Medeline Arcela Forza, dijual oleh Kakak tirinya di sebuah tempat judi. Karena hal itu pula, semesta kembali mempertemukannya dengan Javier Antonie Gladwin.
Javier langsung mengenali Elin saat pertemuan mereka yang tak disengaja, tapi Elin tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal Javier sebelumnya.
Hidup Elin berubah, termasuk perasaannya pada Javier yang telah membebaskannya dari tempat perjudian.
Elin sadar bahwa lambat laun dia mulai menyukai Javier, tapi Javier tidak mau perasaan Elin berlarut-larut kepadanya meski kebersamaan mereka adalah suatu hal yang sengaja diciptakan oleh Javier, karena bagi Javier, Elin hanya sebatas teman tidurnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Bergantung padamu (Author POV)
Elin memang belum bisa menjaga ibunya dalam satu ruangan, karena sang ibu masih harus ditempatkan dalam ICU. Akan tetapi, ia bisa melihat keadaan ibunya dari ruangan lain yang disana terdapat sebuah kaca pembatas untuk membuat Elin bisa memantau dan memperhatikan kondisi ibunya dari jarak yang tak terlampau jauh.
"Bu, kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan Kak Javier lagi, Bu? Dia mengingatku sebagai Putri ibu, tapi aku tidak pernah mengingatnya." Elin berbicara sambil menatap ibunya dari depan kaca pembatas, seolah-olah dia memang sedang mengobrol dengan sang ibu.
"... hari ini, aku baru mengetahui jika ternyata kami pernah mengenal dimasa lalu. Kak Javier tidak memberitahuku sejak awal padahal dia sudah mengenaliku sejak pertama bertemu denganku di tempat Tuan Aro," gumam Elin kemudian.
Entah kenapa, Elin merasa seperti gadis bodoh dihadapan Javier hanya karena ia tak bisa mengingat pria itu, padahal melupakan masa lalu itu bukanlah keinginannya.
"Aku menyukainya, Bu. Tapi sekarang aku sadar diri bahwa perasaanku tidak mungkin berbalas, karena aku sadar jika aku bukan tipenya. Sekarang, setelah tau kenyataan ini ... aku juga paham bahwa begitu banyak kesenjangan diantara kami."
Elin menarik nafas panjang, mengelus kaca seolah-olah tengah menyentuh sang ibu.
"Tentu saja Kak Javier menolakku, Bu. Aku hanya anak seorang mantan pelayan di Mansion-nya yang besar."
Elin pun mengusap airmatanya yang jatuh di pipi, rasa rendah diri muncul dihatinya setelah mengetahui kenyataan ini.
"Meski begitu, bukan berarti aku malu menjadi anak ibu. Tapi, ini cukup menyadarkan aku bahwa tidak seharusnya aku mengharapkannya. Sejak awal, harusnya aku sadar diri, bahkan dia menemukanku di tempat haram itu. Iya, kan, Bu?"
Elin tau, tidak seharusnya ia menyukai Javier. perasaannya yang melewati batas. Dia yang tidak tau diri, sudah dibebaskan dari tempat judi malah menyukai sang Tuan yang harusnya ia hormati.
"Aku akan berusaha melupakannya, Bu."
...****...
Dilain sisi, Javier yang tidak menghubungi Jack untuk menggantikannya, menunggu didepan ruangan dimana Elin berada. Elin tidak tau dia disana, karena Javier memang tidak mengatakan bahwa dia yang akan menjaga Elin secara langsung.
Javier sendiri tidak tau kenapa ia melakukan ini. Ia hanya mengikuti nalurinya sendiri. Entah karena dia yang sudah terikat janji dengan Bibi Arbei, atau justru karena dia memang tak mau Jack yang kembali menjaga Elin lalu membuat mereka bertemu kembali.
"Kenapa aku bertindak begini? Bukankah seharusnya aku membiarkannya?" gumam Javier, ia tersenyum miris untuk kelakuannya sendiri.
"Mungkin karena aku sudah terlanjur berjanji pada Bibi Arbei. Ya, ini ku lakukan karena janjiku, bukan karena aku tidak suka Jack dan Elin semakin dekat."
"Memangnya kenapa kalau mereka dekat? Huh? Aku tidak harus peduli." Javier berusaha membantah ketidaksukaannya.
Javier pun memilih duduk di kursi tunggu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya ia sandarkan di atas sandaran kursi yang terbuat dari besi. Ini tidak nyaman, tapi ia tidak mungkin beralih dari tempat itu karena Elin ada didalam ruangan yang ada didepannya.
Malam semakin larut dan membuat Javier memejamkan mata karena merasa sangat mengantuk. Bisa dikatakan, seharian ini ia tak bekerja, karena menemani Elin ke Rumah Sakit. Tapi, entah kenapa ia merasa sangat lelah.
