Aizha Adreena Hayva harus bertarung dengan hidupnya bahkan sebelum ia cukup dewasa, berhenti sekolah, mencari pekerjaan dan merawat adiknya karena orantuanya meninggal di malam yang sunyi dan tenang, bahkan ia tak menyadari apapun. bertahun-tahun sejak kejadian itu, tak ada hal apapun yang bisa dia jadikan jawaban atas meninggalnya mereka. ditengah hidupnya yang melelahkan dan patah hatinya karena sang pacar selingkuh, ia terlibat dalam one night stand. pertemuan dengan pria asing itu membawanya pada jawaban yang ia cari-cari namun tidak menjadi akhir yang ia inginkan.
selamat menikmati kehidupan berat Aizha!!
(karya comeback setelah sekian lama, please dont copy my story!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Fhadillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Kini mobil Caiden sudah berhenti di depan gerbang museum tersebut, sulit untuk melihat kedalam dari pagar tinggi yang telah dipenuhi oleh tanaman liar yang merambat hampir keseluruh bagiannya. Caiden masih berada di dalam mobilnya, duduk terdiam di balik kemudi dengan suara rintikan hujan memenuhi mobil dan telinganya, bahkan sebelum keluar menghadapi malam itu, Caiden sudah merasakan sensasi dingin di sekujur tubuhnya. Dia tidak takut, dia yakin tak ada hantu atau makhluk halus atau apapun itu, hanya saja berada di antah berantah ini sendirian pada malam hari tentu bukan hal yang sungguh menyenangkan dan dia bahkan masih mempertanyakan gagasan konyolnya untuk berada disini saat ini, di detik ini.
Dengan helaan napas kasar, Caiden mengambil handphone, pistol dan magazinnya, tidak lupa juga senter berukuran kecil untuk memudahkannya dalam situasi gelap, lalu keluar dari mobil. Di sekitar itu tak ada apapun, hanya ada satu lampu jalan yang berada di seberang jalan tak jauh dari sana, selebihnya tak ada apapun hanya jalanan saja. Tak ada bangunan apapun atau rumah apapun. Caiden tak yakin dulu tempat yang pernah dikunjunginya ini berada di tempat yang begitu pelosok seperti ini.
Pria itu mencoba membuka pintu pagar itu namun terkunci dengan rapat, ada rantai besar yang sudah berkarat mengikat pagar itu, menghalangi untuk terbuka. Caiden memutuskan untuk memanjat pagar tersebut lalu melompat ke sisi dalamnya dengan mulus. Kini di depannya ada bangunan besar dan dia bisa mendengarkan suara air, saat dia mendekat, air mancur di kolam itu masih berfungsi dan air di dalam kolam itu masih penuh, sama seperti yang bisa ia ingat dulu, aneh sekali mendapati sesuatu yang masih terjaga dengan baik di tempat yang sudah terlantar seperti ini. Caiden berbalik menghadap bangunan tersebut, menyinarinya dengan senter yang sedari tadi ia gunakan, bangunan itu tampak aneh dan ganjil tak seperti museum yang ia lihat di fotonya atau bahkan di informasi yang ditampilkan di aplikasi maps yang bahkan saat ini tengah ia lihat, aneh sekali. Ada banyak hal aneh di tempat ini dan tentu saja ini berbanding terbalik dengan belasan tahun yang lalu.
