NovelToon NovelToon
LINTASAN KEDUA

LINTASAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / SPYxFAMILY / Identitas Tersembunyi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:51.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Warning!
Bagi yang berjantung lemah, tidak disarankan membaca buku penuh aksi laga dan baku tembak ini.

Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yg pernah ditakuti di dunia terang & gelap. Lelaki yg menghilang membawa rahasia besar—formula dan bukti kejahatan yg diinginkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yg bisa membuka aksesnya.

Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yg ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.

Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu kelam mulai menyeret mereka ke dlm lintasan berbahaya yg sama?

Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yg diuji.

Bersiaplah menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta & bahaya berjalan beriringan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Ujian

Jauh di dalam lorong bawah tanah...

Motor tua itu kini dituntun perlahan, ban depannya menggelinding menyusuri batu-batu besar yang membentuk jalanan spiral menuju kedalaman tanah. Aylin mematikan proyektor peta; denyut merah terakhir menunjukkan bahwa mereka sudah sangat dekat. Tapi hawa di sekitarnya berubah drastis—dingin menusuk, udara terasa lebih berat, seolah lorong itu menguji mereka sejak langkah pertama.

Dinding-dinding lorong dihiasi relief—ukiran manusia bersayap, simbol-simbol astronomi, dan fragmen tulisan dalam aksara Bizantium yang nyaris terhapus oleh waktu.

Akay berbisik, “Ini bukan cuma lorong. Ini... kuil.”

Aylin mengangguk pelan. “Atau... labirin ujian.”

Tiba-tiba, dinding batu di depan mereka bergeser, suara gesekannya menggema seperti erangan zaman. Sebuah lorong baru terbuka ke samping. Dari dalamnya, angin tipis berhembus, membawa aroma kemenyan... dan darah lama.

Tanpa peringatan, cahaya dari headlamp motor meredup sendiri. Kemudian menyala kembali—kali ini dengan warna biru tua yang berdenyut seperti napas makhluk hidup. Proyektor kembali aktif, namun kini bukan peta yang ditampilkan. Yang tampak adalah simbol kuno yang perlahan berubah menjadi kata-kata:

“Pewaris sejati hanya bisa lewat dengan jiwa bersih.”

Langkah Aylin dan Akay terhenti. Lantai di hadapan mulai bergetar. Ubin-ubin batu naik turun membentuk pola acak seperti puzzle hidup. Di dinding, tiga patung batu berdiri berjajar. Masing-masing memegang benda berbeda: sebuah kunci, sebilah pedang, dan sebuah timbangan.

Lalu suara itu datang—dalam, menggema, seolah lorong itu sendiri berbicara:

“Hanya satu yang benar. Pilih salah, maka warisan berakhir. Pilih benar, maka jalan akan terbuka.”

Aylin mengernyit. “Ini ujian. Dan hanya bisa dijawab oleh pewaris sejati.”

Ia menatap tiga patung batu itu bergantian.

"Yang mana yang harus dipilih, Ay?" tanya Akay nyaris seperti gumaman.

Aylin masih terdiam mengamati tiga patung itu.

Dan di saat genting itu, ingatan masa kecilnya muncul, sejelas bisikan angin.

Pekarangan Rumah, Indonesia. Belasan Tahun Lalu

Langit sore menguning perlahan. Aylin kecil duduk bersila di pangkuan Wardhana, di bawah pohon mangga yang teduh. Di tangan lelaki tua itu, terbuka sebuah buku bersampul coklat lusuh bertuliskan: Laku Pancawisaya.

Wardhana membacanya pelan, seolah mengulang untuk dirinya sendiri.

“Kepemimpinan tanpa pamrih. Keberanian menolak kuasa. Kesetiaan pada kebenaran...”

Aylin menatap tulisan-tulisan Jawa Kuno yang tak ia mengerti. “Itu... tentang apa, Kek?”

Wardhana menoleh dan tersenyum lembut. “Tentang jalan hidup. Jalan yang tidak banyak orang pilih karena terlalu sunyi... dan terlalu berat.”

