Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Lebih Dari Ini
Pagi itu, matahari menembus tirai kamar dengan lembut. Cahaya keemasan membias di permukaan selimut yang masih tersusun rapi meski dua tubuh telah semalaman terbaring di atasnya. Tidak ada tubuh yang saling menyatu, tidak ada desahan atau pelukan yang hangat. Tapi ada satu hal yang tak kasat mata rasa yang perlahan mengakar lebih dalam di antara mereka.
Xandrian dan Nadiara masih tertidur, tangan mereka bertaut di atas selimut. Damai. Hangat. Namun tidak sepenuhnya tenang.
Ketika Nadiara membuka mata dan memandangi wajah Xandrian yang tertidur lelap di sisinya, sebuah kegelisahan kembali menyelinap masuk. Hatinya berdebar tapi bukan karena rasa cinta yang manis melainkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Tentang masa depan. Tentang arah. Tentang keberanian.
Ia menarik tangannya perlahan, mencoba tidak membangunkan Xandrian. Lalu bangkit dari ranjang dan mengenakan sweater tipis yang tergantung di kursi. Kakinya melangkah pelan ke arah balkon, membuka pintu kaca yang berembun sedikit dan membiarkan udara pagi menyapa wajahnya.
Langit biru pucat menggantung tenang di atas kota. Tapi di dada Nadiara ada badai kecil yang mulai berputar.
Suara langkah pelan menyusul di belakangnya. Xandrian berdiri di ambang pintu balkonbrambutnya masih berantakan mata masih setengah terpejam.
“Kamu tidak tidur nyenyak?” tanyanya, suara serak khas pagi hari.
Nadiara tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada jalanan yang mulai dipenuhi aktivitas. Dunia di luar tidak tahu apa yang mereka perjuangkan di dalam kamar itu.
"Aku berpikir… tentang kita," katanya akhirnya.
Xandrian mendekat, berdiri di sampingnya. “Tentang apa?”
“Tentang masa depan,” jawab Nadiara tanpa menoleh. “Aku ingin lebih dari ini, Xandrian. Aku ingin kebebasan. Aku ingin hubungan yang bisa kulihat dengan terang. Aku ingin hidup yang tidak harus kusembunyikan di balik pintu.”
Xandrian terdiam. Ia menatap wajah Nadiara dari sisi, mencoba membaca sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
“Aku tidak menyesali perasaan ini,” lanjut Nadiara, suaranya menguat. “Tapi aku lelah terus bersembunyi. Aku ingin lebih dari sekadar cinta di balik kamar. Aku ingin pengakuan.”
Angin pagi meniup rambutnya ke belakang, membuat wajahnya terlihat lebih tegas, lebih dewasa. Xandrian sejenak melihatnya bukan sebagai gadis yang dulu selalu mengalah, tapi sebagai wanita yang kini tahu apa yang ia inginkan.
"Dan jika dunia tidak memberikannya? Jika dunia menolak hubungan kita?" tanya Xandrian, nada suaranya perlahan mengeras seperti mencicipi kenyataan yang pahit.
"Kalau begitu" ujar Nadiara sambil mengangkat dagunya sedikit “biarkan aku jadi wanita yang kuat. Berdiri di sampingmu, bukan di belakangmu. Aku tidak mau lagi jadi rahasia. Aku pantas mendapat tempat yang sama seperti orang-orang lain dalam hidupmu.”
Xandrian menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya pada tiang balkon, menatap jalanan yang kini mulai ramai. "Kamu tahu apa artinya itu? Kita akan kehilangan segalanya. Perusahaan. Reputasi. Warisan."
Nadiara menoleh, matanya menatap Xandrian dengan penuh keberanian. “Tapi kita tidak kehilangan satu sama lain.”
Kalimat itu menggema di kepala Xandrian, perlahan menghancurkan tembok yang selama ini ia bangun di sekeliling dirinya. Ia dibesarkan dalam dunia yang penuh dengan syarat, dengan label, dengan peran-peran yang harus dimainkan sempurna. Tapi kini, di hadapannya, berdiri seorang wanita yang rela kehilangan segalanya asal bisa mencintai dengan jujur.
Ia menatap Nadiara, lama. Wajah itu begitu familiar, tapi hari ini terlihat berbeda. Matanya tidak lagi hanya menyiratkan keraguan, tapi kekuatan. Keberanian. Keteguhan.
"Kamu benar" gumamnya akhirnya. "Kalau kita mau bertahan, kita harus berani muncul. Kita harus siap kehilangan apa pun kecuali satu sama lain."
Nadiara tersenyum tipis. Matanya memerah, tapi bukan karena sedih. Melainkan karena lega. Akhirnya, mereka bicara tentang hal yang selama ini hanya mereka pikirkan dalam diam.
“Terima kasih,” bisiknya. “Karena akhirnya kamu melihatku.”
Xandrian menarik napas, lalu mengulurkan tangannya. Kali ini, bukan untuk meraih tubuhnya, tapi untuk menggenggam tangannya.
“Aku tidak pernah buta, Nadiara. Aku hanya terlalu takut membuka mata.”
Mereka berdiri di sana cukup lama, hingga cahaya matahari mulai menghangatkan kulit mereka. Dunia perlahan bangun, dan begitu pula mereka.
Hari itu, mereka buat keputusan.
Cinta ini tidak bisa lagi disembunyikan. Jika mereka ingin lebih, maka mereka harus berani lebih.
Di meja makan, mereka menyusun rencana. Bukan tentang bagaimana menyembunyikan hubungan ini, tapi bagaimana menghadapinya. Bagaimana memberi tahu orang-orang. Bagaimana menghadapi reaksi yang mungkin menyakitkan. Bagaimana bertahan saat semuanya terasa hancur.
"Aku akan bicara pada dewan direksi minggu depan," kata Xandrian. "Aku tidak akan menyembunyikanmu lagi."
Nadiara terdiam terharu. "Kamu yakin?"
Xandrian menatapnya dengan mantap. "Aku lebih yakin pada kamu daripada pada warisan yang kubawa. Dan kalau mereka tidak bisa menerima, maka aku akan membangun segalanya dari awal, asal kamu ada di sampingku."
Hari itu, mereka memulai sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta. Mereka memulai perjuangan. Perjuangan untuk menjadi nyata.
Dan untuk pertama kalinya, cinta mereka bukan hanya terasa tapi juga terlihat.