“Yang hidup akan ditumbuk menjadi pil, yang mati akan dipaksa bangkit oleh alkimia. Bila dunia ingin langit bersih kembali, maka kitab itu harus dikubur lebih dalam dari jiwa manusia…”
Di dunia tempat para kultivator mencari kekuatan abadi, seorang budak menemukan warisan terlarang — Kitab Alkimia Surgawi.
Dengan tubuh yang lemah tanpa aliran Qi dan jiwa yang hancur, ia menapaki jalan darah dan api untuk menantang surga.
Dari budak hina menuju tahta seorang Dewa Alkemis sekaligus Maharaja abadi, kisahnya bukanlah tentang keadilan… melainkan tentang harga dari kekuatan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nugraha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Pintu Rahasia Jiwa
Li Yao masih terhuyung huyung di hutan yang semakin lebat dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan akibat racun dari Yu Xiren. Dengan refleks, tangannya meraih batang pohon yang diselimuti lumut, untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Luka kecil di lengannya yaitu bekas serangan Yu Xiren telah berubah menjadi pola hitam kehijauan yang menjalar perlahan ke arah bahu. Kulitnya terasa panas dan dingin dalam waktu bersamaan.
“Sial... bahkan penawar racunku tidak berguna,” gumamnya serak dengan sedikit kesal.
Dengan tangan gemetar, ia membuka tas kulitnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan kuning tua. Ia meneguknya dengan sekali tegukan, berharap ramuan ini bisa menetralisir racun dari Yu Xiren. Namun apa yang Li Yao rasakan tidak ada perubahan sama sekali. Panas di tubuhnya malah justru semakin parah, dan pandangannya mulai kabur seperti ditutupi kabut.
“Tidak… aku tak boleh mati di sini.”
Tubuhnya seketika ambruk di samping batu besar. Ia mencoba menyandarkan punggungnya berusaha mengatur napas yang kini terdengar kasar dan terputus-putus. Dengan tangan gemetar, ia meraih ramuan lain dari dalam tasnya yaitu sebotol cairan biru kehijauan yang memancarkan aroma menyengat. Ia meminum setengah isinya, lalu mengunyah sepotong akar pahit yang ia simpan dalam kantong kain di sabuknya.
“Mustahil... bahkan gabungan tiga ramuan ini tidak mempan… Racun macam apa ini?”
Li Yao kini benar-benar putus asa. Suara burung dan desiran angin semuanya lenyap seperti tersedot dalam kehampaan. Yang tersisa hanyalah detak jantungnya sendiri yang semakin cepat. Tiba tiba dalam keputusasaan itu, Sebuah suara terdengar di dalam kepalanya.
“Ambil akar giok hitam di saku kananmu. Tekan tujuh titik pada jalur meridian di bawah pusaran tubuh-mu dalam tiga tarikan napas.”
Suara itu lembut namun jelas, sangat terdengar samar namun terasa nyata.
Li Yao kemudian tersentak dan terkejut.
“Siapa yang bicara?!”
Matanya melihat ke sekelilingnya, tapi tidak ada siapa pun di sekitarnya. Hanya bayang-bayang pepohonan dan keheningan yang mencekam.
Tak ada jawaban. Tapi suara itu terlalu nyata untuk dianggap ilusi.
“Apa aku mulai berhalusinasi karena racun ini...?” pikirnya dengan cemas.
Namun suara itu datang kembali, kali ini lebih jelas dan tegas.
“Kau tak punya waktu untuk meragukan ini. Lakukan sekarang.”
Entah karena ketakutan, keputusasaan, atau dorongan insting untuk bertahan hidup. Tiba tiba Li Yao langsung merogoh saku kanan jubah dalamnya. Di sana, tanpa pernah ia sadari sebelumnya, tersembunyi sepotong akar berwarna hitam kehijauan. Akar itu kasar, penuh urat, dan memancarkan hawa dingin yang menusuk telapak tangannya.
“Kapan aku menyimpan tanaman ini…?”
Tidak ada waktu untuk bertanya. Ia menggigit akar itu tapi rasanya pahit luar biasa, ia seperti mencicipi logam terbakar. Rasanya yang begitu pahit dan dingin, hingga tenggorokannya terasa seperti membeku.