Aylin kecil menggigit bibir bawahnya. “Apa aku harus lewat jalan itu juga?”

Wardhana meletakkan bukunya perlahan, menatap mata jernih cucunya penuh kebijaksanaan. “Yang kamu warisi bukan kekuatan, tapi nilai. Dan yang kamu jaga bukan rahasia... tapi keseimbangan.”

Ia mengambil ranting kecil, menggambar garis lurus yang goyah di tanah.

“Seperti jalan ini. Rapuh, sempit. Tapi jika kau tahu nilai yang kau bawa, maka setiap langkah akan mantap.”

Aylin belum mengerti sepenuhnya, tapi ia tahu, kata-kata itu akan tinggal lama di dadanya.

Wardhana menatap langit jingga. “Suatu saat, semua ini akan kamu pahami. Saat dunia mulai retak, kamulah yang harus menjaga porosnya tetap utuh.”

Wardhana tersenyum samar, menunjuk sebuah halaman. “Ingat, Aylin... kekuatan sejati bukan tentang pedang, kunci, atau timbangan. Tapi tentang keseimbangan jiwa.”

Suara lembut itu menghilang bersama angin sore—membawa Aylin kembali ke lorong batu bergetar di hadapannya.

Jantung Aylin bergemuruh mengingat kilasan itu. Kata-kata kakeknya kini terasa seperti petunjuk nyata.

Dengan napas yang nyaris tak terdengar, Aylin membisikkan, “Timbangan.”

Akay meliriknya penuh ragu. “Kalau ini jebakan, dan kita salah...”

“Ini bukan jebakan. Ini murni ujian,” Aylin berkata, suaranya tenang tapi tegas. Ia maju, langkahnya seirama dengan degup jantungnya sendiri. Di hadapannya, tiga simbol berdiri seolah menantang.

"Kunci berarti kekuasaan-- mengakses, mengendalikan sesuatu.

Pedang berarti kekuatan-- alat menyerang atau melindungi..."

Aylin berhenti di depan patung yang memegang timbangan. Napasnya terasa berat, namun keyakinannya tak tergoyahkan.

“Aku memilih ini." Aylin mengangkat kepala, menatap timbangan itu lurus-lurus. “Timbangan. Ini melambangkan keadilan--menilai dengan seimbang, tidak berat sebelah. Kakekku mengajarkan bahwa apa pun yang diwariskan... harus dijaga dengan keadilan.”

Keheningan menyelimuti lorong. Lalu, cahaya menyemburat dari dasar patung. Timbangan batu itu perlahan berubah menjadi timbangan emas yang bersinar. Ubin-ubin di lantai berhenti bergolak, membentuk jalan lurus menuju ruang di ujung lorong.

Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih pelan, seperti doa kuno yang bangkit dari tanah:

“Yang menjaga keseimbangan... layak melangkah.”

Akay menatap Aylin dengan kagum. “Mengesankan... Kau berhasil.”

Aylin menarik napas panjang. “Baru langkah pertama.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Lorong itu kini mulai berpendar cahaya samar dari dinding—batu-batu bercahaya dengan ukiran yang sama seperti di buku tua Aylin. Di kejauhan, suara doa para biarawan mulai terdengar pelan, dan cahaya dari ruang utama perlahan memanggil mereka.

Langkah mereka menggema menyusuri lorong batu, hingga akhirnya sebuah gerbang logam berukir muncul di hadapan mereka. Tak ada kunci, tak ada pegangan, hanya sebuah mata terukir di tengahnya—mata satu yang menatap tajam, seolah melihat sampai dasar jiwa.

Aylin dan Akay saling pandang.

“Ini... terasa seperti penghakiman,” bisik Akay.

Begitu Aylin menyentuh gerbang itu, ukiran mata menyala perlahan, dan gerbang membuka dengan sendirinya. Ruang di baliknya sangat berbeda: dinding kaca hitam setinggi langit-langit memantulkan bayangan mereka berkali-kali, menciptakan ilusi ribuan Aylin dan Akay yang berdiri bersama di sana.

