Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanah Lungguh ( bagian 1 )
Wajah Akuwu Macan Biru mendadak jadi tegang mendengar omongan Prajurit Banu. Ini jelas merupakan ancaman besar bagi keberadaan Pakuwon Wilangan dan kekuasaan yang ia pegang. Sedangkan Bekel Wirogati dan Mantri Mpu Dharmawasesa segera menatap wajah penguasa Pakuwon Wilangan itu seolah-olah sedang meminta titahnya.
"Tiga ribu orang prajurit.. Ini setara dengan sepertiga kekuatan yang dimiliki oleh Mandala Kertabhumi.
Prajurit kita semuanya tidak lebih dari 2000 prajurit. Itupun sudah termasuk penjaga istana. Kita hanya bisa bertahan jika mereka menyerang", gumam Akuwu Macan Biru sembari mondar-mandir.
"Tembok Istana Pakuwon Wilangan sangat kokoh Gusti Akuwu. Hamba yakin itu tidak akan mudah untuk dimasuki oleh prajurit biasa.
Kita bisa memusatkan prajurit di istana ini. Lagipula ada puluhan meriam cetbang dan ribuan anak panah yang bisa digunakan untuk membidik mereka jika berani mendekat ke istana ini Gusti Akuwu.. ", usul Mantri Mpu Dharmawasesa yang membuat Akuwu Macan Biru manggut-manggut setuju.
" Ya ya ya, kenapa aku sampai melupakan hal sepenting itu?
Bekel Wirogati, tarik semua prajurit ke istana dan bangun pertahanan diatas tembok istana. Siagakan meriam cetbang di keempat penjuru. Tempatkan para prajurit pemanah terlatih di menara pengawasan. Cepat! Sebelum semuanya terlambat..!! ", titah Akuwu Macan Biru segera.
" Sendiko dawuh Gusti Akuwu.. "
Bekel Wirogati menghormat pada penguasa Pakuwon Wilangan itu sebelum bergegas pergi melaksanakan tugas yang telah ia terima.
"Mantri Mpu Dharmawasesa.. ", Akuwu Macan Biru mengalihkan perhatian pada pejabat tua itu.
" Kumpulkan semua punggawa Pakuwon Wilangan, suruh mereka berkumpul disini untuk membantu ku mempertahankan istana ini. Bertindaklah sekarang juga.. ", perintah Akuwu Macan Biru.
" Baik Gusti Akuwu... "
Begitu Mantri Mpu Dharmawasesa pergi setelah menyembah, Akuwu Macan Biru segera bergegas masuk ke dalam istana. Dia segera memerintahkan agar permaisuri nya Wandansari dan para putri putri nya untuk masuk ke dalam lorong rahasia demi keselamatan mereka.
Suasana Kota Pakuwon Wilangan yang semula tenang kini berubah menjadi penuh ketegangan. Para penduduk diminta untuk masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Beberapa orang prajurit terus berpatroli di seluruh sudut kota sambil terus memukul bende peringatan bahaya. Sedangkan para penjaga gerbang kota langsung menutup rapat pintu gerbang di keempat penjuru.
"Jangan sampai lengah! Setiap prajurit yang berjaga di menara pengawas tidak boleh ada yang tidur! Yang mengantuk cepat membangunkan rekan nya agar pengawasan terus berjalan! ", perintah Bekel Wirogati.
" Baik Gusti Bekel...! ", balas para prajurit yang bertugas sebagai pengawas menara dengan penuh hormat.
" Rompang, Banu...!!!
Bagaimana dengan para prajurit yang memegang meriam cetbang?! Apa mereka sudah bersiap di titik-titik yang ditentukan? ", Bekel Wirogati menoleh ke arah dua orang bawahannya itu.
" Sudah bersiaga di tempat, Gusti Bekel. Hanya Si Wugu yang tidak bisa ditugaskan karena sedang sakit", lapor Rompang segera.
"Cepat cari penggantinya. Aku tak mau ada kesalahan sekecil apapun di pertahanan kali ini. Karena ini menyangkut dengan kelangsungan hidup kita semua", tegas Bekel Wirogati yang membuat.
Para bawahan kepercayaan Bekel Wirogati manggut-manggut mendengar apa yang diperintahkan kepada mereka.
Sementara Kota Pakuwon Wilangan bersiap-siap untuk menghadapi pasukan pemberontak, di lain sisi Mahesa Sura mengumpulkan para pendekar pendukungnya di Balai Desa Sengon yang baru mereka kuasai. Tak hanya Dewa Pedang Lembu Peteng, tetapi para pendekar terkemuka seperti Nyai Landhep dan Ki Tirtanegara serta para pimpinan pasukan seperti Rakai Sambu, Bekel Candramawa dan Ki Menjangan Rajegwesi ikut berkumpul bersama dengan Mahesa Sura, Cempakawangi, Dewi Jinggawati dan Tunggak.
"Seluruh desa desa di wilayah Pakuwon Wilangan sudah kita taklukkan. Langkah selanjutnya adalah Kota Pakuwon Wilangan yang akan menjadi pusat gerakan kita berikutnya.
Menurut kalian, apa langkah kita untuk menundukkan kota ini? Dari telik sandi yang dikirim ke kota itu, mereka sudah melakukan persiapan untuk menghadapi serangan kita.. ", ucap Mahesa Sura mengawali pertemuan malam hari itu.
" Kita gunakan saja kekuatan kita saat ini, Raden. Menurut laporan Jayeng dan kawan-kawan, kekuatan kita saat ini masih di atas mereka", usul Rakai Sambu segera.