Bangunan itu tertutup sangat rapat seolah semua bagiannya hanya dinding tanpa jendela dan pintu berwarna hitam atau mungkin abu-abu tua? Tidak begitu jelas dengan pencahayaan yang minim namun di gambar yang diunggah di laman aplikasi maps itu hanya bangunan berwarna cokelat terang dengan jendela panjang ramping di sepanjang dinding sampingnya dan pintu masuk lebar dengan pinggiran berwarna emas dan beberapa foto lainnya yang tak jauh berbeda, foto-foto itu ada yang terakhir di unggah pada akhir 2022, tak mungkin dalam 2 atau 3 tahun dapat berubah drastis apalagi mengingat museum ini telah ditutup, ditinggalkan, tidak lagi dirawat atau bahkan tidak lagi diperdulikan, lalu apa gunanya perubahan tersebut? Caiden dengan perlahan dan waspada berjalan mendekati salah satu sisi bangunan, dia tak begitu yakin dimana letak pintu masuk. Saat sudah begitu dekat dengan dinding itu, dia bisa dengan jelas melihat bahwa itu berwarna gelap seperti lapisan baja dan saat Caiden menyentuhnya terasa begitu dingin dibawah telapak tangannya dan dia kini yakin 100% itu memang baja, logam, besi atau apapun itu yang tidak umum menjadi dinding bangunan, atau setidaknya untuk bangunan museum ini. Caiden berjalan dengan perlahan dan waspada dengan tangan yang masih menempel pada dinding itu, mencoba mencari suatu pintu ataupun jendela atau lubang apa saja yang dapat membuatnya melihat kedalam.
Angin malam bertiup sesekali membuat Caiden kedinginan sekaligus merasa merinding, dia hanya memakai kaos biasa yang kini sudah lumayan basah karena rintikan hujan yang ia pakai dari tadi pagi dan dia bahkan lupa untuk membawa jaket. Setelah beberapa saat berjalan di samping dinding itu, tangan Caiden merasakan sesuatu, seperti sebuah lubang yang kecil. Pria itu mengarahkan senternya kearah dinding tempat ia merasakan lubang itu dan benar saja, sepertinya itu lubang kunci. Pasti ini kunci untuk membuka suatu pintu, pintu masuk yang seharusnya berada disana, namun tak ada apapun, tempat itu sama datarnya dengan dinding bangunan lainnya. Tak ada celah apapun atau struktur apapun yang menunjukan bentuk sebuah pintu, bahkan setelah memeriksa sekitar tempat itu. wah apa ini? tempat macam apa ini? terasa sangat aneh dan entah bagaimana memberikan perasaan was-was.
Setelah menatap lubang kecil itu lebih lama dia semakin yakin itu lubang kunci, dia tak mungkin dapat menemukan kunci itu dimanapun, orang-orang itu pasti membawanya bersama mereka. Caiden mempertimbangkan untuk bersembunyi dan menunggu hingga seseorang keluar atau masuk, namun itu konyol, tidak yakin apa akan ada yang datang kesini dalam waktu dekat. Caiden mengedarkan pandangannya ke segala arah dengan sekilas lalu merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan lubang kunci kecil itu, mencoba mengintip dari celahnya yang kecil namun tak dapat melihat dengan jelas.
Selama beberapa belas tahun, atau bahkan puluhan tahun, Caiden sudah sering berhadapan dengan hal semacam ini. Dia sudah sering membobol pintu untuk membunuh orang-orang yang ada didalamnya tanpa mereka sadari, atau bahkan saat menjadi agen rahasia, membobol pintu-pintu, mengancurkannya dan sebagainya untuk menangkap para mafia dunia, gerbong-gerbong narkoba atau bahkan kartel-nartel narkoba yang besar, dia selalu berhasil melakukannya, tak pernah gagal sama sekali. Bukankah ini hal yang mudah dihadapan pengalamannya yang sangat banyak itu!? Apapun jenis pintunya tak masalah selama ada lubang kunci, gembok atau apapun yang bisa ditembus atau dihancurkan.
Dengan keyakinan seperti itu, Caiden mensejajarakan tubuhnya dengan lubang itu, mengeluarkan dua kawat yang agak panjang, membengkokkan ujungnya agar sesuai lalu mulai melakukan pembobolan dengan senter bertenger di mulutnya. Hujan yang tak begitu lebat, hanya rintik-rintik sedari tadi cukup membuat Caiden kesal, karena hujan membuat tingkat kesulitan yang ia hadapi naik 8% dari seharusnya. Namun Caiden tak mungkin menunggu sampai hujan itu reda atau dia akan mati kedinginan dan kelaparan di tempat buruk yang terpencil itu. beberapa kali kawat kecil itu tergelincir dari tangan Caiden yang basah oleh hujan, kawat mulus itu menjadi licin dan tak nyaman dalam genggamannya, Caiden harus beberapa kali berhenti untuk mengelap tangannya di baju ataupun celana. Ayolah, dia sudah terlalu sering berada di situasi sangat bahaya hingga nyawanya selalu terancam setiap saat, ini bukan hal yang besar, tak begitu sulit dan sama sekali bukan masalah, setidaknya itu yang coba ia yakinkan pada dirinya sendiri.
