NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seseorang yang Sulit Dimengerti

Sore itu langit menguning lembut di atas atap sekolah. Bagas masih berada di ruang guru, matanya menatap laptop yang belum juga dimatikan. Sejurus kemudian, ponselnya bergetar pelan di atas meja. Sebuah panggilan masuk dari Pak Pratama—ayahnya.

“Halo, Yah?”

“Bagas, Ibu sudah bisa pulang,” suara Pak Pratama terdengar lega. “Dokter baru saja mengizinkan. Tolong segera ke rumah sakit, ya.”

Bagas langsung berdiri dari duduknya. “Oke, aku ke sana sekarang.”

"Jangan lama."

Ia merapikan barang-barangnya dengan cepat, dan sambil menyampirkan jaket, ia melangkah keluar. Di perjalanan menuju mobil, ia teringat sesuatu. Sebuah ide kecil menyelip begitu saja—mungkin karena ingin membuat ibunya tersenyum setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit.

Tak butuh waktu lama, Bagas membelokkan mobilnya ke sebuah toko bunga mungil milik temannya yang berada tak jauh dari sekolah. Suasana toko itu semerbak wangi bunga mawar, daisy, dan baby’s breath.

“Oh, Bagas! Tumben banget ke sini,” sapa temannya yang sedang merangkai bunga.

“Satu buket, ya. Yang cantik tapi nggak terlalu heboh,” ujar Bagas sambil mengedarkan pandangan.

“Buat something special, nih?” goda temannya, alisnya bergerak naik-turun.

Bagas hanya tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Buat Ibu. Baru pulang dari rumah sakit.”

“Oh,” sahut temannya sedikit kecewa. “Kirain buat merayu anak orang itu, siapa namanya… Aruna?”

Bagas tertawa singkat. “Dia? Dia pasti kabur kalau dikasih bunga kayak gini.”

Temannya ikut tertawa sambil menyerahkan buket bunga berisi kombinasi mawar putih dan pink yang manis.

“Tapi jangan salah, Bagas. Kadang yang suka kabur itu justru yang paling sering ditungguin.”

Bagas tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menerima buket itu, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Bagas membuka pintu kamar dengan hati ringan, ingin segera memberikan bunga untuk ibunya—tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Di dalam ruangan, duduklah sosok yang sama sekali tidak ia sangka.

Aruna.

Gadis itu duduk di sisi ranjang ibunya, membantu merapikan letak bantal sambil mengobrol pelan. Cahaya sore yang masuk dari celah jendela membingkai wajahnya, membuatnya tampak lebih lembut dari biasanya. Aruna menoleh, dan saat pandangan mereka bertemu, keduanya sama-sama terpaku.

Aruna sontak berdiri, berusaha bersikap sopan.

“Tante, aku harus pulang. Ini sudah sore. Papa pasti khawatir,” ucapnya, menyembunyikan kegugupannya di balik nada datar.

Namun Bu Widuri—yang tak pernah kehilangan instingnya—cepat-cepat menahan tangan Aruna sebelum ia benar-benar pergi.

“Lho, jangan buru-buru. Kamu baru datang sebentar,” katanya hangat. “Bagas baru saja sampai. Enak, kan, kalau ngobrol bertiga?”

Bagas masih berdiri terpaku di pintu, memandangi Aruna dengan ekspresi campuran antara bingung dan geli. Buket bunga masih ia genggam. Ia masuk perlahan, seolah-olah takut langkahnya mengusik sesuatu yang rapuh di udara.

Ia meletakkan bunga itu di meja samping ranjang. “Ini… buat Ibu,” katanya singkat.

Bu Widuri tersenyum. “Aduh, anak Ibu baik banget.” Lalu, ia melirik ke arah Aruna. “Bunga buat Ibu, bukan buat Aruna, ya?”

Bagas langsung menjawab, masih dengan nada santainya, “Buat Ibu. Yang satu lagi belum pantas dikasih bunga. Seragamnya masih putih abu-abu.”

Aruna memutar bola matanya, lalu pura-pura sibuk dengan isi tasnya. Tapi wajahnya memerah sedikit, tak bisa disembunyikan.

“Aduh… anak-anak ini,” ucap Bu Widuri pelan, sambil menepuk tangan Aruna lembut. “Ibu jadi kepikiran, apa perlu Ibu jodohkan kalian resmi hari ini juga?”

Bagas tertawa pendek. “Jangan sekarang, Bu. Tunggu Aruna lulus dulu. Dia masih terlalu galak.”

Aruna cepat-cepat menyahut. “Begitulah Tante, kelakuan guru matematikaku di sekolah. Aku bukan galak, aku realistis.”

“Realistis itu seringkali cuma tameng dari denial,” balas Bagas dengan santai.

Suasana ruangan berubah hangat. Sejenak tak terasa bahwa tempat itu adalah kamar rumah sakit. Ada tawa. Ada sindiran ringan. Ada degup jantung yang sedikit tak teratur.

Aruna menghela napas dalam hati. Break atau tidak, Bagaskara memang susah dihindari.

Dan di sisi lain, Bagas tahu satu hal: bahkan saat tak ada janji, Aruna datang. Itu cukup menjadi alasan untuk terus menunggu.

Langit sudah mulai beranjak gelap ketika mobil keluarga Pratama berhenti di depan rumah. Aruna membantu mendorong kursi roda Bu Widuri, sementara Bagas membawa tas dan selimut tambahan dari rumah sakit. Pak Pratama berjalan lebih dulu, membuka pintu dan menyalakan lampu ruang tamu.

"Pelan-pelan, Bu," ujar Aruna sambil menuntun Bu Widuri masuk. “Langkah depan rumah Ibu ini agak tinggi.”

"Ya ampun, Aruna lebih perhatian dari Bagas,” sahut Bu Widuri sambil tersenyum, lalu menoleh ke anaknya. “Lihat tuh, belajar, Bagas.”

Bagas hanya mengangkat alis. “Aku bagian angkut-angkut berat, bukan ngatur langkah.”

Aruna menahan tawa, meski matanya tetap tajam melirik Bagas. Setelah semua beres dan Bu Widuri duduk nyaman di sofa, Aruna pamit sambil meraih tasnya.

“Kalau begitu saya pulang dulu, ya, Tante. Supir saya sudah nunggu dari tadi,” ucapnya sopan.

Namun sebelum langkah Aruna bisa benar-benar menjauh dari sofa, Pak Pratama menyela sambil berjalan keluar dari dapur kecil membawa gelas air putih.

“Lho, jangan pulang dulu. Kamu kan sudah repot jaga Ibu dari sore. Bagas, ajak Aruna makan dulu, ya. Kasihan, pasti belum makan.”

Aruna refleks menoleh pada Bagas dengan pandangan waspada. “Om, saya nggak mau merepotkan. Beneran. Saya sudah minta supir siap, tinggal jalan—”

“Tinggal makan dulu juga bisa,” timpal Bu Widuri sambil mengusap tangan Aruna dengan lembut. “Ibu jadi nggak enak kalau kamu pulang dalam keadaan lapar. Anggap saja ini makan bareng keluarga.”

“Sudah, Bu,” kata Pak Pratama pada istrinya, “Bagas kan bisa anter. Sekalian... ya biasalah, pacaran.”

Bagas mendekat dengan wajah datar yang sudah terlalu sering dipakai untuk menghindari ketahuan gugup.

“Ayo,” katanya ringan. “Kata orang tua harus didengar, kan?”

Aruna menghela nafas.

Aruna menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, menatap lampu kota yang berpendar di kaca. Jalanan malam yang basah diguyur gerimis sore tadi membuat suasana jadi sedikit lebih melankolis dari biasanya.

Ia melirik Bagas yang tenang mengemudi.

"Jadi... kita mau makan di mana?" tanyanya, pura-pura santai. "Restoran mewah? Kafe tematik?"

Bagas tersenyum simpul, matanya tetap fokus ke jalan.

"Salah semua."

Aruna menaikkan alis. “Kemana dong? Atau jangan-jangan... greenhouse lagi?”

Bagas terkekeh. “Tenang, bukan greenhouse. Tapi aku memang nggak sempat pesan tempat, jadi ya... improvisasi.”

Sebelum Aruna sempat menjawab, ponselnya berdering. Nama Papa muncul di layar.

Ia langsung mengangkat. "Halo, Pa?"

Suara Pak Agam terdengar hangat tapi penuh godaan. “Kamu lagi di jalan ya? Bareng Bagas?”

Aruna melirik sekilas ke arah Bagas dan menggumam, “Iya, sebentar lagi pulang.”

Pak Agam tertawa. “Pasti jantungmu berdebar-debar tuh duduk sebelahan sama calon suami.”

Aruna langsung memutus sambungan dengan ekspresi panik.

Bagas menoleh cepat. “Teleponnya begitu doang? Nggak pamit? Nggak salam buat kucing?”

Aruna memasang wajah setenang mungkin. “Nggak penting. Cuma Papa sok romantis.”

Mobil melambat dan berbelok masuk ke gang kecil yang asing bagi Aruna. Ia menegakkan duduknya, menatap ke luar dengan curiga. Lampu-lampu neon mulai terlihat.

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan papan bertuliskan “WARUNG KOPI MBAK YATI”.

Aruna ternganga. “Kita... makan di sini?”

Bagas keluar dari mobil dan membuka pintu untuknya dengan gaya ala pangeran sopan yang kelewat santai.

“Yap. Warkop legend. Favoritku. Sate ususnya ngalahin menu hotel.”

Aruna berdiri pelan, menatap warung itu seolah Bagas baru saja mengajaknya camping liar tanpa tenda.

“Kau benar-benar punya definisi romantis yang… nyeleneh.”

Bagas menyeringai. “Kalau sama kamu, aku nggak butuh lilin dan biola. Cukup teh panas dan gorengan krispi.”

Aruna menggeleng, tapi sudut bibirnya mulai melengkung. Mungkin ini bukan makan malam impian. Tapi kenyataannya, bersama Bagas… kejutan-kejutan aneh itu terasa terlalu mudah untuk disukai.

1
Nda
luar biasa
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!