Cita-cita adalah hal mutlak yang harus dicapai. Sedangkan, prinsipnya dalam bekerja adalah mengabdi. Namun sebagai gadis miskin tanpa pendidikan penuh ini — pantaskah Meera menjadi sasaran orang-orang yang mengatakan bahwa 'menjadi simpanan adalah keberuntungan'?
Sungguh ... terlahir cantik dengan hidup sebagai kalangan bawah. Haruskah ... cara terbaik untuk lepas dari jeratan kemalangan serta menggapai apa yang diimpi-impikan — dirinya harus rela menjadi simpanan pria kaya raya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sintaprnms_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 : Hal Yang Dialami Oleh Tuan Abhimana.
...22 : Hal Yang Dialami Oleh Tuan Abhimana....
Aku nggak yakin Tuan bisa jalan. Dia beneran masih linglung, batin Meera yang mulai berdiri. Ia mengabaikan baju yang kotor, serta pinggiran telapak tangan yang tergores tanah berbatu.
Mata hanya fokus pada Tuannya. Kaki pun melangkah mengikut. Bunga-bunga yang tersusun rapih tanpa sengaja terinjak dan terjatuh. Dan Meera sudah meyakini bahwa Tuan Abhimana — dugh. Jatuh! Tuan benar-benar jatuh.
Kaki ini berlari sekuat tenaga. Hingga Tuan kembali berada dalam sentuhan tangannya yang hangat. Tuan … dingin. Keringat dingin Tuan keluar dengan cukup banyak.
“Anda —“
Lagi-lagi ucapannya dipotong. “Saya nggak papa, Ra. Lepasin saya.”
“Anda ini —“
Ucapan Meera berhenti saat napas Tuan Abhimana kembali gusar dan sepuluh detik berikutnya — setelah ia berusaha mengusap-usap, dan menenangkan. Tuan kembali normal.
“Ra ..."
Telinga Meera mendengar namanya yang disebut terasa tidak asing. Beberapa memang terkadang memanggilnya, Ra. Tetapi lebih sering dipanggil Meera langsung. Dan sebutan itu … mengapa terdengar …
“Saya takut, Ra.”
Ya Allah. Semua ini mengingatkan Meera pada pertemuan pertama. Dimana Tuan Abhimana menolongnya dari Djoko. Saat itu pun, ia juga sangat ketakutan.
Namun sekarang … yang membingungkan bagi Meera adalah … apa yang ditakutkan Tuan? Mungkinkah ada sesuatu di dalam gudang? Hewan? Atau apa? Karena ini — jelas bukan ketakutan bisa, sangat memicu trauma besar.
“Tolong …”
Tolong? Tuan membutuhkan pertolongan apa lagi? Meera siap untuk membantu. “Tuan ingin saya melakukan apa?”
“Saya — butuh bantuan kamu.” Tuan memberi jarak pada tubuh ini.
Hingga Meera tiada pilihan selain menunduk lagi.
“Antar saya, Ra. Antar saya ke kamar,” sambung Tuan Abhimana.
Bahkan tanpa Tuan meminta pun, sebagai pelayan — Meera siap sedia memberi bantuan.
📍Kamar dan Ruangan Tuan.
“Saya mau minum.”
Meera sigap memberikan segelas air mineral. Dan tetap berdiri disamping Tuan sampai ia diminta pergi atau ada tugas selanjutnya.
“Bisa tolong …”
Ucapan Tuan Abhimana terhenti. Meera langsung menyahut, “Bisa, Tuan. Tuan ingin saya melakukan apa?”
Tatapan mata itu seperti … sungkan? Ada apa? Memang apa yang akan diminta Tuan?
“Panggilkan pelayan senior aja,” sambung Sang Tuan.
Meera masih diam, tidak bergerak. Namun ia menjawab, “Sekarang hampir pukul sepuluh malam. Saya ragu beliau masih bangun. Dan Tuan, diharap tidak merasa sungkan untuk meminta bantuan pada saya. Karena saya adalah pelayan, yang Anda bayar untuk melakukan segala tugas. Selagi saya bisa berusaha, saya akan lalukan. Tidak perlu menunggu dan meminta pada pelayan lain.”
Helaan napas terdengar. Tuan Abhimana menyandarkan punggung ke bantal yang disusun. Tangan itu pun melepas satu persatu kancing baju.
“Bantu saya ganti baju,” pinta Tuan Abhimana.
Ternyata masalahnya itu. Apa Tuan malu, ya? Meera menunduk. “Baik, Tuan. Saya akan membawakan baju ganti. Tuan ingin menggunakan apa?”
“Kaos putih.”
Meera mengangguk. “Baik, Tuan.”
