Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Suara notifikasi memenuhi kamar yang hening, satu per satu notifikasi itu memenuhi layar laptop Mia. Komentar demi komentar dari para penggemarnya mengalir cepat setelah unggahannya tentang perilisan lagu terbarunya.
'Lee MM akhirnya merilis lagu baru! Aku sangat tidak sabar.'
'Lee MM, aku sangat senang! Akhirnya aku bisa mendengarkan lagu barumu lagi.'
'Aku sangat menantikannya. Aku semakin menyukaimu setiap kali mendengar musikmu.'
Mia duduk bersila di atas ranjang, dengan laptop terbuka di pangkuannya. Cahaya dari layar laptopnya itu menyinari wajahnya, serta memperlihatkan ekspresi tenang yang dipenuhi oleh emosi. Matanya terpaku pada salah satu nama yang muncul di kolom komentar, nama itu sudah tidak asing lagi baginya.
Ia berbisik dengan pelan. "Dia... masih ada di sini."
Tatapan matanya melembut. Komentar itu berasal dari salah satu penggemar setianya, seseorang yang telah mengikuti perjalanannya sejak dua tahun yang lalu, serta sejak langkah pertamanya dalam dunia musik.
Senyuman tipis menghiasi bibirnya. "Terima kasih karena tetap bersamaku..."
Kemudian Mia mengetik balasan yang sederhana dan tulus, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah meja di sisi tempat tidurnya. Di sana, terdapat kalender kecil yang bertuliskan bulan September.
Matanya menangkap tanggal yang telah dia dilingkari.
"...Tanggal 3 Oktober."
Lalu kemudian tangannya merefleks menepuk dahinya sendiri, dan napasnya sedikit memburu saat kesadaran telah menghampirinya.
"Itu ulang tahun Kak Christopher..."
Ia segera bangkit, dan berjalan ke meja belajar yang ada di sudut kamarnya. Di sana, sebuah buku catatan musik terbuka dengan lebar, penuh dengan goresan tangannya, seperti garis nada, lirik yang masih mentah, dan notasi piano yang belum sempurna.
Mia membolak-balikkan halaman itu, lalu mengangguk kecil.
"Aku harus segera menyelesaikannya besok. Studio Daniel masih kosong, kan?"
Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan mencatat jadwal rekaman untuk esok hari, dan memastikan tidak ada yang terlewat sedikitpun. Senyuman kecil kembali terbit di wajahnya, kali ini mengandung makna yang lebih dalam.
"Lagu ini akan menjadi hadiah ulang tahun untukmu, Kak."
Ia kembali duduk dan membuka file musiknya. Denting lembut piano mulai mengalun dari laptopnya, menyelimuti seisi kamar dalam kehangatan yang sentimental. Melodi itu seakan membawa kenangan-kenangan lama yang kembali mengalir, tentang seseorang yang pernah begitu berarti untuknya.
Dengan mata terpejam, Mia membiarkan hatinya berbicara. "Untuk semua kenangan yang pernah kau berikan padaku... Aku akan tuangkan semuanya ke dalam lagu ini."
Tangannya kembali menari di atas keyboard MIDI, dan menciptakan harmoni demi harmoni.
-🐣-
Matahari pagi bersinar lembut ketika Mia memarkirkan mobilnya di depan bangunan studio yang sepi. Ia menatap ke luar kaca mobil sejenak, memandangi papan nama studio yang sudah tidak asing lagi baginya.
Dengan satu tarikan napas panjang ia hembuskan, dapat menenangkan debaran di dadanya.
"Hari ini harus kuselesaikan secepatnya... Aku ingin lagu ini jadi sempurna."
Langkahnya mantap saat ia melangkah masuk ke dalam studio. Hari ini bukan hanya tentang menyelesaikan sebuah lagu, tetapi tentang menyampaikan sesuatu yang tidak sempat ia ucapkan secara langsung.
Sesuatu yang tersimpan di dalam nada dan setiap ketukan irama.
***
Christopher baru saja keluar dari ruang rapat. Jas hitamnya masih tampak rapi, meski dasinya telah sedikit dilonggarkan, hari ini cukup melelahkan baginya.
Ia membuka pintu mobil, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi belakang kemudi. Dengan satu gerakan pelan, ia mengambil sebungkus rokok dari saku jasnya, kemudian menyalakan sebatang, dan menyandarkan tubuh pada jok mobil.
Asap tipis mengepul di dalam kabin mobil, menyelubungi wajah pria itu yang kini terlihat dingin dan penuh pikir.
"Hm... Jadi, dia benar-benar pergi ke toko piano kemarin?" gumamnya, setengah bertanya pada dirinya sendiri.
Pandangan matanya mengarah ke jalanan di luar jendela. Di seberang jalan, tepat di depan sebuah studio musik, ada sebuah mobil hitam yang menarik perhatiannya. Christopher mengerutkan kening.
"Itu... Bukankah itu mobil Mia?"
