Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
Cahaya lilin yang semula bergoyang tenang mulai meredup, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan yang lembut. Roy menyandarkan tubuhnya, sorot matanya mengamati Maelon yang baru saja menghilang melewati pintu belakang menuju kamar yang telah disiapkan. Udara malam menyusup dari celah-celah dinding kayu yang sudah menua, membawa dingin samar yang tak hanya menyentuh kulit—tetapi juga batin.
“Kita sudahi sampai di sini dulu,” kata Roy sebelumnya, dengan suara yang tak bisa dibantah namun mengandung kelembutan. “Kau harus beristirahat, Maelon. Kau terluka cukup parah dalam pertarungan itu. Tidurlah. Biarkan tubuhmu memulihkan dirinya.”
Dan Maelon menurut. Ia ingin bertanya lebih jauh, masih banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya, tetapi ia tahu—kadang keheningan adalah bagian dari proses memahami. Maka ia melangkah menuju kamar kecil di belakang, sebuah ruang bobrok dengan dinding kayu rapuh dan alas tidur seadanya dari jerami tua yang ditutupi kain lusuh. Tapi Maelon tidak mengeluh. Ia hanya berbaring pelan, membiarkan tubuhnya menyerah pada rasa lelah, dan pikirannya perlahan ditarik dalam pelukan gelap tidur yang tak sepenuhnya damai.
Di ruangan depan, Roy menoleh perlahan pada Jeffrie Nova, suaranya rendah namun penuh ketertarikan. “Bagaimana menurutmu… tentang anak itu?”
Jeffrie tak langsung menjawab. Ia menatap nyala lilin yang perlahan memendek, seolah menimbang jawaban di antara bisikan bayangan. “Dia… mengejutkanku,” ucapnya akhirnya.
Roy mengangkat alis sedikit. “Oh?” tanyanya pelan, “Jelaskan padaku.”
Jeffrie menarik napas, matanya tetap tertuju pada cahaya yang hampir padam. “Dia masih memiliki… kemanusiaan. Dalam bentuk yang murni. Dia tidak ragu untuk jatuh ke dalam neraka, Roy… hanya untuk menolong orang-orang yang bahkan tak ia kenal. Itu bukan keberanian biasa. Itu adalah… keyakinan. Sesuatu yang sangat jarang kulihat di antara para pemegang Doctrina.”
Roy menyimak dalam diam.
“Dan yang membuatku lebih terkejut lagi,” lanjut Jeffrie, nadanya lebih dalam, “adalah bagaimana dia mampu membunuh dua dari enam musuh yang menghadangnya. Mereka berada di tingkat Lapsus yang lebih tinggi darinya. Hanya satu tingkat memang, tapi perbedaannya… sangat berarti.”
Roy tersenyum tipis, penuh makna. “Dia layak,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku harap… potensinya terus berkembang. Kita… kekurangan kekuatan saat ini. Dan waktu terus berjalan.”
Jeffrie mengangguk, matanya menyipit sejenak sebelum menjawab, “Aku akan mengajak beberapa orang baru… untuk berjalan di jalur Doctrina. Meski berbahaya, meski penuh risiko—ini layak dicoba. Kita membutuhkan mereka.”
Roy menoleh, menatap Jeffrie dengan tegas namun tak memaksa. “Jangan paksa mereka, Jeff,” katanya. “Semua harus dilakukan… secara sukarela. Hanya mereka yang memiliki niat dan keyakinan yang dapat berkembang. Yang lainnya… akan hancur.”
Jeffrie kembali mengangguk, perlahan, menyadari beratnya tanggung jawab itu.
Di balik dinding, Maelon sudah tertidur. Luka-luka di tubuhnya belum benar-benar pulih, tetapi dalam keheningan malam itu, tubuhnya mulai menyatu dengan kelelahan, dan jiwanya perlahan-lahan… bersiap menyambut hari yang tak bisa ia duga. Di dunia yang gelap ini, bahkan tidur pun menjadi bentuk perlawanan.
Cahaya pagi menelusup pelan dari celah dinding kayu, menyentuh wajah Maelon dengan hangat yang samar. Aroma tanah basah dan dedaunan lembab menyambutnya begitu ia membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri—pegal-pegal yang menempel seperti beban tak kasatmata, namun berbeda dari semalam… kini ia bisa berdiri tanpa terguncang. Luka-luka luar telah mulai mengering, dan napasnya terasa lebih stabil, seolah tubuhnya perlahan menerima kekuatan yang kini menyatu di dalam dirinya.