Dalam keadaan demikian, tetap saja Javier tak bisa terlelap. Ia butuh tidur sekarang tapi entah karena keadaan yang kurang nyaman atau karena tidak adanya Elin disisinya membuat Javier sulit tertidur.
"Aku tidak bisa tidur tanpanya," gumam Javier, setiap dia memejamkan mata bayangan-bayangan mengenai trauma di masa lalunya kembali berputar di memori kepala, hingga membuatnya enggan untuk jatuh terlelap.
Saat itu juga, Javier bangkit dan menuju pintu ruangan dimana Elin berada.
Klek. Javier menekan handle pintu dan hampir semua mata orang yang ada disana langsung melihat padanya. Jelas saja, siapa yang tengah malam begini ingin masuk ke ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien yang dirawat di ICU itu.
Javier mengangguk segan, lalu matanya mencari-cari sosok yang ingin ditemuinya. Elin.
Javier melihat Elin yang nampak berdiri di pojok ruangan. Gadis itu juga belum tertidur. Sepertinya Elin masih memperhatikan sang ibu dari kaca pembatas yang ada disana.
Javier berjalan menghampiri, Elin tidak sadar jika Javier ada disana, gadis itu terlalu fokus menatap ke ruangan ibunya.
"Elin ..."
Tubuh mungil itu seakan terkesiap, lalu menoleh saat itu juga. Elin tersentak karena mendapati Javier ada dibelakangnya.
"Kenapa kakak disini? Mana Jack?"
"Jack tidak bisa menemanimu." Javier berucap pelan.
"Jadi, kenapa kakak yang ada disini? Jika tak ada Jack, masih ada yang lainnya, bukan?"
Javier berdiri mensejajarkan dengan posisi Elin, dia menoleh ke samping hingga mereka berdua bertatapan satu sama lain.
"Apa kau keberatan jika aku yang ada disini? Aku pikir aku sudah terlanjur berjanji pada Bibi Arbei dan sekarang aku sedang menepati janjiku dengan menjagamu."
Bibir Elin kelu, ia menatap wajah serius Javier saat mengatakan itu. Padahal baru beberapa menit lalu dia bertekad untuk melupakan Javier tapi sekarang perasannya kembali berteriak bahwa dia sangat sangat menyukai pria dihadapannya ini hanya karena keseriusan Javier saat berbicara dan menatapnya. Tatapan Javier seolah melelehkan hatinya.
"Pergilah, Kak." Elin membuang muka, tidak kuat jika harus terus terlibat kontak mata dengan pria itu. "Aku bisa menjaga diriku sendiri," katanya.
Javier menggeleng. "Kalau kau lari dari kesepakatan kita, bagaimana?" tanyanya.
"Mana mungkin aku kabur, ibuku bahkan ada disini dan kau mengetahuinya."
"Bisa saja kan, kau merujuk bibi Arbei ke rumah sakit lain." Javier mengendikkan bahu acuh tak acuh, ia bersikap demikian seolah takut Elin lari dari kesepakatan mereka dimana Elin masih menjadi teman tidurnya.
Elin tersenyum miris. "Seseorang yang lemah sepertiku, tidak mungkin melakukan tindakan nekat seperti itu saat hidupku bahkan sudah ku gantungkan padamu," tuturnya realistis.
"Kau? Menggantungkan hidupmu padaku?" tanya Javier tak percaya dengan ujaran Elin.
"Ya, aku hidup denganmu. Bahkan biaya pengobatan ibuku juga darimu. Lalu, kemana aku bisa kabur kalau tidak ke sisimu, Kak?"
Mati-matian Elin menahan airmatanya. Semua yang ia ucapkan itu benar, kan? Hidupnya sudah bergantung pada pria ini. Bahkan bukan cuma hidupnya tapi hatinya juga. Jika Javier sudah mematahkannya maka ia pasrah untuk menjadi budak pria itu saja ketimbang harus pergi dan luntang-lantung di jalanan tanpa tujuan.
"Kau merendahkan dirimu didepanku, Elin. Kau tau aku tidak menyukai hal ini."
"Tapi itulah kenyataannya, Kak. Aku tidak bisa hidup tanpa bantuanmu."
"Dan sekarang, aku juga tidak bisa tidur tanpa dirimu. Kita saling membutuhkan, setidaknya untuk saat ini, Elin!"
Elin terdiam lagi. Ucapan Javier menyadarkannya bahwa saat ini bukan cuma dia yang bergantung pada pria itu, tapi Javier pun masih bergantung padanya meski entah sampai kapan.
"Jadi ... sekarang kau mengantuk dan ingin tidur?" tanya Elin setelah beberapa saat keheningan tercipta diantara mereka.
Javier menganggukkan kepalanya.
"Kita tidur di Hotel terdekat saja. Bagaimana?"
...Bersambung......