Dan detik berikutnya, pintu studio terbuka. Mia keluar dari dalam bangunan itu, mengenakan sweater lembut dan celana jins yang sederhana. Wajahnya tampak tenang, bahkan nyaris bersinar. Tapi yang membuat dada Christopher mengencang bukanlah kehadiran Mia, melainkan sosok pria yang berjalan di belakangnya. Pria itu tertawa kecil dan membuka pintu mobil untuknya.
"...Daniel." Nama itu lolos dari bibirnya dengan nada datar namun sarat emosi.
Jantung Christopher mulai berdetak lebih cepat, tetapi bukan karena kegembiraan. Tangannya mengepal di atas setir. Rahangnya mengeras, membentuk garis tegas yang menandakan bahwa kemarahan yang telah ia tahan.
"Kurang ajar. Lagi-lagi dia."
Dengan gerakan marah, Christopher melempar rokok yang belum habis keluar dari jendela. Kemudian dia menyalakan mesin mobil tanpa suara dan menatap pemandangan di depannya dengan tatapan dingin.
"Jangan berpikir aku akan diam saja setelah melihat ini, Mia." ucapnya pelan dengan nada yang menusuk tajam.
Mia baru saja keluar dari studio dengan langkah ringan. Meski ia merasa lelah, ada kepuasan yang terpancar di wajahnya setelah menghabiskan waktu menyempurnakan aransemen lagu yang tengah ia siapkan. Ia berjalan menuju mobilnya, namun belum sempat membuka pintu itu, tiba-tiba tangan seseorang menahan pegangan pintu dari belakang.
"Kenapa kau pulang lebih awal?" tanya Daniel dengan nada yang terasa akrab.
Mia sedikit terkejut, namun segera berbalik dan tersenyum tipis.
"Aku... Aku harus mengedit beberapa bagian lagunya. Masih ada yang belum pas."
Daniel memandangnya lekat-lekat, "Hanya sebentar saja? Bisakah kau tinggal lebih lama bersamaku?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih berharap.
Mia terdiam sesaat. Ada keraguan singkat di matanya, tetapi kemudian ia mengangguk pelan sambil tersenyum lembut. "Aku janji... lain kali, oke?"
Daniel menarik napas dalam, lalu mengangguk dengan pasrah. "Baiklah. Tapi setelah lagu itu selesai, biarkan aku menjadi orang pertama yang mendengarnya, ya?"
Mia menatapnya dengan senyum yang lebih tulus. "Tentu saja."
Dan saat itu, mereka tidak tahu bahwa di seberang jalan, seseorang tengah mengamati mereka dengan amarah yang nyaris membuncah.
Seseorang yang selama ini mereka kira telah membiarkan semuanya berlalu.
***
Mia yang tampak serius di hadapan layar laptopnya. Jari-jarinya menari di atas touchpad, menyunting bagian demi bagian dari aransemen lagu yang tengah ia garap saat ini. Namun, semakin ia mendengarkannya, semakin dalam kerutan di dahinya.
"Kedengarannya tidak pas..." gumamnya pelan. "Bagian ini masih terdengar hampa."
Ia mencoba mengubah beberapa not, memindahkan satu bar ke bar lainnya, namun hasilnya tetap tidak memuaskan. Nafas panjang keluar dari bibirnya yang mulai kering karena terlalu lama menahan ekspresi.
Kemudian kepalanya berpaling ke sudut ruangan. Di sana, terlihat berdiri sebuah piano putih tua, terdiam di bawah selimut debu tipis. Piano itu tampak seperti potongan waktu yang tertinggal, sangat sunyi, namun menyimpan begitu banyak kenangannya.
Dengan perlahan, Mia bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati piano itu, mata sendunya menatap benda tersebut dengan emosi yang sulit dijelaskan.
"Ibu..." ucapnya lirih dalam hati. "Ini piano yang paling Ibu sukai, bukan?"
Tangannya terulur, menyentuh permukaan kayu yang dingin dan berdebu, gerakannya penuh dengan kehati-hatian.
Ia menarik napas, namun keraguan menahan langkahnya berikutnya. "Kak Chris bilang aku tidak boleh bermain piano lagi..." bisiknya dengan lirih.
Bayangan wajah marah Christopher melintas di dalam benaknya, wajah yang pernah menatapnya dengan amarah yang menusuk, saat dia bermain piano beberapa tahun yang lalu. Tangannya yang sudah menggantung di atas tuts kini ragu untuk bergerak lebih jauh.
Namun kemudian, ia menutup matanya dan berbisik, "Tapi... hanya sekali saja. Seharusnya tidak apa-apa, kan?"
Dengan perlahan, ia duduk di bangku piano. Jemarinya menyentuh satu tuts, menghasilkan nada lembut yang mengalun di dalam ruangan.
Nada demi nada mengalir dengan lembut, membentuk melodi yang sendu. Air matanya hampir tumpah, tetapi ia terus memainkan lagu yang hanya bisa lahir dari luka yang ia simpan diam-diam.
Sementara itu, dilantai bawah. Pintu depan terbuka dengan kasar. Christopher melangkah masuk, jas masih melekat di tubuhnya, tetapi dasi terlepas sebagian. Wajahnya menggelap, pandangannya kosong seperti seseorang yang membawa badai dari luar ke dalam rumah.
