NovelToon NovelToon
MATA YANG MELIHAT MASA DEPAN

MATA YANG MELIHAT MASA DEPAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Kultivasi Modern / Ketos / Mengubah Takdir
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Susilo Ginting

Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1. DINDING YANG RETAK DAN JENDELA MASA DEPAN

Angin malam di penghujung bulan September terasa dingin, membawa bau tanah basah dan sisa asap knalpot dari jalan raya. Rendra Aditama, 17 tahun, menarik selimut tipis yang tidak mampu menahan hawa dingin, merapatkannya ke dada yang berotot. Ia tidur di atas kasur usang di lantai dua Sebuah rumah tua yang seharusnya sudah lama dirobohkan.

Rumah itu adalah satu-satunya warisan yang di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ---- sebuah peninggalan yang lebih terasa beban daripada kenangan. Dindingnya retak, Plesterannya mengelupas, dan jika hujan turun deras, Rendra harus meletakkan ember-ember di sudut tertentu untuk menampung tetesan air yang menembus atap seng. Lampu di kamarnya hanya satu, bohlam 10 watt yang selalu terasa redup, gagal melawan pekatnya malam.

Namun, di tengah kemiskinan dan kelesuhan itu, Rendra memiliki bentuk badan yang ideal. tingginya hampir 180 sentimeter, dengan bahu lebar dan struktur wajah tegas dan memiliki rahang yang kuat. Setiap guratan diwajahnya memancarkan kecerdasan yang tajam, sekaligus ketegasan yang dingin ---- hasil dari latihan bertahun-tahun berjuang sendirian. Pakaiannya selalu sederhana, seringkali sudah luntur, tetapi ia memastikan semuanya bersih dan rapih. Di balik kemeja tipisnya tersembunyi tubuh atletis. Terbentuk dari rutinitas olahraga keras yang ia jalani di sela-sela kesibukannya. Bertarung dan menjaga kondisi fisik bukan hanya hobi, melainkan kebutuhan bagi anak yatim-piatu yang harus mandiri di lingkungan yang keras.

Pagi menjelang, dan Rendra bersiap untuk menjalani hari yang paling ia benci : bersekolah. SMA BHAKTI KECANA.

SMA BHAKTI KECANA bukanlah sekolah biasa. Gerbangnya dihiasi ukiran emas, lapangan parkirnya dipenuhi mobil-mobil mewah berharga miliaran, dan setiap siswanya adalah representasi dari kasta tertinggi di negeri ini: anak-anak politisi, konglomerat properti, jendral militer, dan pejabat negara. Rendra adalah satu-satunya pengecualian. Ia bersekolah disana berkat beasiswa penuh yang ia raih dengan nilai nyaris sempurna, sebuah fakta yang ironisnya menjadi bahan ejekan utama.

Saat Rendra melangkah masuk ke koridor utama, tatapan merendahkan itu sudah menyambutnya.

"pagi, tuan beasiswa," sapa Kevin, putra seorang mentri, sambil menertawakan. sapaan sarkastik yang ia ciptakan sendiri. Di sebelahnya, sekelompok siswi berbisik sambil menutupi mulut, Pandanga mereka jelas jijik. Rendra, dengan sikapnya yang tegas dan dingin, tidak menggubris. Ia terus berjalan, tatapannya lurus kedapan. Bertahun-tahun perlakuan semacam ini telah menempa Rendra menjadi pribadi yang sangat sabar, tetapi juga sangat pandai menyembunyikan amarah. Setiap penghinaan adalah batu bata yang ia gunakan untuk membangun tekadatnya.

Bahkan diantara Guru-guru, perlakuan berbeda sering ia terima. Guru matematika ibu Dewi, pernah secara terbuka mengomentari sepatu lusuhnya di depan kelas. "Beasiswa itu untuk otakmu, Rendra. Sayang nya tidak termasuk gaya hidup. Mungkin kamu harus belajar bergaul dengan kalangan yang setara denganmu." Untungnya, tidak semua begitu. Pak Bima guru sejarah, sering memanggil Rendra ke kantornya hanya untuk menanyakan kabarnya, memberikan buku-buku lama, dan kadang menyelipkan selembar uang untuk makan siang. Pak bima melihat potensi dimata Rendra.

Satu-satunya teman Rendra dineraka sosial itu adalah Clara Paramitha.

Clara adalah seorang putri tunggal pemilik jaringan rumah sakit swasta terkemuka, cantik, anggun, dan jauh dari organisasi teman-temannya. Ia tidak pernah merendahkan Rendra, justru sering mencarinya untuk berdiskusi tentang pelajaran atau sekedar bercerita ringan.

"Rendra, malam ini kau kerja?" tanya Clara saat mereka berpapasan di tangga. Rambut hitamnya tergerai indah, kontras dengan seragam yang ia kenakan.

"Tentu saja. Malam Minggu puncak keramaian, " jawab Rendra singkat, senyum tipis terukir.

" Aku janji, akan datang ke warnetmu sebentar , aku mau beli kopi. Jagan lupa kerjakan tugas fisika itu, aku bantu jika kau kesulitan, " katanya sambil menepuk pundak Rendra pelan, sambil melangkahkan menuju ruang kelasnya. Rendra hanya mengangguk, hatinya sedikit menghangat.