Caiden tidak yakin sudah berapa lama ia disana, mencoba terus-menerus dengan dua kawat sederhana itu, bajunya kini sudah basah total, menempel dengan sempurna dan mencentak dengan jelas bentuk tubuhnya, tangannya sesekali bergetar menahan dingin, sepertinya sebentar lagi kaki dan tangannya akan mati rasa dan bahkan hujan belum berencana untuk berhenti. Bisa saja Caiden berpikir tak akan ada apapun didalam sana, ini hanya bangunan tua yang konyol, lalu memanjat gerbang sialan itu lagi dan kembali ke dalam mobilnya, berkendara ke apartemennya dan berbaring di ranjangnya yang luas dan empuk dengan selimut tebal dan lembut, aaah ranjang dan selimut terdengar sangat mewah disituasi seperti ini. Dia sudah tua, sudah lama dia tidak bekerja terlalu keras seperti ini dan hanya memimpikan pensiun yang damai lalu menikah dan bahagia, kini terdengar konyol bahkan ditelinganya sendiri. Jika dia berhasil melakukan ini, jika dia berhasil membuka apapun pintu itu dan masuk kedalam lalu tak menemukan apapun disana, dia bersumpah akan menghancurkan tempat ini, bangunan sialan dan gerbang sialannya.
Caiden terus melakukannya tanpa beranjak dari sana untuk beristirahat, dia memasukan, memutarkan dan sebagainya seperti yang biasa ia lakukan dengan kawat-kawat itu hingga sesuatu terasa menyangkut di ujungnya yang sedikit bengkok, ouh rasanya seperti dia akan segera membukanya. Suara klik halus yang terpendam dengan suara rintikan hujan membuat Caiden begitu senang, dia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, akhirnya dia berhasil setelah begitu lama. Dia menarik keluar dua kawat itu dari lubang kunci dan perlahan ada celah tinggi muncul di samping lubang itu, celah panjang vertikal itu semakin lama semakin melebar, itu merupakan pintu masuknya, pintu yang menyatu dengan dinding dan hanya lubang kecil itu sebagai penandanya, betapa buruk sekali selera orang yang merancang ini dan siapapun yang memiliki ini sangat niat sekali dan sungguh buang-buang waktu.
Dinding yang melebar itu berhenti setelah celah itu kini sudah sangat besar seperti pintu dua sisi yang terbuka lebar, didalam sana sangat terang dan bahkan cahayanya merembas keluar. Tanpa memikirkan apapun lagi Caiden melangkah masuk kedalam, menyimpan senternya kembali ke saku celana bagian belakang. Ruangan itu kosong, tak ada apapun disana selain 2 koridor yang berdampingan, koridor itu terlihat seperti jalan rahasia gelap yang menakutkan. Jalan mana yang harus Caiden pilih? Kiri? Atau kanan? Apapun itu jika dia bertemu jalan buntu dia bisa kembali lagi dan mencoba yang satunya lagi, dia punya banyak waktu untuk itu walaupun jamnya sudah menunjukan pukul 1.27 dini hari, hari panjang tanpa tidur lainnya bagi Caiden.
Pria itu memutuskan untuk memeriksa koridor sebelah kanan, orangtua dulu mengatakan kebaikan selalu ada di kanan dan keburukan ada di kiri dan dia yakin dia akan menemukan sesuatu di sebelah kanan itu. langkah ringan Caiden terdengar bergema di sepanjang koridor itu karena kesunyiannya, Caiden merasa seperti sangat sendiri di bagian dunia lain, seolah merasa seperti Alice yang merangkak di lorong sempit menuju dunia lain yaitu wonderland, lucu sekali pemikirannya, seperti anak-anak saja. Di ujung koridor itu ada tikungan ke kiri yang memaksa Caiden untuk berbelok karena itu satu-satunya jalan, sejauh ini Caiden belum menemukan apapun, itu hanya koridor aneh tanpa pintu apapun dan lampu yang sangat jarang ia temui.