Ia melempar kunci mobil ke atas meja, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, hanya sebuah helaan napas panjang yang berat dan sarat emosi.
Kedua matanya terpejam. Namun kemudian, telinganya menangkap sesuatu.
Suara piano.
Lembut. Dalam. Dan menyayat hati.
Christopher membuka matanya perlahan, lalu memejamkannya lagi, seolah mencoba memastikan ia tidak berhalusinasi. Tetapi suara itu terus mengalun dengan lembut.
Di samping sofa, seorang pria paruh baya berdiri dengan canggung. Paman Jack, sang kepala pelayan yang telah bekerja untuk keluarga mereka selama bertahun-tahun, tampak gelisah.
"Tuan..." panggilnya pelan dengan ragu.
Christopher tak menjawab. Ia hanya duduk diam, kedua tangannya mengepal erat di atas pangkuannya. Mata itu kini terbuka, menatap kosong ke arah tangga yang mengarah ke kamar Mia.
Paman Jack melirik ke arah tangga, lalu kembali pada pria muda yang kini membeku di hadapannya.
'Aku tahu Tuan Chris tidak menyukai Nona Mia bermain piano lagi. Tapi... jika mereka bertengkar malam ini, aku tidak tahu harus berbuat apa.' batinnya gemetar.
Di atas sana, melodi terus mengalun. Dan di bawahnya, badai tengah bersiap untuk meledak.
Beberapa saat kemudian, nada terakhir mengalun dari piano, menggema lirih di sudut-sudut kamar yang tenang. Mia masih duduk diam, jemarinya bertengger lembut di atas tuts terakhir seolah enggan berpisah dari nada yang baru saja ia bangkitkan.
Kepalanya menunduk, hela napasnya berembus panjang.
"Ibu..." bisiknya lirih. "Aku masih ingat lagu ini. Maaf aku baru memainkannya lagi sekarang."
Matanya terpejam, kenangan mengalir tanpa henti. Namun, ia tidak menyadari bahwa pintu kamar telah terbuka secara perlahan.
Tiba-tiba, suara berat menyela keheningan.
Nada yang begitu dingin, datar.
"Tidak buruk."
Mia membeku di tempatnya. Tubuhnya menegang, dan dengan perlahan ia menoleh ke belakang. Begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu, wajahnya seketika memucat.
"Oh... kau sudah pulang," ucapnya dengan senyum ragu, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai melanda dirinya.
Namun senyuman itu tidak mengubah apa pun.
Christopher berdiri diam, dan menatapnya dengan tatapan yang dingin, menusuk, seakan ingin mengupas lapisan hati Mia satu per satu.
"Menunjukkan ekspresi menjijikkan ini lagi, hm?" ejeknya dengan nada sinis.
Mia terdiam. Senyum di wajahnya perlahan memudar.
"Kau memang sangat pandai berpura-pura di depanku," lanjut Christopher, langkahnya mulai mendekat. "Lalu bersikap manis dan menggoda kekasihmu di belakangku."
Kata-kata itu seperti cambuk bagi Mia. Ia perlahan bangkit dari bangku piano, tubuhnya bergetar. Wajahnya tampak bingung, dan dipenuhi oleh rasa ketakutan yang ia coba meredamnya.
"Kekasih...?" tanyanya, suaranya pelan dan tercekat. "Aku tidak mengerti apa maksudmu, Chris."
Christopher tertawa pendek dan tatapannya menusuk seperti belati yang ingin mengoyak. "Kau yang paling tahu ke mana saja kau pergi hari ini," ucapnya tajam.
Ia menahan emosi, tetapi wajahnya tak mampu menyembunyikan amarah dan kekecewaannya pada Mia.
"Lee Mia..." katanya dengan nada menghina. "Kau sungguh luar biasa. Kau sengaja menggunakan tubuhmu untuk menggoda Daniel, bukan?"
Suasana jadi membeku. Jantung Mia serasa diremas.
"Sayangnya... Daniel itu idiot. Karena dia bisa jatuh cinta pada phelachur sepertimu!" Christopher menggeram, matanya menyala.
Mata Mia membelalak. Kedua tangannya menutup mulutnya yang gemetar, seolah mencoba menahan kenyataan pahit dari mulut orang yang paling ia percayai. Air mata mulai menggenang, jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan lagi.
Namun meski suaranya pecah, ia mencoba bersuara.
"Aku..." ujarnya dengan napas tersendat. "Aku tidak pernah menggunakan tubuhku untuk menggoda siapa pun!"
Matanya menatap Christopher dengan luka yang dalam.
"Aku hanya... hanya ingin bermain piano hari ini. Itu saja, Chris. Itu saja..."
Christopher membalas tatapannya, namun kali ini, bukan hanya kemarahan yang terlihat. Di balik mata tajam itu terdapat luka. Luka yang menuntut jawaban, yang menolak untuk percaya kebenarannya.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah