Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Tak Ada Lagi Leon
Cahaya temaram menggantung dari lampu kristal di langit-langit restoran. Meja bundar untuk empat orang itu telah disiapkan dengan apik—taplak putih, mawar segar dalam vas kaca ramping, dan sendok garpu perak yang mengilat.
Di salah satu kursi, duduk seorang pria dengan rambut sebahu menjuntai ke pipi, sebagian menutupi wajahnya. Sebuah topeng setengah wajah menutupi dari atas hidung ke bawah pipi, menyisakan hanya sepasang mata kelabu yang tajam dan menusuk.
Varendra Mahardika.
Sosok yang lebih menyerupai bayangan daripada manusia biasa—berkelas, dingin, dan menyimpan banyak rahasia.
Ia duduk di sisi kanan sang kakek, Mahardika.
Mahardika melirik cucunya sejenak. “Cobalah tersenyum sedikit, Ren. Ini makan malam perkenalan, bukan sidang dewan.”
Varendra tidak menjawab. Ia hanya menyesap air mineral di depannya, sorot matanya tetap tertuju ke meja. Diam. Tegas. Tidak ada senyum.
Beberapa menit kemudian, seorang pelayan mempersilakan dua tamu masuk—seorang pria paruh baya dengan jas rapi, dan seorang gadis muda menawan dalam gaun sederhana namun elegan. Wajah gadis itu… terlihat familiar.
Gadis itu tersenyum sopan. “Selamat malam. Senang bertemu dengan Anda, Tuan Mahardika… dan Tuan Varendra.”
Mahardika berdiri, menyambut mereka dengan hangat. “Jessie, ini cucu saya, Varendra Mahardika. Ren, ini Jessi dan ayahnya, Tuan Nathan.”
Varendra mengangguk kecil. Matanya menatap lurus ke arah gadis itu.
“Kita pernah bertemu,” ujarnya pelan. “Di galeri Anda. Saat itu kau sibuk menyambut klien berjas dan mobil mahal. Kau bahkan tak menoleh dua kali ketika aku berdiri di sudut ruangan.”
Jessie tampak kikuk, senyumnya menegang. “Saya… mungkin tidak mengenali Anda saat itu.”
“Benar,” ucap Varendra datar. “Dan itu bagus.” Ia menoleh pelan, menatap Jessi lebih tajam. “Karena kalau hari ini aku bukan Varendra Mahardika—bukan pewaris Mahardika Grup—masihkah kau duduk di sini?”
Hening turun seperti kabut tebal.
Jessie terdiam. Senyumnya goyah. Ia melirik pada ayahnya, lalu pada Mahardika yang terlihat canggung.
“Kau tahu…” lanjut Varendra, suaranya tetap dingin, “Kalau wajahku jelek… atau jika di balik topeng ini ada luka… aku yakin kau tetap akan bertahan. Karena nama dan harta sudah cukup untuk menutupi segalanya, bukan?”
“Varendra…” tegur Mahardika pelan, nadanya lelah.
“Maaf, Kek.” Varendra bersandar ke kursinya, tetap tak berubah ekspresinya. “Aku hanya ingin gadis ini tahu risikonya… kalau mengenalku lebih jauh.”
Tuan Nathan tertawa kecil, canggung. “Varendra memang… terus terang, ya.”
Mahardika menarik napas panjang. “Dia memang bicara blak-blakan. Kadang terlalu jujur hingga terasa kasar. Tapi dia cucu saya—dan saya tahu, selalu ada alasan di balik sikapnya.”
Jessie mencoba tersenyum kembali, walau kali ini lebih rapuh. “Saya tidak keberatan, Tuan Varendra. Tapi… saya rasa, saya ingin mengenal Anda lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan yang terlalu berat.”
Untuk pertama kalinya, Varendra mengangkat alisnya. Sekilas bibirnya mengendur—nyaris seperti senyum. Tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya kembali meneguk airnya, membiarkan diam yang menggantung menjadi jawaban.
Satu Jam Kemudian
Langkah kaki Varendra menjauh di lorong restoran bersama Mahardika, menyisakan keheningan canggung di meja bundar itu. Jessi memandangi sisa makanan di piringnya yang nyaris tak disentuh, jari-jarinya menyentuh ujung gelas jus buah yang berembun.
“Aku tak menyangka kalau aku pernah bertemu dengannya,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dan waktu itu... aku bahkan tidak sadar.”
Nathan, ayahnya, mengangkat gelas wine dan menggoyangnya pelan, memecah keheningan.
“Anak itu memang… penuh teka-teki,” ujarnya, nadanya tenang namun menyimpan kesan pribadi. “Lima tahun lalu, Tuan Mahardika mengumumkan bahwa ia telah menemukan cucunya yang sempat hilang karena penculikan waktu bayi. Tapi sejak itu, Varendra nyaris tak pernah menampakkan wajahnya di depan publik.”
Jessi menoleh, ekspresinya berubah penasaran.
“Tak ada satu pun foto wajahnya yang beredar. Bahkan di media resmi perusahaan,” lanjut Nathan. “Padahal Mahardika sendiri, meski sudah hampir kepala tujuh, masih punya sisa pesona di wajahnya. Mendiang anak dan menantunya juga dikenal tampan dan cantik. Jadi... Papa rasa, Varendra seharusnya tidak jauh dari itu.”
Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menatap putrinya dengan tenang.
“Ada isu,” tambahnya, “kalau dia selalu menutupi wajahnya karena bekas luka akibat sebuah kecelakaan di masa kecilnya. Tapi siapa yang tahu?”
