“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 21
Seorang pria mengayuh sepedanya dengan ringan, penampilannya necis dengan kemeja rapih dan rambut klimis. Mulutnya menggumamkan senandung lagu perjuangan, kepalanya sesekali mengangguk menyapa beberapa penduduk desa yang ia lewati.
Darpito—seorang tukang post yang bertugas mengantarkan surat ke rumah warga. Laki-laki itu lekas turun dari sepeda ontelnya begitu masuk halaman joglo punjer.
“Nuwun sewu (permisi)!” teriaknya saat berada di depan pintu joglo tengah—rumah utama.
Rasmi yang baru saja keluar jadi gudang penyimpanan menatap dengan sedikit heran. “Cari siapa, Tuan?” sahutnya.
“Kartijo Suseno.” Darpito menjawab dengan tegas, sebelah tangannya mengamit tas buluk berbahan kain canvas.
“Ada perlu apa mencari saya pagi-pagi begini!” Kartijo yang sedari tadi menyimak dari teras joglonya menyahut dengan tatapan menyelidik.
Darpito membusungkan dada, dagunya terangkat tipis, suaranya dibuat tegas—berwibawa.
“Saya datang untuk menyampaikan surat panggilan dari pengadilan agama.”
Kartijo terbelalak, alisnya mengerut dalam. “Apa maksud’e?!”
Darpito mengambil sepucuk surat beramplop coklat dari dalam tasnya, kemudian menyerahkan pada Kartijo yang sudah berdiri dengan congkak di hadapannya.
Kartijo membuka amplop dengan kasar, wajahnya seketika memerah dengan rahang mengetat. “Londo bajingan! Berani sekali dia mempengaruhi Sulastri!” berangnya, tangannya meremas kuat selembar surat yang baru dibacanya.
Darpito lalu mengeluarkan kartu kecil dari kantongnya, laki-laki yang juga bekerja sebagai tukang suruh, di rumah seorang pengacara pribumi itu berniat menawarkan jasa sang juragan.
“Apa lagi ini?!” hardik Kartijo saat si tukang post mengulurkan tangan.
“Ini kartu nama pengacara, mana tau sampean butuh,” sahut Darpito tegas.
Kartijo menggeram keras, tatapannya nyalang, dengan cepat dia meraih kerah kemeja Darpito. “Katakan pada Londo Bajingan itu, jangan ikut campur urusanku!”
Darpito menelan ludahnya pelan, raut mukanya takut bercampur bingung. “T-tapi ini bukan perintah Londo, Juragan. Ini panggilan resmi dari pengadilan.”
Kartijo menghempaskan badan Darpito dengan kasar. “Bajingan!” umpatnya murka.
Darpito bangkit dari tanah, tangannya menyapu bokongnya, lalu merapihkan kerah kemeja yang berantakan. “Saya harap sampean bisa datang tepat waktu, Juragan.”
“Aku tidak akan datang. Aku tidak akan pernah menceraikan istriku!” sahut Kartijo sembari melemparkan kertas surat ke wajah Darpito.
“Kalau sampean tidak datang itu artinya sampean menerima semua keputusan sidang dan menerima gugatan cerai dari istri sampean,” jelas Darpito.
“Apa maksudnya?!”
“Saya juga kurang begitu paham, Juragan. Sampean bisa menemui orang yang lebih mengerti untuk bertanya perihal ini.” Darpito mulai menjalankan aksinya—merayu juragan kaya untuk menggunakan jasa pengacara tempatnya bekerja.
‘Lumayan ini kalau kena, bonusnya bisa buat beli kain jarik baru si Darmi,’ gumamnya dalam hati.
Kartijo berpikir sejenak, dia tidak pernah benar-benar paham bagaimana prosedur perceraian berjalan, bahkan membayangkannya pun tidak pernah.
Perceraian sendiri memang masih menjadi hal tabu di kalangan masyarakat bahkan dianggap aib, apalagi diajukan oleh seorang wanita pribumi. Jika bukan campur tangan Londo, hal itu nyaris tidak mungkin terjadi.
Kartijo menghela napas panjang, sambil menyibak rambut tebalnya. “Di mana aku bisa bertemu pengacara itu?!”
Darpito tersenyum samar, lalu menyerahkan kembali surat beserta kertas kecil yang sempat Kartijo lemparkan.
“Sampean bisa langsung datang ke alamat itu, Juragan,” ujarnya.
Kartijo menerimanya dengan kasar, ia kemudian berlalu pergi tanpa memperdulikan tukang post yang masih mematung di depannya.
Sebelum beranjak pergi, Darpito lebih dulu mengambil sisir kecil di kantong celananya, merapihkan rambut klimisnya sambil bersiul kecil, kemudian kembali mengayuh sepeda ontelnya.
Sesampainya di kamar, Kartijo menutup pintu dengan kasar, giginya terus bergemeretak, mulutnya tak henti menggumalkan umpatan.
Amina yang sedang menyusui bayinya sontak terkejut, begitupun bayi mereka yang langsung menangis kencang.
“hustt … hust … sayang,” gumamnya sembari menimang bayi mungil itu.
“Kangmas, ini kenapa? Damar sampai terkejut, lo? protes Amina, yang kerepotan menenangkan sang putra.
Kartijo melihat sekilas, tatapannya dingin, rahangnya mengetat. “Anakmu itu ‘kan bisanya memang hanya nangis!” sahutnya ketus.
Amina terbelalak, namun dengan cepat kembali tersenyum saat Kartijo melihat ke arahnya. “Namanya juga masih bayi, nanti juga kalau sudah besar dia bisa lebih hebat dari bapaknya?” ujarnya pelan.