Sore harinya, Rendra sudah mengenakan kaos polos dan duduk di belakang Warung internet ' NUSANTARA JAYA', atau yang lebih dikenal sebagai 'Warnet Naja'.

Pekerjaan nya sederhana: menjaga kebersihan, mengisi pulsa game, dan memastikan tidak ada yang berkelahi.

Lingkungan Warnet ini jauh lebih jujur dibandingkan sekolahnya. Di sini, yang penting adalah kecepatan koneksi, buka. Rekening bank orang tua.

Malam itu, sekitar pukul 23.30 WIB, ketika Rendra sedang menyeka sisa remah-remah biskuit di meja pelanggan nomor 7, hal itu terjadi.

Kepalanya tiba-tiba diserang rasa pusing yang tajam, seperti lonceng gereja yang dibunyikan tepat di sebelah telinganya. Rendra terhuyung, berpegangan pada pinggiran meja. Dalam kegelapan sesaat, matanya yang tajam menangkap serangkaian gambar cepat, seolah-olah ia sedang menonton tayangan trailer film yang sangat singkat.

Ia melihat layar komputernya menampilkan berita olahraga; sebuah skor final pertandingan sepak bola antara klub 'Phoenix Fc' melawan 'Lion's Gate' yang berakhir 2-1. Ia melihat seorang pelanggan di bilik 3 menangis frustrasi karena pulsa game-nya habis. Ia melihat jam dinding di warnet jatuh tepat pukul 01.20 dini hari. Semua gambar itu terasa begitu nyata, detailnya mencengangkan.

Pandangan itu menghilang secepat kilat. Nafas Rendra terengah. Ia mengusap keringat dingin di dahinya. "Apa-apaan itu tadi?" bisiknya, jantungnya berdetak kencang.

Lima menit kemudian, pelanggan di bilik 3 memang berteriak kesal karena pulsa game-nya habis, persis seperti yang Rendra lihat. Rendra bahkan sempat menghentikan tangannya sendiri saat ia akan mengambil jam dinding yang terasa longgar, teringat jam itu akan jatuh pada pukul 01.20. Ia memeriksa jam di komputernya. 23.35.

Jeda lima menit itu membuat Rendra yakin: ia tidak bermimpi.

Sistem, atau apapun itu, telah memberinya akses ke masa depan. Bukan masa depan yang jauh, melainkan hanya 24 jam ke depan. Ia bisa melihat kejadian-kejadian kecil, peristiwa-peristiwa pasti, yang akan terjadi dalam radius penglihatannya atau yang relevan dengan kepentingannya.

Rendra duduk kembali. Rasa pusing itu hilang, digantikan oleh kesadaran yang dingin dan perhitungan.

Masa depan... satu hari ke depan...

Ia memejamkan mata, memfokuskan pikirannya. Dia kembali melihat skor final itu: Phoenix Fc 2 - Lion's Gate 1. Pertandingan itu baru akan dimulai besok malam.

Keputusan Rendra, yang terbentuk dari bertahun-tahun hidup dalam penindasan dan kemiskinan, dibuat tanpa ragu. Tekadnya sekeras baja, jauh melampaui tubuh six-pack-nya.

"Beasiswa tidak memberiku apa-apa selain penghinaan. Tapi ini..." Rendra tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak polos, melainkan senyum seorang pejuang yang baru saja menemukan senjata pamungkas.

Ia membuka browser, tangannya mengetikkan sesuatu yang selama ini hanya ia anggap sebagai tindakan bodoh dan merusak: situs taruhan olahraga ilegal.

Taruhan pertama. Itu akan menjadi awal dari segalanya.

Rendra Aditama baru saja mendapatkan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinan yang membelenggunya.

Namun, ia tahu, kekayaan yang diperoleh dengan cara ini akan membawanya ke dunia yang jauh lebih gelap dan berbahaya daripada koridor SMA BHAKTI KENCANA.

Langkah pertama: Taruhan Bola.

Tujuan: Uang awal untuk modal.

Taruhannya tidak boleh besar, tidak boleh mencolok. Cukup untuk modal bergulir.

Rendra mengeluarkan dompetnya yang tipis. Hanya ada uang Rp150.000, hasil tabungannya selama tiga hari. Itu semua yang ia miliki. Ia mempertaruhkan Rp100.000 pada kemenangan Phoenix Fc, yakin 100% pada penglihatan yang baru saja ia terima.

Tepat pukul 00.00, Rendra menyelesaikan pekerjaannya dan mulai berjalan pulang, meninggalkan Warnet Naja. Malam terasa sunyi, namun bagi Rendra, dunia sudah tidak lagi terasa sama. Setiap bayangan, setiap suara, kini memiliki bayangan masa depannya. Dia kini berjalan bukan hanya di waktu sekarang, tetapi juga di bayangan hari esok.

1
BungaSamudra
tulisanmu mengalir kek air. ritmenya pas banget pas dibaca 😍
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir
knovitriana
update
Ken
Tanda bacanya kurang dikit.
Semangat Thor
D. Xebec
lanjut next chapter bang, jadi penasaran gw, btw semangat 👍
D. Xebec
cerita nya menarik, tapi ada beberapa kata yang kurang huruf
D. Xebec
tulisannya masih banyak yang kurang huruf bang, perbaiki lagi, btw cerita nya menarik
Zan Apexion
menarik, Semangat ya👍
Monkey D. Luffy
kurang huruf N nya ini bang🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!