Beberapa saat yang lalu …
Vincent memintanya datang ke Honey Bunch. Dan Abhimana mengiyakan ajakan itu. Sekitar pukul 08:40 WIB Abhimana turun ke bawah. Ia melihat pada garasi dalam hanya ada motor, jadi ia mengambil jalur masuk pada perkebunan untuk menuju garasi luar.
Akan tetapi, sial. Ini digembok? Garasinya? Abhimana pernah mengatakan bahwa keamanan adalah yang utama. Maka wajar saja para pekerja Villa menjalankan perintahnya.
Lalu kunci-kunci tentu saja sebagian ada yang dipegang oleh Tukang Kebun. Ada juga yang berada di gudang. Ah, malas. Lebih baik mengambil kunci itu di gudang saja, untuk kembali ke dalam Villa tentu saja posisinya cukup jauh.
Klek. Kunci utama yang ia miliki berhasil membuka gembok gudang. Abhimana melangkah perlahan, melihat sisi kiri dan kanan. Nggak sempit-sempit amat. Terang juga, batinnya yang mulai berjalan masuk. Dan bola mata mulai berkeliling mencari dimana letak kunci-kunci.
Itu!
Mata Abhimana sudah menangkap kotak kunci. Tetapi entah bagaimana bisa terjadi, sruk — ia jatuh ke bawah, ada semacam lubang yang cukup besar. Hah … napas Abhimana mulai tidak beraturan.
Bajingan. Gimana bisa ada lobang sebesar ini … dan cuma di tutup biasa? Sekuat tenaga Abhimana berusaha naik. Selain sempit, ini juga gelap. Bisa mati gue …
Tangannya bergerak tanpa arah dan gusar. Ia mencoba mengingat bagaimana Nailah menenangkannya dulu. Ia harus tenang — harus.
Srek. Berhasil. Tangan itu telah mengapai sesuatu yang bisa membuatnya naik ke atas, dan dengan sia-sia kekuatan, Abhimana berhasil naik.
Keringat dingin telah bercucuran. Rambut, baju, tangan — semua telah kotor dengan tanah dan mungkin saja dirinya terluka. Tetapi para pelayan sudah beristirahat … bagaimana cara meminta tolong? Napasnya masih tak beraturan dan badan pun linglung sampai ia menjatuhkan apapun di gudang ini.
Trang!
“Tolong …”
Tidak peduli, ingin didengar ataupun tidak, Abhimana tetap berusaha meminta bantuan. Siapapun bisa datang. Langkah demi langkah ia mencoba kuat.
Pintu. Itu pintu, batin Abhimana yang menatap pintu keluar. Jalan satu-satunya jika tidak ada yang menolong adalah keluar dari gudang. Supaya ia bisa bernapas dengan lega.
Brak — pintu berhasil dibuka. Dan matanya menangkap ada seseorang diluar.
“Tolong …”
“Tuan!”
Suara ini … mata Abhimana tidak bisa melihat dengan jelas. Tetapi ia menyakini bahwa itu adalah ... Meera.
“Anda —"
Ucapan itu, ia potong dengen mencengkeram kuat pakaian Meera. “Ra …”
Sial. Ia tidak bisa mengatur napas dengan baik. Bagaimana ini?
“Peluk saya, Ra.”
Sialan. Gue malu, batin Abhimana.
Sudah terlihat lemah, sudah menolak bantuan dan berakhir jatuh juga, hingga memohon untuk diantar ke kamar.
Bagaimana bisa wanita itu malam-malam berada di perkebunan? Sekarang pun — seluruh tubuh dan pakaian terasa kotor. Tadi ia hanya meminta dibawakan baju ganti, tetapi Meera membawa air juga.
Dia berniat ngebasuh gue? Tatap Abhimana dengan penuh tanda tanya. Wanita itu … mendekat, mengambil kursi yang berada disebelah meja. Lalu duduk, meletakkan bak kecil berisi air dan juga meletakkan P3K di bawah.
“Saya berniat, meminta bantuan pada yang lain. Tapi sebagian dari mereka sudah tertidur, Tuan.” Meera menatap sekilas, lalu menunduk. “Jika Anda tidak merasa keberatan. Bolehkah saya yang membantu?”
Mulut Abhimana sedikit terbuka, tanpa suara. Otaknya masih mencerna. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Berpikir, apa semua pelayan seperhatian ini?
“Tuan?”
Mata kembali bertemu. Namun kali ini — astaga. Ia merasa malu sekaligus berbinar mendapati dirinya, bisa sangat dekat dalam memandang wanita yang disukainya.
Ya, sampai sekarang rasa ketertarikan itu masih ada.
“Tuan, tolong jawab saya.”
“Ah-iya.” Abhimana membuang muka ke samping, menarik kerah bajunya. “Boleh.”
Kain yang sedikit basah mulai menyentuh wajahnya.
“Permisi, Tuan,” ujar Meera.