Di tengah ruangan, sebuah cermin besar berdiri tegak, disangga oleh dua patung wanita yang wajahnya tertutup kerudung.

Begitu Aylin dan Akay melangkah masuk, pintu di belakang mereka tertutup rapat. Lalu suara itu kembali—kali ini lebih lembut, tapi menghujam:

“Yang mewarisi, harus mengenal dirinya. Tanpa pengakuan, warisan hanya akan menjadi kutukan.”

Cermin itu memancarkan cahaya. Kabut muncul, lalu bayangan perlahan terbentuk.

Tapi yang Aylin lihat bukan dirinya.

Melainkan seorang gadis kecil—versi kecil dirinya—duduk sendiri di sebuah kamar gelap, memeluk boneka rusak dan menahan tangis. Di sekelilingnya, suara-suara terdengar: pertengkaran orang dewasa, suara ayahnya mengancam pergi, dan ibunya yang hanya diam.

Aylin terdiam, tubuhnya gemetar. “Ini... kenangan.”

Akay menatap cermin miliknya sendiri. Tapi ia hanya melihat bayangan gelap, tak berbentuk.

“Kenapa aku nggak bisa lihat?” gumamnya.

Lalu, cermin milik Aylin mulai menampilkan sesuatu yang baru—

dirinya sendiri, di usia remaja, berdiri di depan foto Wardhana.

Mata Aylin muda memancarkan amarah.

"Manusia otoriter! Kau hanya ingin menjadikanku mesin pembunuh, berlindung di balik dalih 'bertahan hidup'!"

Aylin dewasa menggigit bibirnya.

Rasa malu menjalari wajahnya, mencubit dadanya dengan getir.

Tapi cermin belum selesai.

Kini tampak perjalanan panjang-- Aylin yang menyadari semua pelatihan keras itu bukan untuk memaksanya menjadi senjata, melainkan untuk bertahan, melindungi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tampak dirinya belajar kembali, mengasah kemampuan, dan menyusup masuk demi menyelamatkan satu-satunya hal yang kini ia yakini: nilai.

Cermin bersinar lebih terang, cahaya biru membungkus sosoknya.

Suara dalam itu akhirnya bergema:

"Kau telah melihat dirimu sendiri. Kau menerima luka, dan tak menyangkal aib. Itulah kekuatan sejati. Maka kau boleh melanjutkan."

Namun Akay masih berdiri membeku. Wajahnya pucat. “Aku nggak bisa... aku nggak siap lihat apa yang ada di cermin ini.”

Aylin mendekatinya, meletakkan tangan di bahunya. “Mungkin kamu nggak harus siap. Kamu cuma harus jujur.”

Cermin di depan Akay perlahan memunculkan kabut, lalu mengkristal jadi gambar:

Seorang anak laki-laki—versi kecil Akay—duduk di bangku sekolah dengan wajah kesal. Suara ayahnya terdengar seperti gema:

“Setelah makan siang langsung ke les bela diri. Lalu lanjut les matematika. Jangan macam-macam.”