Dengan cepat, ia menekan tujuh titik pada tubuhnya, seperti yang diperintahkan suara tadi. Titik-titik yang bahkan tak pernah ia pelajari dalam teori dasar meridian. Saat jarinya menyentuh titik pertama, rasa sakit menusuk seperti ditikam dari dalam.
Srak...
Tubuhnya tersentak hebat. Seperti ada aliran energi asing yang meledak dari dalam dan mendorong racun keluar melalui pori-pori dan pembuluh darahnya. Keringat dingin bercampur racun menetes deras membentuk kabut tipis berwarna hijau yang mengepul dari kulitnya.
“Aaah...!”
Li Yao mengerang kesakitan dan menggigit bibirnya hingga berdarah. Rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya seperti api cair yang mengalir dalam nadi, membakar tanpa ampun dari dalam.
Satu... dua... tiga tarikan napas...
Empat...
Lima...
Lalu tiba-tiba segalanya melambat.
Detak jantungnya mulai teratur. Rasa panas yang ada di tubuhnya perlahan menghilang. Warna hitam kehijauan di lengannya mulai memudar, dan berganti menjadi rona merah muda saat aliran darah kembali mengalir normal.
Dengan tubuh yang masih lemas, ia kembali jatuh terduduk. Napasnya masih memburu seperti baru lepas dari cengkeraman maut.
“Cara ini berhasil... Tapi siapa sebenarnya yang membisikkan semua cara itu padaku?”
Pandangan Li Yao akhirnya jatuh pada liontin hitam yang tergantung di lehernya. Ia meraihnya perlahan. Biasanya liontin itu terasa dingin seperti batu, tapi sekarang ada kehangatan samar seperti denyut kehidupan yang merambat dari permukaannya.
Ia memandangi liontin itu lebih lama. Jemarinya menggenggam erat seolah takut kehilangan sesuatu yang penting.
“Jangan-jangan... semua yang kualami selama ini berasal dari liontin ini?”
Li Yao menggeleng kepalanya pelan. “Sudahlah… untuk sekarang lebih baik jangan terlalu dipikirkan,” gumamnya.
“Yang penting aku selamat dari racun mematikan wanita iblis itu, aku harus terus melanjutkan perjalanan ini. Aku yakin… sesuatu dari mimpiku ada di tempat ini.”
Setelah tubuhnya mulai pulih, ia kembali melangkah ke kedalaman hutan. Namun, semakin jauh ia berjalan, langkah kakinya terasa semakin berat. Bukan karena kelelahan, tapi karena setiap jengkal tanah yang diinjak seolah membangkitkan kenangan.
Udara di hutan semakin lembap dan menusuk. Pohon-pohon raksasa menutupi langit di atas kepalanya, membuat sinar matahari nyaris tak bisa masuk ke dasar hutan. Semuanya terasa berbeda, sunyi, suram, dan sarat dengan ketegangan yang tak kasat mata.
Li Yao telah melewati batas wilayah yang biasa di masuki para kultivator dan murid sekte. Kini, ia benar-benar berada di jantung Gunung Hitam, tempat yang bahkan para tetua sekte pun enggan untuk memasukinya.
Udara kini terasa lebih pekat, aroma tanaman racun begitu mendominasi mengalahkan harum khas tanaman herbal. Setiap tarikan napas membawa serta jejak racun yang menusuk hidung. Tapi anehnya, tubuh Li Yao tidak bereaksi seperti sebelumnya.
Mimpi yang selama ini membayanginya kembali muncul dalam benaknya.
"Tempat ini, rasanya aku pernah ke sini. Aku yakin… inilah tempatnya."
Pohon-pohon menjulang seperti tiang-tiang kuil kuno, dan akar-akarnya melingkar liar seperti ular batu yang membeku dalam waktu. Udara menjadi semakin dingin, namun Li yao bukannya takut, malah ia merasa tenang dan damai.
Langkah kakinya terasa ringan seperti dipandu oleh sesuatu yang tak terlihat. Seolah-olah hutan ini mengenalnya. Menyambutnya kembali pulang.
“Anehnya... semakin aku berjalan lebih dalam dan terus menghirup bau racun ini… tubuhku baik-baik saja. Tidak ada reaksi apa pun…”
Li Yao kebingungan atas semua ini. Ia kemudian menatap sekeliling dengan waspada namun juga penasaran. Tubuhnya tidak menunjukkan gejala racun sedikit pun, padahal baunya sangat menyengat.
