Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ujian
Jauh di dalam lorong bawah tanah...
Motor tua itu kini dituntun perlahan, ban depannya menggelinding menyusuri batu-batu besar yang membentuk jalanan spiral menuju kedalaman tanah. Aylin mematikan proyektor peta; denyut merah terakhir menunjukkan bahwa mereka sudah sangat dekat. Tapi hawa di sekitarnya berubah drastis—dingin menusuk, udara terasa lebih berat, seolah lorong itu menguji mereka sejak langkah pertama.
Dinding-dinding lorong dihiasi relief—ukiran manusia bersayap, simbol-simbol astronomi, dan fragmen tulisan dalam aksara Bizantium yang nyaris terhapus oleh waktu.
Akay berbisik, “Ini bukan cuma lorong. Ini... kuil.”
Aylin mengangguk pelan. “Atau... labirin ujian.”
Tiba-tiba, dinding batu di depan mereka bergeser, suara gesekannya menggema seperti erangan zaman. Sebuah lorong baru terbuka ke samping. Dari dalamnya, angin tipis berhembus, membawa aroma kemenyan... dan darah lama.
Tanpa peringatan, cahaya dari headlamp motor meredup sendiri. Kemudian menyala kembali—kali ini dengan warna biru tua yang berdenyut seperti napas makhluk hidup. Proyektor kembali aktif, namun kini bukan peta yang ditampilkan. Yang tampak adalah simbol kuno yang perlahan berubah menjadi kata-kata:
“Pewaris sejati hanya bisa lewat dengan jiwa bersih.”
Langkah Aylin dan Akay terhenti. Lantai di hadapan mulai bergetar. Ubin-ubin batu naik turun membentuk pola acak seperti puzzle hidup. Di dinding, tiga patung batu berdiri berjajar. Masing-masing memegang benda berbeda: sebuah kunci, sebilah pedang, dan sebuah timbangan.
Lalu suara itu datang—dalam, menggema, seolah lorong itu sendiri berbicara:
“Hanya satu yang benar. Pilih salah, maka warisan berakhir. Pilih benar, maka jalan akan terbuka.”
Aylin mengernyit. “Ini ujian. Dan hanya bisa dijawab oleh pewaris sejati.”
Ia menatap tiga patung batu itu bergantian.
"Yang mana yang harus dipilih, Ay?" tanya Akay nyaris seperti gumaman.
Aylin masih terdiam mengamati tiga patung itu.
Dan di saat genting itu, ingatan masa kecilnya muncul, sejelas bisikan angin.
Pekarangan Rumah, Indonesia. Belasan Tahun Lalu
Langit sore menguning perlahan. Aylin kecil duduk bersila di pangkuan Wardhana, di bawah pohon mangga yang teduh. Di tangan lelaki tua itu, terbuka sebuah buku bersampul coklat lusuh bertuliskan: Laku Pancawisaya.
Wardhana membacanya pelan, seolah mengulang untuk dirinya sendiri.
“Kepemimpinan tanpa pamrih. Keberanian menolak kuasa. Kesetiaan pada kebenaran...”
Aylin menatap tulisan-tulisan Jawa Kuno yang tak ia mengerti. “Itu... tentang apa, Kek?”
Wardhana menoleh dan tersenyum lembut. “Tentang jalan hidup. Jalan yang tidak banyak orang pilih karena terlalu sunyi... dan terlalu berat.”
Aylin kecil menggigit bibir bawahnya. “Apa aku harus lewat jalan itu juga?”
Wardhana meletakkan bukunya perlahan, menatap mata jernih cucunya penuh kebijaksanaan. “Yang kamu warisi bukan kekuatan, tapi nilai. Dan yang kamu jaga bukan rahasia... tapi keseimbangan.”
Ia mengambil ranting kecil, menggambar garis lurus yang goyah di tanah.
“Seperti jalan ini. Rapuh, sempit. Tapi jika kau tahu nilai yang kau bawa, maka setiap langkah akan mantap.”
Aylin belum mengerti sepenuhnya, tapi ia tahu, kata-kata itu akan tinggal lama di dadanya.
Wardhana menatap langit jingga. “Suatu saat, semua ini akan kamu pahami. Saat dunia mulai retak, kamulah yang harus menjaga porosnya tetap utuh.”
Wardhana tersenyum samar, menunjuk sebuah halaman. “Ingat, Aylin... kekuatan sejati bukan tentang pedang, kunci, atau timbangan. Tapi tentang keseimbangan jiwa.”
Suara lembut itu menghilang bersama angin sore—membawa Aylin kembali ke lorong batu bergetar di hadapannya.
Jantung Aylin bergemuruh mengingat kilasan itu. Kata-kata kakeknya kini terasa seperti petunjuk nyata.
Dengan napas yang nyaris tak terdengar, Aylin membisikkan, “Timbangan.”
Akay meliriknya penuh ragu. “Kalau ini jebakan, dan kita salah...”
“Ini bukan jebakan. Ini murni ujian,” Aylin berkata, suaranya tenang tapi tegas. Ia maju, langkahnya seirama dengan degup jantungnya sendiri. Di hadapannya, tiga simbol berdiri seolah menantang.
"Kunci berarti kekuasaan-- mengakses, mengendalikan sesuatu.
Pedang berarti kekuatan-- alat menyerang atau melindungi..."
Aylin berhenti di depan patung yang memegang timbangan. Napasnya terasa berat, namun keyakinannya tak tergoyahkan.