Pandangan wanita itu pun tertuju pada selembar kertas yang tergeletak di meja rias, alisnya mengerut tipis. Ia kemudian berjalan pelan sembari menggendong bayinya yang mulai tenang, meraih kertas itu lalu membacanya sekilas. “Pengadilan agama? Apa ini maksudnya, Kangmas?”
“Lastri ingin mengajukan perceraian resmi denganku.”
Amina tersenyum lebar, namun seketika senyum itu luntur saat Kartijo melanjutkan ucapannya.
“Heh, dia pikir … dia siapa berani mengancamku dengan perceraian. Sampai mati pun aku tidak akan menceraikannya!” desis Kartijo tajam.
Amina menunduk sesaat, menatap bayinya yang mulai terlelap, sudut bibirnya menyeringai tipis. “Tapi bagaimana bisa Mbak Lastri melakukan itu? Setahuku butuh biaya besar untuk bisa mengajukan perceraian di pengadilan agama, apa mungkin dia ….”
Kartijo menoleh ke arah Amina, tatapannya sengit. “Kau itu selalu menuduh Sulastri menjual diri, padahal kau sendiri tak lebih rendah dari dia!” sindirnya tajam.
Laki-laki itu kemudian melangkah lebar meninggalkan Amina yang terpaku di tempatnya.
Amina merah padam seketika, dadanya naik turun, darahnya mendidih—emosi, wanita itu dengan cepat menyambar gelas kopi di meja, lalu melemparkannya ke lantai. Kata-kata Kartijo yang tajam melukai harga dirinya.
“Wanita sialan! Lihat saja, kau dan anakmu akan mati di tanganku! Akhh…!” teriaknya, dengan napas tersengal.
Sontak bayi di gendongannya pun kembali menangis kencang. "Bayi sialan ini lagi, menyusahkan saja, menangis terus bisanya. Akhhhh...! Bisa gila aku lama-lama!" berangnya sembari menimang bayi yang semakin menangis kencang.
"Aku harus meminta si Mbok tinggal di sini, aku tidak bisa terus-terusan berdiam diri mengurus bayi sial ini, ya, aku akan minta si Mbok datang ke sini," gumamnya, mulai menyusun rencana.
Di jalanan, Kartijo mengendarai pickupnya bak orang kesetanan. Klaksonnya terus menggema, mengusir apa saja yang menghalangi jalannya.
“Bajingan! Londo itu benar-benar menantangku rupanya?!”
Laki-laki itu kemudian mengarahkan mobilnya ke desa seberang, tempat kantor pengacara yang di tunjukkan si tukang post berada.
BRAK!
Kartijo menggebrak meja keras. “Apa kau pikir aku ini wong mlarat! Berapa kedok sawah yang kau butuhkan untuk menyelesaikan kasus ini?!” hardiknya saat si pengacara membahas tentang nominal yang mungkin harus dia keluarkan.
Hassan Subakir—seorang pengacara pribumi yang mengaku sudah memenangkan puluhan kasus, dari pencurian sampai perebutan tanah warisan. Penampilannya cukup nyentrik untuk kalangan para pengacara dengan rambut yang nyaris menyentuh kerah kemajanya dan poni yang tak di sisir klimis.
“Yang kita hadapi ini ada campur tangan Londo, Juragan. Sampean tau sendiri … penjajah itu bisa menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, apalagi menyangkut perempuan?” jelas Hassan.
Kartijo menegakkan duduknya, tangannya mengambil rokok di sakunya lalu menyulutnya.
“Aku tidak peduli. Lakukan apapun asal istriku bisa kembali padaku!”
“Baik, saya akan menyiapkan dokumen-dokumen yang sampean perlukan, jika mediasi lusa nanti tidak menemui titik temu, kemungkinan kita harus mencari saksi untuk membela Juragan di persidangan,” ujar Hassan sembari memainkan ballpointnya.
“Saksi?”
Hassan mengangguk pelan. “Betul, dan kalau bisa gunakan saksi luar, misal keluarga dari pihak istri sampean. Kalau dari keluarga sampean bisa jadi hakim mengira kesaksiannya semata-mata untuk mencari aman, tapi jika kesaksian itu dari keluarga perempuan, hakim akan mengira istri sampean yang pembangkang.”
“Kita juga bisa memanfaatkan situasi ini untuk menjatuhkan Londo itu sekaligus,” jelasnya, suaranya tegas—penuh keyakinan.
Kartijo menatap sekilas, matanya menyipit mencoba menelaah ucapan sang pengacara. “Maksudmu ….”
“Kita manfaatkan pandangan masyarakat, apakah sampean tidak berpikir ini menyalahi aturan dan moral adat ketimuran kita?” sahut Hassan.
Kartijo mengangguk paham, sebelah tangannya mengusap dagu pelan. “Aku akan menemui orang tua tidak berguna itu.”
“Baik, besok saya akan ke pengadilan agama untuk menyerahkan surat jawaban gugatan dari sampean. tapi, itu juragan, saya … saya butuh—’
“Berapa yang kau butuh?” sela Kartijo.
“Ya … seratus atau dua ratus perak sudah cukup.”
Kartijo kemudian melemparkan dua lembar uang kertas ke meja Hassan. “Menangkan kasus ini, aku akan berikan apapun yang kau mau.”
Hassan mengangguk penuh percaya diri, tangannya secepat kilat meraih uang di depannya lalu memasukkan ke saku kemejanya.
“Saya akan pastikan, Londo itu bertekuk lutut di hadapan juragan.”
Kartijo membusungkan dada, sudut bibirnya terangkat tipis. “Kau salah pilih lawan kali ini Londo Bajingan,” gumamnya tajam.
Bersambung.
Pertarungan di mulaiii .....
Kalian tim mana gessss 🤭🤭🤭