Tapi Akay kecil diam-diam kabur. Ia hanya ingin bermain sebentar, merasakan kebebasan. Namun hari itu justru menjadi mimpi buruk: ia nyaris diculik di pinggir jalan oleh orang asing. Untungnya, nalurinya bergerak cepat—jurus-jurus bela diri yang diajarkan sang ayah menyelamatkannya. Ia berhasil lepas. Tapi saat berlari menyeberang jalan tanpa melihat, sebuah mobil menghantamnya.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
syisya
dibikin film si thor ah, seru banget iniiiih 😅😅
Anonim
ya Tereza bersama pasukan kalian di tolak karena kalian punya maksud tidak baik secara otomatis dianggap sebagai ancaman maka rasakan kalian nekat masuk bakal dibantai habis.
Pasukan Balthazar dipimpin pria bertato tribal melenggang santai merasa jalannya telah dibersihkan pasukan Black Nova, menuju lorong yang telah menanti kematian mereka pastinya.
Kazehaya dan tim lolos niatnya baik bahkan melindungi keturunan siempunya formula - Aylin, dan sistem mengenali Kazehaya, Emely, dan Aylin, yang lainnya numpang /Facepalm/ tidak boleh menjauh dari mereka bertiga. Kalau jarak lebih dari tiga meter sistem akan bereaksi mereka dianggap musuh. Selanjutnya bacanya sambil ketawa tanpa suara takutnya tetangga mendengar jadi s e r e m malam-malam /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Siti Jumiati
lanjut kak tambah seru aja,gk setegang kemarin asyik dech... padahal dah panjang ceritanya tapi berasa Pedek
Puji Hastuti
Semakin menarik
Lilik Aulia
wkwkwk,,, di saat tegang ada aja ide bikin ngakakk
phity
owww iy thor benar orng yg bisa msuk tnpa dikenali sistem adlah penyusup jd terjawab sdh pertanyaan sy di bab sebelumnya, klo pintu bisa terbuka itu untuk para penyusup yg menyerahkan diri mrka sndiri...good. ditunggu lgi up nya bsok
Nana Colen
lanjut lagi thooooor😍😍😍😍😍
Hanima
lanjut kk
Puji Hastuti
Team aylin, hancurkan semua nya
Anonim
benar-benar hanya pewaris yang memiliki darah kakek Wardana yang bisa melalui tahapan demi tahapan dalam menemukan formula penyeimbang kedamaian dunia, Aylin orangnya.
Jangan sampai orang lain yang menemukannya agar tidak disalah gunakan menurut kemauan.
Kakek Wardana benar-benar menjaga warisan formula dengan rapi , rahasia, dan hanya keturunan sedarah dengannya yang bisa menemukan sekaligus menjaga jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang yang bertujuan merusak tatanan kehidupan.
Dengan komando dari Kazehaya semua masing-masing melaksanakan apa yang mesti mereka kerjakan - s e r e m p a k penuh tanggung jawab.
Siti Jumiati
aduh bikin jantung dag-dig-dug deh, gimana ini kenapa musuh bisa masuk bukannya yang bisa masuk hanya orang tertentu, semoga Aylin dan timnya bisa selamat.
Hanima
lanjut kk
phity
aduuu kok pasukan black nova bsa masuk si bukan ka pintu2 hrusnya hx orng dlm atw yg permah msuk laboratorium itu yg tau...kok bsa terbuka si pintunya
Fadillah Ahmad
Yang Ini Juga Kak Nana, kalimatnya juga berulang kak. 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad: Sama-sama kak... Baik kak Nana, mohon Segwra di Revisi Ya Kak Nana... 🙏🙏🙏
🌠Naπa Kiarra🍁: Makasih, Kak. Otw aku revisi.
Maaf, ngantuk.😂🙏🙏
total 2 replies
Fadillah Ahmad
Kak Nana, Kok Kalimatnya Berulang kak? Apa memang Seperti itu kak?
abimasta
hannya darah wardhana yang bisa membuka pintunya
Siti Jumiati
selalu q tunggu episode selanjutnya ya ka
Anonim
dipandu oleh Kazehaya dan Emeli mereka semakin masuk ketujuan.
Tim tidak boleh sembarangan menyentuh dinding bisa berakibat fatal.
Pasukan Black Nova dengan Tereza dan pasukan Balthazar dengan pria bertato tribal sudah menuju jalur yang Aylin dan Tim lalui. Semoga ada mahkluk yang bangkit lagi untuk mengacaukan dua musuh tersebut biar kocar kacir /Facepalm/
Semoga segera ditemukan formula tersebut secara yang berhak sudah ditempat yaitu Aylin.
Puji Hastuti
Tetap solid team nya aylin, go go go
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya,???
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!