Jessi menghela napas, matanya memandang kosong ke gelasnya. “Apa aku bisa meluluhkan hatinya, Pa? Dia… seperti yang dibicarakan orang. Dingin, datar, seperti tak mengizinkan siapa pun masuk.”
Nathan tersenyum simpul, nada suaranya melunak namun tegas.
“Justru karena itu, kamu tak boleh mundur, Jes.” Ia meletakkan gelasnya, menatap putrinya dengan sorot ayah yang bijak. “Laki-laki seperti itu... jika hatinya berhasil kamu menangkan, maka kamu tidak hanya akan jadi seseorang di hidupnya. Kamu akan jadi pusat semestanya.”
Hening sejenak.
“Jadi, kamu jangan menyerah. Luluhkan dia. Bukan untuk hartanya... tapi untuk hatinya.”
Jessi memejamkan mata sejenak. Saat ia membukanya, ada sinar berbeda yang mulai tumbuh di sana—belum tekad yang bulat, tapi rasa ingin tahu yang perlahan berubah menjadi tantangan pribadi.
-----
Gedung Mahardika Grup
Ruangan itu sunyi, nyaris seperti tak berpenghuni.
Kamar pribadi Varendra Mahardika—terletak di lantai paling atas gedung Mahardika Grup—adalah ruang dingin berbalut kaca dan logam, dengan cahaya lampu lembut yang menyentuh lantai marmer gelap.
Di sudut ruangan, sosok pria duduk di kursi kerja yang menghadap jendela. Rambutnya tergerai lepas, menutupi sebagian wajah. Topeng logam perak masih menempel, menutupi dari batang hidung hingga ke rahang. Hanya sepasang mata abu-abu es yang terlihat—dingin, tajam, namun menyimpan letih yang nyaris tak kasatmata.
Ia membuka laptop di hadapannya.
Layar menyala, menampilkan sebuah foto candid yang di-capture dari kamera pengawas.
Ghea.
Dengan pakaian kasual, tengah menatap ke arah jendela. Cahaya sore membingkai wajahnya seperti lukisan yang hidup.
Pria bertopeng itu mendesah pelan. Tangannya, besar dan berotot namun tampak ragu, menyentuh layar—menelusuri pipi wanita dalam gambar itu. Sentuhan yang tak bisa menembus jarak, tapi tetap terasa penuh hasrat.
“Tak ada yang setulus dia…” gumamnya lirih, suaranya berat, nyaris tak terdengar—seperti bisikan yang hanya untuk dirinya sendiri.
Ia menunduk, lama.
Ketika kembali mendongak, sorot matanya berubah. Lebih gelap. Lebih tajam.
“Akan ada seseorang yang datang padamu, Ghea,” katanya pelan.
“Dan dari semua kemungkinan, hanya satu yang akan menjadi takdirmu.”
Dan malam pun menggulung keheningan, menyisakan siluet punggung pria itu yang menghadap jendela. Wajahnya tetap tersembunyi di balik rambut dan bayangan. Identitasnya masih jadi tanda tanya.
Sementara itu...
Di tempat lain, seorang wanita membuka pintu kamarnya. Ia menurunkan tas ransel kecil ke sofa. Tumitnya lelah. Tubuhnya ingin rebah.
Ghea.
Baru saja pulang dari kelas bisnis malam yang melelahkan. Helaan napasnya berat, mengisi keheningan yang menelannya.
Begitu melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada ranjang. Refleks. Seperti kebiasaan.
Namun yang ia temukan hanya seprai yang rapi dan bantal yang dingin.
Kosong.
Tak ada siapa pun di sana.
Tak ada pria dengan boxer yang bersandar santai di kepala ranjang, tak ada suara malas memanggil, “Honey, kau pulang juga.”
Dan yang membuatnya semakin jengah… adalah kenyataan bahwa ia menanti itu.
Ghea menggeleng cepat. “Tidak. Tidak. Kenapa aku harus memikirkan dia?”
Ia bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, menenangkan pikiran yang kalut—tapi hanya sebentar.
Sesaat kemudian, ia keluar dengan bathrobe putih, rambut basahnya menjuntai ke bahu.
Langkahnya pelan.
Tapi matanya… sekali lagi—terarah pada ranjang itu.
Kosong. Lagi.
Tak ada Leon.
Tak ada sorot mata gelap di bawah alis tajam, tak ada suara serak dan malas yang memanggil, tak ada tatapan itu… yang seolah menelanjanginya tanpa menyentuh.
Ghea menghela napas. Dalam. Lalu memeluk dirinya sendiri, mencoba meredam sesuatu yang mengganjal di dada.
“Aku sudah gila...” bisiknya lirih.
Ia menunduk, mengusap wajah dengan kedua tangan, seolah bisa menyeka bayangan pria yang bahkan mungkin tak nyata.
Namun aroma tubuh itu… entah bagaimana, masih tertinggal di udara.
“Dia bahkan bukan siapa-siapa...”
Tapi hati kecilnya tahu:
Kepergian pria itu—meski ia sendiri tak pernah mengizinkannya tinggal—telah menyisakan kekosongan yang tak bisa diabaikan.
Matanya beralih ke sisi meja, pada bingkai foto pernikahan.
Ia dan David.
Lima belas tahun kebersamaan yang kini terancam karam oleh pengkhianatan.
Dan Ghea mendesah panjang. “Aku bahkan... tak pernah punya perasaan seperti ini untuk David.”
Keheningan malam menyelimuti, hanya menyisakan satu pertanyaan yang berputar di benaknya:
Siapa sebenarnya Leon?
Dan mengapa… ia merasa begitu nyata meski selalu datang dan pergi diam-diam?
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.