Di paling ujung koridor itu, tanpa jalan lainnya terdapat akhir sebuat pintu besi dengan tulisan Lab Zero. Pintu besi itu terkunci rapat, dengan gembok dan gagang yang bahkan dirantai, beberapa balok besi lainnya ditempel menyilang di pintu besi itu, pertanda bahwa ruangan apapun itu telah lama ditutup dan tak pernah dibuka melihat karatan yang telah banyak hampir kesetiap bagian pintu, rantai, dan balok besi itu. Caiden mempertimbangkan untuk meledakkan pintu itu agar ia bisa masuk kedalam namun dia membatalkan niatnya dan berjalan kembali ke arah ia datang untuk memeriksa koridor sebelah kiri. Selama berjalan, Caiden menyadari ini bukan lagi museum itu, bahkan mungkin sejak awal ini memang sama sekali bukan museum yang pernah ia kunjungi yang dulu sempat populer karena kolam air mancurnya.
Tapi aneh sekali mengingat air mancur itu masih berada di depan sana dan GPS untuk museum itu mengarah tepat kesini, tak mungkin Caiden menyasar. Bagaimanapun ia memikirkannya, tak ada yang masuk akal, satu hal pun, bahkan dari dia melompati gerbang itu semuanya sudah tak masuk akal. Caiden kini sudah kembali ke tempat tadi, tempat dimana pertama kali ia masuk tadi. Kini Caiden berjalan memasuki koridor kiri, situasi dalam koridor itu tak jauh berbeda dengan koridor sebelumnya, bahkan ada tikungan juga disini. Jika ujungnya sama seperti sebelumnya, pintu yang disegel rapat-rapat, Caiden pasti dengan sangat amat serius akan meledakkannya. Entah hanya perasaan Caiden saja karena lorong ini begitu sama dari pertama masuk sampai sejauh ini atau memang koridor kiri lebih panjang dari yang kanan dan terasa lebih dingin. Kaos yang menempel di tubuh Caiden mulai terasa gatal dan tak nyaman.
Caiden kembali bertemu dengan tikungan, dia melongokkan kepalanya untuk mengintip belokan itu dan benar saja, diujung sana tak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah pintu dengan dua orang bertubuh besar yang menjaganya. Apa ini? apa ini orang-orang anonim? Apa dia akhirnya akan menemukan Aizha disana? Jika benar, ini sangat kebetulan sekali dan bisa dianggap Caiden sangat beruntung, namun dia tak begitu yakin akan hal itu, bisa saja orang-orang itu hanya kelompok besar pengedar narkoba atau senjata ilegal dan didalam sana hanya ada barang-barang haram itu. walaupun begitu firasat Caiden kali ini kuat. Tanpa ragu, tangannya mengeluarkan salah satu pistolnya, memasukan magazin kedalamnya lalu memasang peredam suara, ia tak ingin membuat keributan dan menarik siapapun lainnya yang mungkin saja ada dibangunan itu karena Caiden tak tahu dengan pasti struktur bangunan itu.
Dengan cepat Caiden kembali mencodongkan tubuhnya kedepan dan mulai membidik, menembak kedua orang itu bergantian dan mereka mati dengan sekejap bahkan sebelum menyadari apa yang tengah terjadi. dengan langkah sigap dan waspada Caiden berjalan mendekati orang-orang yang tak bergerak dan berlumuran darah itu. itu merupakan pintu besi yang sama seperti yang ada di ujung koridor kanan, namun yang ini tanpa rantai dan batang besi besar yang menyegelnya, hanya ada sebuah gembok biasa. Caiden berjongkok dan merogoh seluruh saku kedua orang itu hingga menemukan sebuah kunci berwarna perak.
Kunci itu cocok dengan gembok tersebut, saat mendorong pintu besi itu terbuka, suara derak engselnya menggema lebih keras dari yang Caiden harapkan memenuhi koridor sempit itu dan Caiden cukup kanget melihat isi didalamnya.