NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:518
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12

Ruang komando baru Satuan Tugas Khusus "Operasi Penebusan" terasa seperti sebuah kapal selam yang terisolasi. Ruangan itu lebih kecil, dindingnya kedap suara, dan aksesnya dibatasi pemindai sidik jari. Di dalamnya, hanya ada satu meja bundar besar, beberapa komputer canggih yang kini dioperasikan oleh Kompol Reza, dan sebuah papan tulis putih yang masih kosong dan bersih. Ini adalah ruang perang Daniel, sebuah tempat suci yang didedikasikan untuk satu tujuan: memburu Sang Hakim.

Namun, saat Daniel menatap papan tulis yang kosong itu pada pagi pertama, ia tidak merasakan kekuatan. Ia merasakan beban yang luar biasa dari perintah yang tertulis di sana: CARI KORBAN BERIKUTNYA.

Perintah yang mustahil, batin Daniel sambil memijat pelipisnya. Bagaimana cara memprediksi langkah hantu?

Ia mengambil spidol dan mulai menulis profil kasar. Pendosa yang bertobat. Citra publik yang kuat. Sukses. Lukas (sosial/kekerasan), Riana (finansial/penipuan).

Siapa lagi? Jakarta adalah kota dengan 10 juta pendosa. Ribuan di antaranya mungkin cocok dengan profil ini: pengusaha sukses dengan masa lalu yang kelam, politisi yang kini berbicara tentang moralitas, selebriti religius yang citra publiknya terlalu sempurna. Daftar itu bisa berisi ribuan nama.

Daniel sadar bahwa metode kepolisian konvensional tidak akan cukup. Mereka tidak bisa lagi hanya bereaksi; mereka harus proaktif. Mereka harus masuk ke dalam kepala si pembunuh, membedah logikanya yang bengis, dan berpikir sepertinya.

Dan di seluruh Jakarta, ia hanya mengenal satu orang yang memiliki pikiran yang cukup tajam, cukup dingin, dan cukup terbiasa membedah kegelapan untuk melakukan hal itu.

Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan Dr. Samuel sebagai ahli patologi yang datang setelah tragedi. Ia tidak hanya membutuhkan keahlian Samuel dalam membaca luka; ia membutuhkan kejeniusannya dalam membaca pikiran di balik luka-luka itu.

Daniel menemukan Dr. Samuel di habitat aslinya: kantornya yang steril di kompleks laboratorium forensik RS Bhayangkara. Ruangan itu lebih mirip laboratorium daripada kantor. Rak-rak buku dipenuhi jurnal medis, bukan novel. Sebuah mikroskop elektron berdiri di sudut seperti patung modern. Di mejanya, tidak ada foto keluarga, tidak ada pernak-pernik pribadi. Hanya model tengkorak manusia 3D dan keteraturan dingin dari sains.

Samuel sedang meninjau pemindaian MRI di layar monitor beresolusi tinggi saat Daniel masuk. Ia mendongak, matanya yang tenang di balik kacamata menatap Daniel tanpa terkejut, seolah ia sudah mengantisipasi kunjungan ini.

“Daniel,” sapanya dengan anggukan singkat. “Kudengar kau berhasil mendapatkan mainan barumu. Satgasus.”

Berita menyebar cepat. “Aku tidak akan menyebutnya mainan, Sam,” balas Daniel, mengambil satu-satunya kursi lain di ruangan itu. Kursi itu keras dan tidak nyaman, seolah dirancang agar tamu tidak berlama-lama. “Ini adalah kebutuhan. Dan itulah sebabnya aku di sini.”

Samuel memutar kursinya hingga sepenuhnya menghadap Daniel. Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja, jemarinya saling bertaut. Sebuah gestur yang menunjukkan perhatian penuh.

“Aku berasumsi kau tidak datang untuk membicarakan hasil autopsi Riana Wulandari. Laporannya sudah kukirimkan. Seperti yang kita duga, identik dengan Lukas Santoso. Skalpel nomor 11. Presisi yang sama.”

“Bukan,” kata Daniel. “Aku di sini bukan untuk korban yang sudah meninggal. Aku di sini untuk korban yang masih hidup. Korban berikutnya.”

Daniel menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Ia memaparkan teorinya tentang Sang Hakim sebagai predator ideologis. Ia menjelaskan tentang misi baru Satgasus: bukan lagi untuk memecahkan kejahatan yang telah terjadi, tetapi untuk mencegah kejahatan yang akan datang.

“Selama ini, peranmu sangat krusial setelah fakta terjadi,” lanjut Daniel. “Kau memberi kami bagaimana mereka meninggal. Tapi sekarang, aku butuh bantuanmu untuk memahami mengapa mereka dipilih, dan siapa yang akan dipilih selanjutnya. Aku tidak hanya butuh keahlianmu di meja autopsi, Sam. Aku butuh pikiranmu di meja perang kami.”

Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya intens. Ini adalah bagian yang sulit. Ia meminta seorang ilmuwan logis untuk berpartisipasi dalam sesuatu yang lebih mirip peramalan psikologis.