Yang tidak ia ketahui, jauh di dalam liontin hitam yang tergantung di lehernya, cahaya halus mulai menyala. Energi tak terlihat memancar dari dalam liontin itu, menetralkan semua racun di sekitarnya sebelum bisa masuk ke tubuh Li Yao. Aroma beracun yang menyelimuti seluruh gunung, sekuat apa pun itu tak mampu menembus perlindungan itu.
Tanpa disadari, liontin itulah yang membuat Li Yao tetap selamat. Dan hutan ini, seolah tahu bahwa pewaris yang ditunggu telah kembali.
Saat Li Yao berdiri terpaku, bingung harus melangkah ke mana, tiba-tiba liontin hitam di lehernya bergetar pelan. Getaran itu begitu halus hingga nyaris tak terasa.
Namun, tanpa disadari dunianya berubah.
Penglihatan Li Yao mulai memudar. Langit, pepohonan, bahkan udara di sekitarnya semuanya lenyap dalam sekejap. Kini, ia berdiri dalam lautan kegelapan yang begitu pekat, seolah cahaya tak pernah ada.
Tak ada suara.
Tak ada warna.
Yang terdengar hanyalah detak jantungnya sendiri, dan kemudian muncul sebuah bisikan lembut, bisikan itu terlalu dekat, seakan langsung terdengar di dalam jiwanya.
“Melangkahlah ke kanan, lalu teruskan tiga ratus meter ke depan. Di sanalah kau akan menemukan bagian dari takdirmu.”
Li Yao menahan napas. Meski tubuhnya terasa ringan seperti melayang dalam mimpi, ia tahu dengan pasti bahwa ini adalah nyata.
Tanpa ragu, ia mulai berjalan ke arah kanan. Dalam benaknya, bayangan hutan masih tergambar samar, namun langkah kakinya seolah menyusuri ruang di antara dua dunia, bukan tanah maupun udara.
Dan saat ia mencapai jarak itu.
Sreeekk...
Kegelapan yang menyelubunginya perlahan mulai retak. Retakan itu semakin lebar, lalu pecah menjadi serpihan bayangan yang menghilang dibawa angin tak terlihat. Cahaya dan warna kembali menyatukan dunia yang sempat menghilang.
Li Yao kini berdiri di hadapan deretan pohon raksasa, batangnya tebal dan akar-akarnya saling terhubung membentuk dinding alami yang rapat, seperti pagar hidup yang menjaga rahasia di baliknya.
Dengan susah payah, Li Yao menyingkirkan ranting-ranting tebal dan akar-akar liar yang menjalar seperti cakar dari dalam tanah.
Seketika kakinya membeku di tempat. Matanya terkejut menatap kedepan tanpa berkedip. Di depannya tersembunyi rapat oleh lumut hijau dan akar tua, terbentang sebuah mulut gua yang nyaris tak terlihat.
Saat tatapannya menyusuri celah gelap dalam gua itu, dadanya berdebar kencang. Bukan karena ketakutan tetapi karena perasaan familiar yang tak bisa dijelaskan. Ia seperti benar benar mengenal tempat ini.
“Ini… tempat yang benar benar kulihat dalam mimpiku…”
Liontin di lehernya mulai bergetar kembali. Getaran itu tak lagi halus melainkan berdenyut kuat seperti jantung yang menari dalam sukacita.
Dan tidak lama setelah itu suara aneh kembali hadir.
“Masuklah... di sinilah kau akan menemukan jawaban, kekuatan, dan jati dirimu yang sebenarnya.”
Li Yao menatap kegelapan di mulut gua itu. Tak ada suara bahkan hembusan anginpun tidak ada. Yang menjadi anehnya ia tidak merasa takut. Justru kegelapan itu terasa hangat baginya, seperti ia kembali ke rumah yang telah lama ia tinggalkan.
Dengan beberapa tarikan napas yang berat, ia melangkah maju, menyingkirkan tirai akar yang menggantung seperti penjaga setia sebuah rahasia kuno. Kakinya menginjak batu batu dingin yang ada di sekitarnya, dan saat Li Yao melangkah lebih dalam liontin mulai memancarkan cahaya lembut yang cukup untuk menerangi langkahnya.