Dari sisi kiri ke kanan, dari bawah ke atas, melewati dahi, rahang, dan berakhir selesai pada lehernya. Setelah kain itu diletakkan, ada kain baru — ah tidak, itu terlihat seperti handuk kecil. Wajah yang masih basah tadi dikeringkan dengan handuk itu.
Rambut pun yang juga kotor di usap-usap pelan menggunakan handuk itu. “Setelah Anda membaik, saya harap Anda segera mencuci rambut. Karena saya hanya membersihkan sebagian saja yang terlihat kotor,” jelas Meera.
“Ya.” Hanya jawaban singkat.
Kelembutan ini, meski dibalut dengan bahasa baku— sangat identik dengan Meera yang dulu, yang masih berada di bangku SMA sebagai Adik kelasnya.
Tatapan mata dan juga ucapan. Semua dejavu. Mungkin sama dengan Meera yang dulu. Tetapi wanita di dengannya ini, bukan lah gadis pemalu dan penakut lagi.
“Tangan Anda,” pinta Meera.
Tangan? Emang tangan gue kenapa? Batin Abhimana yang baru sadar telapak tangannya terluka, saat membuka dan menunjukkan itu di depan Meera.
“Sshh.” Ah, sial. Perih.
“Sakit?” Suara itu semakin halus. Tatapan pun lurus sempurna tanpa cela, seolah Meera lupa bahwa mereka adalah Tuan dan pelayan. “Mau saya berhenti dulu?”
Abhimana menggeleng.
Sial. Sungguh, sial. Bertambah sudah orang yang melihatnya dalam keadaan terlemah. Apalagi, orang yang mengetahui itu adalah Meera.
Wanita ini — adalah wanita muda. Siapa yang bilang bahwa Meera tidak gemar bergosip? Abhimana yakin, setelah berjanji dan diminta menjaga rahasia pun, Meera tetap akan membicarakannya dibelakang.
“Sudah.” Akhir Meera yang telah menyelesaikan tugas. Dan kaos polos pun di beri. “Ingin saya bantu —“
“Enggak,” potong Abhimana.
Semua selesai. Kecuali celana dan rambut yang kotor. Tetapi Meera tidak juga kunjung berdiri, hanya duduk dan menunduk.
“Ada apa? Kamu mau izin lagi buat tampil di Teater?”
Meera menggeleng. “Bukan, Tuan.”
“Terus?”
“Saya tidak tahu apa yang Tuan alami. Saya yakin ini memicu trauma yang berat. Dan sesuai dengan perintah yang Tuan berikan. Saya tidak pernah melihat apa-apa di sana.” Meera mendongak.
Kelopak mata itu terasa berat, berusaha menyembunyikan empati mendalam. Abhimana tidak membutuhkan itu — ia tidak butuh rasa kasihan. Namun ia menyadari bahwa Meera berusaha sangat keras, dalam menenangkan.
Dan lagi wanita itu menunduk. Fokus mata Abhimana beralih ke bawah tangan. Dan ternyata … tangan dia juga luka?
“Saya berharap Tuan segera membaik. Jika memang yang Tuan alami adalah hal yang rahasia. Dan tidak ada satu pun pelayan yang tahu. Saya …”
Apa?
“Saya sanggup membantu Tuan dalam mengatasi hal ini, jika terjadi lagi di dalam Villa,” sambung Meera.
Sanggup? Abhimana mencerna ucapan Meera. Kesanggupan apa? Meera hanya seorang wanita dan juga pelayan. Daya tahan tubuh pun di bawah dirinya. Meskipun bisa — kesanggupan adalah hal yang lain.
“Keluar,” titah Abhimana yang masih bergulat pada pikiran.
...[tbc]...
1422 kata, Kak. Jangan lupa tekan like dan komen. Dukung MENGABDI terus yaaa 🤍🤏🏻
Cerita Adiwangsa lainnya klik profil saya atau lihat di bawah ini ⤵️
btw abhimata kocak banget si😂, cocok nih iya sama lu nai, jodoin bhi mereka, btw lagi udah akrab banget lagi sama dahayu romannya🤭
pesannya, yg nerimah sama faham beda ya bi🤭
btw iya juga ya, gak mungkin juga kan langsung jatuh cinta, untuk yg setara juga gak selalu apalagi ini beda kasta,, selalu menarik cerita KA Sinta😊, ok KA Sinta lanjut, penarikan ini jalan cerita bakal gimana,
ini demam kecapean+liat Meera kembenan🤦🤣
btw bhi baju begitu malah lucu bagus Anggunly, estetik, dan syantik 🥰 KA Shinta banget ini mah🤭
Abhimana semangat makin susah ini romannya buat deketin kalo begini ceritanya 🤭
tapi kita liat KA Shinta suka ada aja jalannya🤭😅