Shafa dan Juna. Dua manusia yang menamai hubungan mereka sebatas kata "teman".
Namun jauh di lubuk hati terdalam mereka, ada rasa lain yang tumbuh seiring berjalannya waktu dan segala macam ujian kehidupan.
cerita pertama aku..semoga kalian suka yah. see yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Arsyila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 22
Rutinitas hari ini Shafa lalui seperti biasanya. datang ke tempat kerja, mulai membersihkan cafe, membuka cafe ketika sudah waktunya dan sarapan sedikit di pantry sembari menunggu pelanggan datang. Yang membedakan hanya, perlakuan Faiz padanya. Sebenarnya masih seperti biasa, Faiz datang kemudian menyapa sekilas karyawannya termasuk Shafa, namun satu hal yang menurut Shafa kurang. Harusnya, ya seharusnya Faiz bersikap lebih perhatian padanya setelah kejadian "itu"??
Mungkin Faiz segan pada karyawan yang lain, atau mungkin tidak? Karena sampai pada waktu kerja Shafa berakhir, Faiz sama sekali tidak menunjukan perhatian berlebih.
"ini gue yang baper apa emang gue yang murahan?" Shafa berjalan lesu menuju parkiran untuk mengambil motornya. Sekali lagi ia menatap ke lantai dua cafe nya, berharap Faiz menunjukan batang hidungnya.
"hahhhh...gini amat nasib first kiss gue" ucapnya masih menatap ke atas. Namun sebelum ia menghidupkan motornya, terdengar suara langkah kaki mendekat. dengan menoleh ke arah belakang, ia menemukan Faiz yang berjalan ke arahnya.
"kak Faiz..." ucapnya menggantung
Faiz berdiri menjulang di hadapannya
"mau langsung pulang?" tanya Faiz, setelah seharian ini mengurung diri di ruangannya. Ada masalah yang tiba tiba datang, wanita masa lalu yang mengusik kembali kehidupan Faiz.
"iya" terasa canggung ternyata berhadapan langsung dengan Faiz, sedikit menggigit bibir bawahnya untuk menghilangkan kecanggungan yang mungkin hanya dirasakan Shafa.
"jangan di gigit" dengan lembut, tangan Faiz mengusap bibir mungil itu dengan jempolnya.
Shafa terkesiap, getaran aneh itu datang kembali ketika tangan Faiz mengusapnya. Mencoba menepis, dengan kepala menunduk, Shafa sedikit memundurkan langkahnya.
"kenapa ngejauh?" dengan alis sedikit naik, Faiz bertanya
"takut ada yang ngeliat" cicit Shafa
"mau ngobrol dulu sebentar?"
"di mobil gue" lanjut Faiz mengarahkan Shafa ke tempat mobilnya berada.
cukup lama mereka terdiam di dalam mobil, Shafa yang masih sibuk dengan ingatannya di cafe kemarin yang membuat muka nya sedikit memerah menahan malu.
Tak sadar ia memukul kepalanya karena terlihat seperti orang mesum
"kenapa?" tanya Faiz menghentikan pergerakan Shafa yang akan kembali memukul kepalanya.
"oh....eh gapapa." Shafa tersenyum canggung
"buat yang kemarin, sorry ya kalau gue ngagetin kamu. Gue sedikit ada masalah, jadi ya...sedikit melampiaskannya ke kamu."
"melampiaskan?" ulang Shafa
"ya. Cara gue mungkin sedikit salah, gue akuin itu. Tapi gak ada sedikitpun niat buat mainin kamu"
"kalau boleh tanya, hubungan kita jadinya gimana?" Shafa bertanya sedikit ragu, setidaknya ia ingin tahu status mereka seperti apa.
"teman? Atau bos dan karyawan kayak kemaren" ada sedikit keraguan juga dalam jawaban Faiz.
Shafa mengangguk, tak dipungkiri hatinya merasa sakit atas jawaban Faiz. Walaupun ia yakini jika ia tidak mempunyai perasaan lebih dalam pada Faiz namun apakah semurahan itukah dirinya karena hanya di anggap sebagai pelampiasan masalah Faiz. Apa menjadi orang dewasa seperti itu? melampiaskan amarah pada orang lain, terlebih seorang wanita, tanpa dia sadari orang itu mempunyai harapan dengan tindakan yang dia lakukan.
"hm. Aku ngerti. gak ada yang mau di omongin lagi kan kak? Aku pulang ya.." Shafa tergesa gesa keluar dari mobil tersebut dan sedikit berlari menuju motornya. Ia tak tahu perasaan macam apa yang datang setelah ucapan Faiz barusan. Marah, kecewa atau sedih? Namun yang pasti, air mata nya tak dapat di kompromi. Mereka berdesakan ingin keluar. Shafa tak ingin Faiz melihatnya.
Tak butuh waktu lama, motor itupun pergi dari area cafe. Faiz terdiam melihatnya, dia tahu ucapannya telah menyakiti Shafa.
Jauh di dalam lubuk hatinya, dia tidak memungkiri jika Shafa telah mengisi sebagian hatinya. Ketika pertama kali dia melihatnya di acara kelulusan Rio, Faiz tertarik dengan senyum manis Shafa. Dia sengaja mencari kesempatan untuk bisa dekat dengan Shafa, mencoba membuat Shafa berada dekat dengan jangkauannya.
