg seenk ny sndri, crta ny kek yg udh² suami main sm pembatu. tnggl cari org but rawat ibu ny yg skit ini malah lama2 d kampung , mending dah pisah aja. krn g cm sekali berhubungn psti tuh mereka
Zoe Medrano
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Euis Setiawati: terimakasih ka....😍
total 1 replies
Mepica_Elano
Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!