Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyembuhkan Luka di Hatimu
Senja
Mentari menatap pemandangan di luar jendela kereta dengan tatapan kosong. Kesedihan yang berusaha ia tutupi justru begitu kentara. Sesekali ia diam-diam menghapus air mata yang menetes, takut sekali ada melihatnya.
Sebesar itukah cintamu untuk Mas Bayu, Tari? Sampai hatimu terlalu sakit dan ego-mu terlalu besar untuk menunjukkan kesedihanmu.
Mengapa, Mentari? Mengapa kau berikan hatimu untuk laki-laki yang bahkan tak peduli jika hatimu tersakiti? Kenapa bukan untukku yang mencintaimu dalam diam?
Mentari tak banyak bicara. Tak juga protes kuajak tinggal di rumah kontrakan yang terletak di dalam gang, bak orang yang hidup segan mati tak mau. Hanya pasrah menjalani suratan takdirnya.
Meski ingin tidur bersama dalam satu kamar layaknya pasangan suami istri yang seharusnya, aku berikan Mentari pilihan, tidur bersamaku atau tidur di kamar sendiri. Rupanya ia memilih tidur pisah kamar denganku. Biarlah, aku hormati keputusannya. Aku akan sabar menunggu lukamu sembuh karena aku percaya suatu hari nanti kamu akan membuka hatimu untukku.
Oke.
Tak apa, Senja.
Aku pasti bisa!
Yang penting kesedihan Mentari bisa kuhapus meski hanya dengan memberikan ruang untukmu menangis seorang diri. Mungkin kamu malu mengakuinya namun matamu yang nampak bengkak setiap kali kita bertemu seakan menjawab apa yang kau lakukan di dalam kamar.
.
.
.
Beberapa hari berlalu setelah kami tinggal bersama, secara tak terduga aku dan Mentari bertemu di pertigaan jalan tak jauh dari rumah kontrakan kami. Mentari begitu terkejut melihat aku sedang meminta uang sumbangan untuk pembangunan masjid. Seperti yang sudah aku janjikan pada Allah, jika aku berhasil menikahi Mentari maka aku akan rajin mencari uang sumbangan untuk masjid.
Sepertinya Mentari salah paham. Mentari menganggap aku ini tak punya pekerjaan tetap dan menafkahinya dari uang hasil sumbangan masjid. Lucu sekali dia. Biarlah, rasanya seru membiarkan dirinya terus negatif thinking tentangku. Mungkin Mentari menganggap aku tak sanggup untuk menafkahinya karena itu dia begitu gigih mencari pekerjaan.
Kalau saja Mentari tahu apa yang kukerjakan selama ini, apa mungkin ia akan menilaiku dengan nilai yang lebih tinggi? Ah, nanti saja aku beritahu dia. Aku ingin Mentari menerimaku apa adanya diriku, bukan apa saja yang sudah aku capai. Aku ingin Mentari mencintaiku dengan tulus dan bisa menerima diriku apa adanya. Dengan begitu, aku akan mengenyahkan posisi Mas Bayu di hatinya untuk selamanya.
.
.
.
Kehidupan rumah tangga kami tak mengalami banyak kemajuan. Aku sibuk bekerja karena banyak pesanan dan hanya bertemu dengannya pulang dari bekerja. Sehabis memasak untuk Mentari, aku akan istirahat dan bangun agak sore untuk mencari sumbangan masjid.
Malam ini langit terlihat mendung, baru saja aku hendak pergi bekerja, hujan deras turun disertai kilat petir. Biasanya kalau hujan deras, tak jauh dari tempat tinggalku akan banjir. Aku sudah berjanji akan sering menolong orang lain karena itu aku harus lebih sering lagi melakukan aksi sosial menolong sesama.
Aku tak jadi pergi bekerja. Aku mengajak Mentari membantu di posko banjir. Di posko, aku melihat Mentari yang semula tak ada semangat menjalani hidup kini mulai timbul sedikit semangat dari sorot matanya yang nampak berbinar.
Saat sedang memasak di dapur darurat, aku terus memperhatikannya. Wajahnya yang nampak sebal saat aku menyuruhnya ini itu membuat Mentari terlihat lebih berekspresi, bukan hanya sekedar melamun atau menatap dengan tatapan sedih. Sebuah kemajuan.
Tak disangka, aku malah kehilangan Mentari. Aku mencarinya kemana-mana namun ternyata Mentari pulang sendiri ke rumah. Aku sangat khawatir dengan keadaannya, mengurung diri di kamar dengan rambut yang kusut. Aku takut dia nekat mengakhiri hidupnya karena patah hati.
Namun ternyata tidak, syukurlah!
Aku baru tahu kalau ternyata Mentari merasa bersalah karena aku telah memberikan jatah makananku untuknya. So sweet sekali, bukan? Aku kenal betul dengan Mentari. Ia adalah gadis yang baik. Ia menutupi kebaikan hatinya dengan bersikap menyebalkan. Kalau Mentari tidak istimewa, mana mungkin sepupuku Mas Bayu sampai jatuh hati?
Untuk pertama kalinya Mentari mulai menjadi dirinya yang kukenal. Ia membuatkanku mie instan dan menemaniku makan meski tak banyak bicara. Tak apa, aku yang akan membuatmu lebih banyak berbicara daripada mengurung diri sambil menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Perlahan ya, Mentari. Perlahan aku akan menyembuhkan lukamu.
.
.
.