Dengan langkah lambat, ia membuka pintu kamar bobrok itu. Di ruang utama, Roy sudah duduk di depan meja tua dengan permukaan yang kasar. Di atasnya—hal yang membuat Maelon tertegun—terdapat mangkuk tanah liat berisi potongan buah-buahan segar. Warna merah, oranye, dan hijau cerah bercampur dalam piring sederhana itu. Aroma manisnya langsung menyeruak, menusuk sesuatu dalam diri Maelon yang telah lama tertidur—keinginan untuk sekadar… hidup layak.
Roy menoleh, nada suaranya ringan namun hangat, “Kau sudah bangun? Duduklah. Makan ini.”
Maelon diam beberapa detik, tatapannya terpaku pada buah-buah itu. Sesuatu dalam dirinya—bagian yang telah terbiasa dengan kerak roti basi, air hujan kotor, dan sisa makanan panti—seakan tak percaya pada apa yang ia lihat. Buah segar… benar-benar segar. Ia menarik kursi perlahan dan duduk, matanya tak lepas dari mangkuk itu. Ia meraih satu potong, tangan sedikit gemetar, lalu menggigitnya.
Rasanya…
Segar. Manis. Sejuk.
Seolah ada kehidupan yang mengalir ke dalam dirinya lewat rasa yang sederhana itu. Sebuah kehangatan yang selama ini hanya ia temukan dalam mimpi. Maelon terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memakan sesuatu yang layak… yang manusiawi. Bukan karena mencuri, bukan karena belas kasihan. Tapi karena seseorang menyodorkannya tanpa syarat.
Roy tersenyum, seolah mengerti apa yang tengah berkecamuk dalam hati anak itu. “Bagaimana? Enak, bukan?”
Maelon hanya mengangguk pelan. Lidahnya belum bisa menjawab, karena hatinya masih terkejut. Roy melanjutkan, nadanya tenang namun informatif, “Desa ini memproduksi buah dan sayuran sendiri. Kami menanamnya. Ini semua hasil dari kerja bersama. Tapi di lapisan pertama ini, makanan seperti ini adalah kemewahan. Sangat mahal dan berharga.”
Maelon merasa sekarang semuanya mulai masuk akal—mengapa desa ini tampak tertutup, mengapa mereka saling menjaga, dan mengapa tempat sekecil ini begitu… bernilai.
Roy memandangnya lebih serius sekarang, meski tatapannya tetap tenang. “Tapi kita kekurangan kekuatan, Maelon. Di desa ini, hanya ada sekitar empat puluh penduduk. Dan dari jumlah itu… hanya beberapa yang memiliki kekuatan Doctrina.”
Maelon menoleh, kini sepenuhnya fokus.
“Aku ingin kau berkembang secepatnya,” ucap Roy dengan nada tegas yang tak menyisakan keraguan. “Hari ini, kau akan berlatih dengan salah satu penjaga desa ini. Dia akan menilai potensi dan batasmu. Dan jika kau bisa bertahan… mungkin kau akan melampauinya.”
Maelon diam. Ia memandang kembali buah yang tersisa di dalam mangkuknya, lalu memakannya perlahan. Tidak hanya untuk rasa… tapi sebagai simbol. Ia menerima. Jalan yang dipilihnya mungkin berliku dan berbahaya—namun untuk pertama kalinya, ada arah. Ada tempat. Dan mungkin… ada harapan.
Selesai menyantap buah terakhirnya, Maelon menyeka tangannya dengan sisa kain yang tergantung di pinggang, lalu berdiri perlahan. Rasa manis itu masih tertinggal samar di lidahnya—seperti kenangan yang enggan pergi. Ia menoleh sejenak pada ruangan sederhana di belakangnya, kemudian melangkah ke arah pintu kayu yang berderit pelan saat dibuka. Udara luar langsung menyergap wajahnya, segar namun dingin, dibalut kabut pagi yang belum sepenuhnya terangkat.
Di luar, berdiri seorang pria dengan tubuh tegap dan pakaian sederhana yang telah dipakai berkali-kali—warna cokelat pudar dengan beberapa sobekan kecil di bahu dan lengan. Ia memandang Maelon dari ujung rambut hingga kaki, lalu tersenyum setengah dengan gaya santai namun penuh wibawa.