Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
“Afgan ganteng bangeeet! Ya Allah! Ada ya orang umurnya udah 36 tahun tapi masih kaya umur 20an!” Quin menunjukkan video yang direkamnya ketika acara briefing kemarin ke Shanaz, Meta, Nisa dan Hana yang sedang duduk di sebuah restoran cepat saji. Mereka merayakan terpilihnya Quin masuk ke babak live YAMI bersama 20 peserta lainnya.
“Raisa juga cantik banget!” Meta melihat foto-foto yang ada di hapenya Quin.
“Banget! Aseli! Kak Yura juga. Terus yah, orangnya baik-baik, ramah, sumpah ya, kaya nggak ada dendam sama orang lain gitu mereka!” jelas Quin dengan semangat sambil memakan sayap ayam dengan bumbu garlic.
“Orang kaya elu mah, apa-apa dimarahin, mana bisa jadi idola!” kata Shanaz menatap Meta sambil ketawa.
“Ah elu juga. Tiap liat medsos, bawaannya ngiri! Crab mentality!” balas Meta dengan serius.
“Kapan? Gue nggak pernah ya begitu!” bela Shanaz, langsung merasa tersindir. Matanya melotot menatap Meta. Bibirnya melengkung. Dan langsung menjauhkan diri dari Meta.
“Mulai…mulai…,” kata Nisa sambil mengambil hapenya Quin lalu melihat ada foto Arka. “Arka juga masuk?”
“Siapa Arka?” tanya Hana yang sedari tadi sibuk menjilat bumbu ayam pedas yang ada di jarinya.
“Temen,” jawab Quin bergegas mengambil hapenya dari Nisa sebelum Meta dan Shanaz melihatnya.
“Temen apa?”tanya Meta penasaran.
“Temen SD, ganteng!” jawab Nisa santai, sambil menghabiskan minuman soda refilnya.
“Elu suka?” tanya Quin ke Nisa, sambil menaikkan kedua alisnya.
“Emang elu nggak suka?” tanya Nisa balik menatap Quin yang kemudian berpaling.
“Nggak. Biasa aja,” jawab Quin singkat.
Nisa lalu bangkit pergi untuk mengisi gelas sodanya yang sudah kosong.
“Liat fotonya dong Quin!” pinta Meta penasaran.
“Liat aja di medsos, susah amat!” suruh Hana yang mengambil tisu untuk mengelap air mata dan air di hidungnya karena kepedesan.
“Apa nama medsosnya?” tanya Meta sambil memainkan hapenya.
“Nanti juga kalau live ketahuan!” jawab Shanaz santai.
“Iya juga,” jawab Meta lalu menurunkan hapenya dan kembali menyelesaikan makannya.
Nisa datang membawa segelas soda penuh, lalu duduk dan bertanya, “Terus, lanjutin ceritanya, gimana Afgan?”
–
Flashback.
Di panggung, Afgan berdiri memegang mic yang di awal acara berbunyi melengking karena terlalu dekat dengan speaker. Dia lalu bicara dengan suara khasnya yang berat, “Halo, saya Afgan.”
Semua yang ada di ruangan termasuk Quin teriak histeris karena tidak percaya bisa langsung melihat dan mendengar sosok Afgan yang selama ini dilihatnya dari balik layar kaca. Quin pernah melihat konsernya Afgan, tapi itu juga tetap saja dia melihatnya dari hapenya dengan menggunakan zoom, karena menonton dari katagori paling murah.
“Semua tau, Kak. Nggak usah perkenalan lagi dong,” sahut MC pria yang cantik tapi gemoy dan lucu.
“Ya tetep aja dong, harus perkenalan dulu,” kata Afgan lagi.
“Oh iya, bener juga. Kalau gitu kenalin, Kak. Saya afdol!” kata si MC pria sambil mengulurkan tangan salam dengan Afgan.
Seluruh ruangan tertawa mendengarnya.
“Ya udah, Kak. Silakan jelasin,” kata MC pria yang lalu melangkah mundur dan memberikan Afgan kesempatan.
“Jadi saya, Yura..” Afgan meminta Yura berdiri. “Sal dan juga Raisa akan mewakili 100 juri penyanyi yang akan memilih kalian semua.”
Sal dan Raisa berdiri di sebelah Afgan.
“Setiap minggunya akan ada sesi latihan bersama kami berempat. Nanti akan dibagi grup dan akan giliran.”
Quin tidak percaya dia ada di ruangan ini. Dia tidak pernah berkeinginan menjadi penyanyi. Meski memang dia sangat suka bernyanyi. Baginya bernyanyi hanya sebuah pelarian untuk menghentikan segala macam hal yang bermunculan di kepalanya.
–
“Tapi tanya jawab sama mereka berempat cuma sebentar. Abis itu, ada sesi sama panitia. Buat tanda tangan kontrak, nggak boleh mundur lagi,” jelas Quin sedikit khawatir.
“Kalau mundur di tengah jalan gimana?” tanya Shanaz tahu bahwa Quin memang sebenarnya tidak ingin jadi penyanyi.
“Kena sanksi?” tanya Meta penasaran.
“Iya. Tapi kalau emang darurat, ya boleh-boleh aja,” jelas Quin sambil menghabiskan kentang gorengnya.
“Terus, jadi lo bakal latihan sama siapa?” tanya Nisa yang diiringi oleh sendawa kecil, karena sudah terlalu banyak minum soda.
“Sama Afgan,” jawab Quin singkat.
Meta, Shanaz, dan Hana heboh. “Enak banget!”