“Aku memilih ini." Aylin mengangkat kepala, menatap timbangan itu lurus-lurus. “Timbangan. Ini melambangkan keadilan--menilai dengan seimbang, tidak berat sebelah. Kakekku mengajarkan bahwa apa pun yang diwariskan... harus dijaga dengan keadilan.”
Keheningan menyelimuti lorong. Lalu, cahaya menyemburat dari dasar patung. Timbangan batu itu perlahan berubah menjadi timbangan emas yang bersinar. Ubin-ubin di lantai berhenti bergolak, membentuk jalan lurus menuju ruang di ujung lorong.
Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih pelan, seperti doa kuno yang bangkit dari tanah:
“Yang menjaga keseimbangan... layak melangkah.”
Akay menatap Aylin dengan kagum. “Mengesankan... Kau berhasil.”
Aylin menarik napas panjang. “Baru langkah pertama.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Lorong itu kini mulai berpendar cahaya samar dari dinding—batu-batu bercahaya dengan ukiran yang sama seperti di buku tua Aylin. Di kejauhan, suara doa para biarawan mulai terdengar pelan, dan cahaya dari ruang utama perlahan memanggil mereka.
Langkah mereka menggema menyusuri lorong batu, hingga akhirnya sebuah gerbang logam berukir muncul di hadapan mereka. Tak ada kunci, tak ada pegangan, hanya sebuah mata terukir di tengahnya—mata satu yang menatap tajam, seolah melihat sampai dasar jiwa.
Aylin dan Akay saling pandang.
“Ini... terasa seperti penghakiman,” bisik Akay.
Begitu Aylin menyentuh gerbang itu, ukiran mata menyala perlahan, dan gerbang membuka dengan sendirinya. Ruang di baliknya sangat berbeda: dinding kaca hitam setinggi langit-langit memantulkan bayangan mereka berkali-kali, menciptakan ilusi ribuan Aylin dan Akay yang berdiri bersama di sana.
Di tengah ruangan, sebuah cermin besar berdiri tegak, disangga oleh dua patung wanita yang wajahnya tertutup kerudung.
Begitu Aylin dan Akay melangkah masuk, pintu di belakang mereka tertutup rapat. Lalu suara itu kembali—kali ini lebih lembut, tapi menghujam:
“Yang mewarisi, harus mengenal dirinya. Tanpa pengakuan, warisan hanya akan menjadi kutukan.”
Cermin itu memancarkan cahaya. Kabut muncul, lalu bayangan perlahan terbentuk.
Tapi yang Aylin lihat bukan dirinya.
Melainkan seorang gadis kecil—versi kecil dirinya—duduk sendiri di sebuah kamar gelap, memeluk boneka rusak dan menahan tangis. Di sekelilingnya, suara-suara terdengar: pertengkaran orang dewasa, suara ayahnya mengancam pergi, dan ibunya yang hanya diam.
Aylin terdiam, tubuhnya gemetar. “Ini... kenangan.”
Akay menatap cermin miliknya sendiri. Tapi ia hanya melihat bayangan gelap, tak berbentuk.
“Kenapa aku nggak bisa lihat?” gumamnya.
Lalu, cermin milik Aylin mulai menampilkan sesuatu yang baru—
dirinya sendiri, di usia remaja, berdiri di depan foto Wardhana.
Mata Aylin muda memancarkan amarah.
"Manusia otoriter! Kau hanya ingin menjadikanku mesin pembunuh, berlindung di balik dalih 'bertahan hidup'!"
Aylin dewasa menggigit bibirnya.
Rasa malu menjalari wajahnya, mencubit dadanya dengan getir.
Tapi cermin belum selesai.
Kini tampak perjalanan panjang-- Aylin yang menyadari semua pelatihan keras itu bukan untuk memaksanya menjadi senjata, melainkan untuk bertahan, melindungi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Tampak dirinya belajar kembali, mengasah kemampuan, dan menyusup masuk demi menyelamatkan satu-satunya hal yang kini ia yakini: nilai.
Cermin bersinar lebih terang, cahaya biru membungkus sosoknya.
Suara dalam itu akhirnya bergema:
"Kau telah melihat dirimu sendiri. Kau menerima luka, dan tak menyangkal aib. Itulah kekuatan sejati. Maka kau boleh melanjutkan."
Namun Akay masih berdiri membeku. Wajahnya pucat. “Aku nggak bisa... aku nggak siap lihat apa yang ada di cermin ini.”
Aylin mendekatinya, meletakkan tangan di bahunya. “Mungkin kamu nggak harus siap. Kamu cuma harus jujur.”
Cermin di depan Akay perlahan memunculkan kabut, lalu mengkristal jadi gambar:
Seorang anak laki-laki—versi kecil Akay—duduk di bangku sekolah dengan wajah kesal. Suara ayahnya terdengar seperti gema:
“Setelah makan siang langsung ke les bela diri. Lalu lanjut les matematika. Jangan macam-macam.”
Tapi Akay kecil diam-diam kabur. Ia hanya ingin bermain sebentar, merasakan kebebasan. Namun hari itu justru menjadi mimpi buruk: ia nyaris diculik di pinggir jalan oleh orang asing. Untungnya, nalurinya bergerak cepat—jurus-jurus bela diri yang diajarkan sang ayah menyelamatkannya. Ia berhasil lepas. Tapi saat berlari menyeberang jalan tanpa melihat, sebuah mobil menghantamnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