Namun karena kehadiran wanita di masa lalunya, yang membuat dia merubah haluan. Faiz kembali ragu dengan perasaan yang sudah lama dia kubur bertahun tahun lamanya. Apalagi dengan mengetahui keadaan wanita itu yang sekarang cukup membuat Faiz iba sekaligus timbul keinginan untuk kembali merengkuhnya.
Entahlah, Faiz mungkin akan menyesal jika melepas Shafa begitu saja, namun keinginan untuk kembali pada Laras juga begitu kuat.
Motor Shafa melaju kencang membelah jalanan sore yang belum terlalu ramai. Air mata yang sedari tadi coba ia tahan, akhirnya keluar. Tak ingin sesuatu yang buruk terjadi, Shafa menepikan motornya di pinggir jalan dekat taman. Segera ia turun dan berlutut, dengan tangan menutupi wajahnya, Shafa menangis tersedu. Ia kecewa, pada Faiz juga dirinya sendiri. ia merasa rendah.
Butuh beberapa menit untuk Shafa bisa menenangkan dirinya. Beberapa pejalan kaki juga pengendara lain melihatnya, sedikit penasaran tentang keadaan wanita yang terisak kencang di pinggir jalan itu.
"gapapa Shafa, Lo kuat. Lo bukan cewek murahan" kalimat mantra yang sekarang di rapalkan Shafa, nyatanya hanya membuat ia semakin terisak.
tanpa sadar ia pukul bibirnya, beberapa kali
"hwaaaa....sakit."
Masih sembari terisak kecil, ia buka tas kerjanya. Mencari ponsel yang sekarang bergetar. David meneleponnya
"ya Dav..." ucapnya dengan sesegukan
"heh Lo kenapa? Nangis?" ucap David dengan nada khawatir mendengar seruan Shafa
"ng, nggak, nggak ko" balas Shafa masih terbata bata
"Lo dimana sekarang?"
"gue...gue gak tau dimana" Shafa kembali menangis karena tidak tahu, lebih tepatnya tidak ingat nama tempat yang sekarang ia tempati. Ia melirik kanan dan kiri jalan dengan pikiran yang masih linglung.
"heh serius, jangan bego dulu..!! Dimana sekarang? Liat tulisan yang ada di Deket Lo" David terdengar memerintah dengan sedikit merasa gemas, karena tahu kebiasaan Shafa yang akan lupa nama jika sedang tidak fokus.
"depan gue ada taman. Gue baru pulang kerja" Shafa menjelaskan semampu yang ia bisa.
"tunggu disitu. Jangan kelayapan. Gue kesana sekarang. Ngerti?!!"
"hmmmm"
Shafa menuruti perintah David untuk diam di tempat. Diam di tempat dekat motor, tidak beralih ke tempat duduk dekat taman ataupun ke pinggir trotoar yang menyediakan kursi. Hanya diam sembari berjongkok. Pikirannya benar benar tidak fokus. Hanya tangisannya yang sudah berhenti. Berkali kali ia menghembuskan nafas, mencoba menenangkan diri.
sekitar 15 menit, David menemukan Shafa, berjongkok di sisi motornya. Sedikit lega karena Shafa menuruti perintahnya, namun miris juga karena Shafa yang memilih berjongkok dibandingkan duduk di kursi dekat trotoar.
"bangun" David mengetuk helm pink Shafa dengan jempolnya
"kram kakinya...." ucap Shafa dengan bibir melengkung, menatap David dengan muka sembap dan hidung merah.
"gendong..." lanjut Shafa mengulurkan tangannya ke hadapan David.
"nggak. Gue udah punya cewek ya, jangan genit,!!" masih sempatnya David menjahili Shafa
"David ih bego..."
"Yee....elo yang bego nangis pinggir jalan gini. Nyusahin Lo..!!" balas David sewot, namun tak ayal dia berjongkok membelakangi Shafa dan menggendongnya ke tempat duduk yang ada di dekat sana.
"jadi kenapa?" tanya David yang sekarang duduk berdua di kursi bersama Shafa yang diam menunduk.
"gapapa.." dengan suara kecil dan tangan bertautan, Shafa tidak mau menceritakan masalahnya. Shafa malu.
David menghela nafas, mengerti mungkin Shafa belum mau menceritakan masalahnya. Mengecek jam tangan, sembari menatap sekitar jalanan yang sekarang mulai ramai karena jam pulang kantor, David mencoba mengalihkan perhatian Shafa.
"dua jam lagi acara tunangannya mulai. Pulang yuk, keburu macet ntar"
Shafa yang mendengar itu, sontak membelalakkan mata. Ia baru ingat kalau sekarang acara pertunangan kakaknya Maya.
"Lo kenapa gak bilang sih kalau bentar lagi acaranya" Shafa memukul bahu David
"adoh..!! kagak ngaca nih bocah,! Ayo pulang. Gue yang bawa motornya." David berdiri dan melangkah ke tempat motor Shafa, yang di ikuti Shafa dari belakang dan langsung duduk di belakang David.
"mobil Lo?"
"gue udah telpon supir" David membawa motor itu menuju ke rumah Shafa dengan kecepatan maksimal. Dia harus mengejar waktu, sebagai pendamping Maya dia harus ada di hotel sebelum acara di mulai.
satu lagi bertarung dengan masa lalu tuh berat karena hampir semua masa lalu pemenang nya