“Gue malah pengennya sama Raisa,” jawab Quin pelan dan terdengar sedikit kecewa.
“Tapi ntar dituker kan? Roling?” tanya Nisa yang sudah tidak minum sodanya lagi.
“Iya, dituker,” jawab Quin lalu bangkit dan pergi mencuci tangannya. Sementara Hana masih berusaha menghabiskan ayam goreng bumbu pedasnya.
“Jadi hari jumat besok bolos, Quin?” tanya Meta pada Quin yang cuci tangan di wastafel dekat meja mereka. Hari itu restoran cepat saji yang menyediakan ayam dengan tingkatan level pedas, sedang sepi. Hanya ada mereka berlima di sana.
“Iya,” jawab Quin sambil kembali duduk di kursi. “Ada yang latihannya hari kamis, tapi ada yang jadwalnya dapat hari jumat. Gue dapet hari jumat.”
“Sendiri apa sama yang lain?”tanya Meta lagi.
“Berarti elu sama siapa aja?” tanya Shanaz sebelum Quin menjawab.
“Sama Arka?” Nisa menyela Quin yang baru membuka mulutnya untuk menjawab.
“Boleh nggak, satu-satu nanyanya?” tanya Quin kesal.
“Tau ih, sabar napa!” Hana yang menangis, nyeletuk tiba-tiba.
“Eh, kenapa elu jadi nangis?” tanya Quin memberikan tisu ke Hana.
“Pedes, anj!” Hana menerima tisu dari Quin lalu mengusap air matanya.
“Lagian beli yang level lima!” ujar Meta kesal. “Terus gimana ceritanya, Quin? Elu sekelompok sama siapa?”
–
Flashback.
“Ada yang mau nanya?” tanya Afgan sebelum mengakhiri sesi dengan para juri wakil.
Arka langsung berdiri dan mengangkat tangannya, “Ada!”
“Wuidih, gercep banget. Ya boleh, silahkan ke atas panggung,” pinta MC pria yang gemoy itu.
Arka naik ke atas panggung dengan gugup sampai-sampai agak kesandung sedikit pas naik anak tangga terakhir.
“Eh, hati-hati!” teriak Raisa kaget.
“Aman! Aman!” jawab Arka berusaha mengendalikan keseimbangannya lalu mendekati MC pria yang menyodorkan mic padanya.
“Mau nanya,” suara Arka melengking karena terlalu dekat speaker.
“Maju ke sini sedikit,” pinta Afgan agar berdiri di sebelahnya.
Arka mendekati Afgan, tapi dia tidak melihat ada kabel mic. Akibatnya dia tersandung dan memeluk Afgan.
Sontak seisi ruangan tertawa.
Yura bangun dan mendekati Arka dan Afgan. “Kamu kayanya gugup banget, ya?”
–
Quin dan yang lainnya di restoran tertawa keras.
“Udah kaya gitu, akhirnya dia nanya. Gue kira dia mau nanya apa gitu, yang penting, soal musik, atau apa, nggak taunya dia cuma nanya, Kak Afgan skincarenya apa?” jelas Quin.
Shanaz dan yang lainnya kembali tertawa.
“Sumpah lo?” tanya Meta.
“Kacau deh! Mana gue segrup lagi sama dia. Bisa-bisa latihannya latihan stand up comedy, lawak mulu!”jelas Quin menggelengkan kepala, lalu melirik hapenya, sedari tadi pagi Dima tidak membalas pesannya tentang pertanyaannya bisa latihan hari ini atau tidak.
“Lucu banget sih!” kata Nisa membela Arka.
“Wah kacau sih, dia tuh dari dulu gitu melulu,” jelas Quin merapikan bekas makannnya di atas meja.
“Kalo kata gue sih, orang yang kaya gitu bisa jadi idola,” jawab Nisa.
“Ntar ya, elu gue kenalin sama dia!” kata Quin sambil memberikan kedipan satu mata pada Nisa.
Pipi Nisa memerah. “Jadi elu nggak bakal latihan sama Pak Adam lagi?” tanya Nisa mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nggak usah. Ngapain, kan nanti latihan langsung sama Afgan,” jawab Quin merapikan rambutnya. “Udah yuk, pulang yuk?”
Akhirnya Shanaz dan yang lainnya bersiap pulang. Quin menatap hapenya, belum juga ada balasan dari Dima.
“Abis ini lo mau ke mana?” tanya Nisa.
“Balik, mau milih lagu buat ntar,” jawab Quin menatap Nisa yang tahu kalau Quin punya jawaban lain.
–
Ya. Quin tidak langsung pulang. Dia mau tahu kenapa Dima tidak menjawabnya dari pagi. Apakah karena kesal, kemarin Quin tidak membalas pesannya seharian?
Dengan info dari Givan, Quin menyusuri jalanan kampung di belakang rumahnya. Dia mencari rumah Dima. Begitu tiba di depan rumah Dima, Quin balik badan, bergegas melangkah pergi.
Beribu pertanyaan ada di kepalanya. Untuk apa aku datangi Dima? Kalau pun ketemu, nanti mau latihan di mana? Buat apa latihan, toh nanti ada sesi latihan bareng Afgan. Kenapa aku ingin tahu alasan Dima tidak membalas pesanku?
Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul Dima yang sedang membonceng ibunya yang membawa banyak belanjaan.
“Quin?” tanya Dima menghentikan motornya tepat di depan Quin yang terpaku ingin kabur, menghilang, atau ditelan bumi, tapi tidak mungkin.
Bersambung.
queen Bima
mantep sih