“Aku secara resmi memintamu untuk menjadi konsultan forensik dan psikologis utama untuk Satgasus ‘Operasi Penebusan’. Bukan sebagai ahli yang dipanggil sesekali. Tetapi sebagai anggota tetap tim. Aku ingin kau terlibat dalam setiap sesi strategi, menganalisis setiap data yang masuk, membantu kami membangun profil psikologis yang akurat, dan yang terpenting, membantu kami mengantisipasi langkahnya.”

Ini adalah sebuah tawaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melibatkan seorang konsultan sipil sedalam ini dalam sebuah operasi aktif adalah pelanggaran protokol. Tapi Daniel punya wewenang baru.

Samuel mendengarkan semua itu tanpa menyela. Wajahnya tetap tenang, topeng profesionalisme yang tidak bisa ditembus. Daniel tidak bisa membaca apa pun dari matanya tidak ada antusiasme, tidak ada keraguan. Ia hanya melihat roda gigi berputar di balik tatapan yang dingin itu.

Dia sedang menimbang, pikir Daniel. Menghitung probabilitas, variabel.

Setelah Daniel selesai, Samuel bersandar di kursinya. Hening. Hanya suara dengungan pelan dari pendingin ruangan.

“Ini adalah permintaan yang tidak biasa, Daniel,” kata Samuel akhirnya. Suaranya datar. “Keterlibatan sedalam ini akan menyita hampir seluruh waktuku dari kasus-kasus lain. Kau memintaku untuk menjadi profiler penuh waktu.”

“Aku tahu,” kata Daniel. “Tapi tidak ada kasus lain yang seperti ini.”

Samuel menatap ke luar jendela sesaat, seolah sedang mempertimbangkan variabel yang tidak terlihat oleh Daniel. Lalu, ia kembali menatap Daniel. Tatapannya begitu tajam, seolah sedang memindai Daniel, membedahnya.

“Tetapi,” lanjutnya, “kasus ini… secara profesional, sangat menarik. Metodologi pelakunya, kebersihan forensiknya, dan yang paling utama, dasar psikologis dan filosofis dari tindakannya, menuntut tingkat analisis yang luar biasa. Sangat jarang kita menemukan lawan yang begitu… intelektual.”

Hati Daniel sedikit lega. Ia tahu memancing rasa ingin tahu intelektual Samuel adalah satu-satunya cara.

“Tentu saja, aku menerima tawaranmu,” kata Samuel akhirnya.

Rasa lega yang besar menyapu Daniel. Rasanya seperti baru saja berhasil merekrut seorang jenderal bintang lima.

“Akan sangat menarik,” tambah Samuel, nyaris seperti sedang berpikir keras. Matanya berkilat di balik kacamata. “Untuk mencoba masuk ke dalam pikiran seseorang seperti ini. Membedah pola pikirnya. Mencoba memahami… logikanya.”

Saat ia mengucapkan kata "logikanya", seulas senyum yang tipis nyaris tak terlihat menyentuh sudut bibirnya. Itu bukan senyum humor. Itu adalah senyum apresiasi, seperti seorang grandmaster catur yang baru saja melihat sebuah langkah brilian dari lawannya.

Daniel menafsirkannya sebagai antusiasme ilmiah murni. Ia tidak melihat arogansi sang seniman yang baru saja diundang untuk menilai karyanya sendiri.

“Terima kasih, Sam,” kata Daniel tulus, berdiri untuk menjabat tangan Samuel. “Aku tidak tahu apa yang akan kami lakukan tanpamu.”

Jabat tangan Samuel terasa kuat, mantap, dan dingin. Sebuah perjanjian telah dibuat. “Anggap saja ini sebagai tantangan profesional. Kirimkan aku semua berkas mentahnya. Aku akan mulai membangun profilnya malam ini. Rapat pertama kita harus segera dilakukan.”

Saat Daniel meninggalkan kantor Samuel dan berjalan kembali ke mobilnya, ia merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat untuk pertama kalinya sejak menerima panggilan telepon itu. Ia tidak lagi merasa sendirian. Ia kini memiliki senjata paling tajam di gudang senjatanya: pikiran analitis Dr. Samuel Adhinata.

Ia membayangkan Samuel yang dengan dingin membedah setiap petunjuk, menemukan pola yang mereka semua lewatkan, dan membangun profil Sang Hakim dengan presisi seorang ahli bedah. Logika Samuel yang dingin adalah penyeimbang sempurna bagi intuisi Daniel yang digerakkan oleh iman. Mereka adalah tim yang sempurna.

Daniel kembali ke ruang komando Satgasus dengan semangat baru. Ia menatap papan tulis yang kosong, yang kini siap untuk diisi dengan wawasan baru dari sang ahli. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasakan secercah harapan yang tulus.

Aliansi antara sang Gembala dan sang Ahli telah terbentuk. Pertarungan pikiran sesungguhnya akan segera dimulai.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!