"Aku ingin menghindari banyaknya jatuh korban jiwa di serangan ini. Aku tidak mau mengorbankan nyawa para pengikut ku hanya karena ingin menguasai Kota Pakuwon Wilangan secepatnya.. "
Ucapan Mahesa Sura ini membuat semua orang terdiam beberapa saat lamanya. Dahi mereka rata-rata berkerut karena berpikir keras.
"Kalau itu keinginan Raden, kita bisa mencari titik terlemah dari pertahanan Kota Pakuwon Wilangan dan mengirimkan para pendekar ke garis depan sebelum para prajurit masuk. Menurut saya itu adalah pilihan terbaik jika ingin menghindari banyaknya korban jiwa", ujar Resi Agastya yang duduk di dekat Rakai Pamutuh.
"Hamba sepakat dengan usulan Resi Agastya, Raden..
Dengan begini para prajurit kita akan lebih mudah pekerjaannya. Dan hamba yakin ini akan menghemat banyak tenaga", timpal Rakai Pamutuh segera.
" Bagaimana menurut mu, Dewa Pedang? ", Mahesa Sura menoleh ke arah Lembu Peteng yang duduk tak jauh darinya.
Hemmmmm...
" Tidak buruk, Iblis Wulung. Tetapi kita harus memberikan unsur kejutan agar mereka tidak sempat saling membantu hingga kita bisa mudah menaklukkan kota ini", jawab Dewa Pedang yang membuat semua orang mengangguk setuju.
Maka malam itu Mahesa Sura membuat pengaturan. Pasukan di pecah menjadi dua bagian. Sebagian besar yang terdiri dari prajurit biasa dipimpin oleh Rakai Pamutuh, Bekel Candramawa, Rakai Sambu dan Ki Menjangan Rajegwesi. Tugas mereka adalah membuat kekacauan di gerbang barat kota yang saat ini sedang dijaga ketat.
Sebagian kecil yang terdiri dari para pendekar dengan kemampuan tinggi bergerak ke sisi utara yang merupakan titik paling lemah nya. Ini berdasarkan laporan dari Jayeng yang ditugaskan oleh Mahesa Sura menyusup ke dalam Kota Pakuwon Wilangan berbarengan dengan pergerakan mereka ke Desa Sengon.
Malam berjalan dengan lambat, itu yang dirasakan oleh para penjaga gerbang kota. Kota yang luasnya 500 tombak persegi ini terasa mencekam akibat ancaman dari pasukan pemberontak berbendera merah putih merah. Hingga lepas tengah malam tidak terjadi apa-apa yang membuat mereka sedikit bernafas lega dan mulai mengendurkan penjagaan. Beberapa pimpinan penjaga malah membawa beberapa bumbung twak untuk menghilangkan pikiran panik yang sedang menghantui.
Namun bencana sesungguhnya baru muncul setelah kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan yang menjadi penanda bahwa pagi hari akan segera tiba.
Saat langit timur mulai memerah dan mengusir kegelapan malam, ribuan orang prajurit pemberontak yang mengenakan jarit hitam dan ikat kepala merah datang menyerbu ke arah pintu gerbang barat Kota Pakuwon Wilangan. Diawali dengan letusan meriam cetbang yang menggelegar, keheningan Kota Pakuwon Wilangan pun kini sudah hilang.
BHHUUUUUMMMMM...!!!!
Bola bola meriam cetbang terus menghujani pintu gerbang barat kota. Tak hanya itu pagar kota yang terbuat dari kayu gelondongan sebesar betis orang dewasa juga turut menjadi sasaran bola meriam.
"Hancurkan gerbang kota ini! Ayo kita hancurkan mereka..!! ", teriak Bekel Candramawa lantang yang di sambut sorak sorai para prajurit yang ada di belakangnya.
300 orang prajurit Pakuwon Wilangan yang ditugaskan untuk menahan serangan, mati-matian bertahan dari gempuran meriam cetbang. Mereka terus menahan pintu kota yang terbuat dari kayu jati tebal.
Di sisi lain kota, tepatnya di sisi pintu gerbang utara...
Ratusan bayangan berkelebat cepat bergerak dengan kecepatan tinggi. Beberapa diantaranya yang memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi langsung menggunakan ilmu mereka untuk melompati pagar kota setinggi 2 tombak.
Dua orang prajurit yang sedang berjaga melihat mereka. Keduanya bergegas menarik gagang pedang nya dan melompat ke arah orang-orang ini.
"Awas ada penyusup!! ", teriak salah satunya sambil mengayunkan pedang. Tetapi belum sempat bilah pedang mereka mencapai sasaran, dua buah pedang ilusi langsung menembus tenggorokan keduanya.
Chhrrraaaaasssss.. chhrrraaaaasssss!
Uuuuuggggghhhh!!!
Keduanya langsung roboh bersimbah darah. Kawan-kawan mereka yang bangun karena teriakan tadi pun tak luput dari maut. Dalam waktu sekejap saja, seratus orang prajurit penjaga gerbang utara tewas dibunuh.
Dua orang dari orang orang ini yakni Tunggak dan Sempani bergegas membuka pintu gerbang dan berikutnya ratusan orang masuk ke dalam kota.
"Selanjutnya kita kemana Sura?", tanya Tunggak segera.
Mahesa Sura langsung menunjuk ke tengah kota. Para pengikutnya tahu bahwa itu adalah tempat Istana Pakuwon Wilangan berada. Dengan suara berat nan berwibawa, Mahesa Sura pun berkata,
" Kita taklukkan Akuwu Wilangan..! "