Kehadiran Fajar di antara kami membuatku sedikit terganggu. Mentari menunjukkan ketertarikannya karena Fajar tampan namun aku tak melihat sorot mata penuh cinta untuk Fajar. Aku hanya melihat sosok mentari yang sedang kabur dari kenyataan dan ingin pergi sejauh mungkin untuk menyembuhkan lukanya.
Kenapa luka yang Mas Bayu berikan untuknya seakan begitu dalam sampai sulit disembuhkan? Bukankah seharusnya Mentari sudah move on? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku terus memperhatikan Mentari dan Fajar. Lama-kelamaan aku makin tak suka dengan kedekatan mereka. Melihat Mentari pulang kondangan dengan Fajar, membuatku cemburu dan marah. Menyesal aku mengijinkan mereka pergi.
Huft... mau bagaimana lagi? Aku tak mau melihat Mentari kembali bersedih. Aku tak tahan melihat tatapan matanya yang kosong itu, begitu menyayat hati. Tak apa aku sekali ini berkorban tapi lain kali aku tak akan biarkan Fajar membawa pergi Mentari. Tak akan!
.
.
.
"Bagaimana, Ja, cantik tidak Mentari mengenakan baju batik yang Ibu belikan?" Sesuai permintaanku, Ibu membelikan sebuah dress batik yang terlihat amat cantik dikenakan oleh Mentari. Dress dengan panjang di bawah lutut, terlihat sopan namun begitu anggun saat ia kenakan. Tak salah memang kalau Mentari menjadi kembang desa di kampungnya. Cantik poll!
"Loh, Ja, jawab! Kenapa malah melamun?" Ibu membuyarkan lamunanku. Ibu memaksa Mentari mengenakan dress batik yang ia belikan, sepertinya sengaja ingin menggodaku agar hubunganku dan Mentari makin dekat.
"Ya... lumayanlah. Yang pasti, dress batik ini jauh lebih bagus daripada baju batik yang dia kenakan ke kondangan waktu itu. Lebih sopan." Aku melirik Mentari yang nampak memanyunkan bibirnya dan menatapku dengan sebal.
"Kamu tuh, Ja, tak ada sisi romantisnya. Seharusnya kamu puji istrimu cantik agar hatinya senang. Pasti Mentari jadi lebih percaya diri kalau kamu puji." Ibu sengaja menasehatiku di depan Mentari.
Kulirik Mentari yang terlihat senang melihatku diceramahi oleh Ibu. "Tak usah kupuji, dia sudah terlalu percaya diri, Bu." Secara tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikiranku. "Kamu sudah rapi kan? Mau jalan-jalan ke Mall tidak?"
"Ke Mall?" Mata Mentari nampak berbinar.
"Iya, ke Mall. Selama kamu di Jakarta, aku belum pernah ngajak kamu ke Mall. Takut kamu makin norak," ledekku sambil tersenyum.
"Senja, ngomongnya jangan kayak gitu!" Ibu menegurku lagi.
"Mau!" jawab Mentari tanpa pikir panjang. "Aku mau siap-siap dulu!" Lagi-lagi aku melihat sorot matanya yang bersemangat. Mentari langsung pergi ke kamar dan tak lama keluar dengan penampilan yang lebih cantik. Ia memoles bibirnya dengan lipstik berwarna pink muda. Terligat segar dan cantik.
"Jangan lupa, bawa selendang!" perintahku.
"Untuk apa?"
"Untuk menutupi pahamu. Memang kamu mau ada yang jelalatan lihat pahamu saat aku bonceng naik motor?"
Wajah Mentari nampak sedikit kecewa mendengar aku akan mengajaknya ke Mall naik motor bututku.
"Senja, pergi pakai mobil saja! Kasihan Mentari sudah pakai dress cantik begini kok disuruh ditutupi pakai selendang?" Ibu lagi-lagi merusak rencanaku. Padahal aku sengaja ingin mengajak Mentari jalan-jalan naik motor. Aku ingin dia terbiasa dengan kehidupan yang sederhana. Aku ingin ia benar-benar lepas dari perlakuan manja yang selama ini biasa ia terima Bapaknya.
"Naik mobil saja ya, Ja?" Mentari menatapku dengan tatapan memohon.
Oke, kali ini aku mengalah. Aku juga tak tega membiarkannya yang sudah terlihat cantik tapi harus naik motor milikku yang agak butut itu. "Iya... iya naik mobil tapi jangan mabok ya di jalan!"
"Ish, memang aku anak kecil?"
Setelah berpamitan pada kedua orang tuaku, kami lalu pergi ke sebuah Mall. Lagi-lagi aku melihat mata yang bersinar dan penuh semangat. Perlahan, aku akan mengembalikan semua kebahagiaan dalam hidupmu Mentari, aku janji.
Mentari terlihat asyik melihat-lihat isi Mall. Langkahnya terhenti ketika dengan sengaja kugenggam tangannya. Mentari menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Kenapa? Aneh ya kalau aku genggam tangan kamu? Lebih dari menggenggam tanganmu pun aku halal, bukan?"
****
nazar ternyata,yg bikin tari salah faham 🤣
astagfirullah, gendheng
pantes tari ilfeel
perasaanmu kayak mimpi padahal tari yg ada di mimpimu itu nyata..
awas habis ini di tabok tari , nyosor wae🤣🤣🤣
kalau ngigo mah kasihan bangat tapi kalauccari kesempatan lanjutkan Ja. jang cium.doank sekalian di inboxing deh...