ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 21
Hujan sudah berhenti, namun bekas percakapan malam itu tertinggal seperti embun yang belum sempat hilang. Clara masih memandang pintu yang baru saja tertutup setelah Reymon pulang. Kata-katanya terus berputar di kepala.
“Aku kecewa karena kamu kira aku nggak pantas jadi tempat kamu bersandar.”
Nada itu… lembut, tapi menyakitkan.
Clara tidak bisa tidur malam itu. Ia menghabiskan waktu menatap layar ponsel, menunggu Reymon online, menunggu apapun yang bisa membuat hatinya tenang. Namun Reymon tidak menghubungi apa-apa, dan Clara akhirnya tertidur dengan perasaan menggantung.
Keesokan Paginya
Pagi itu, Clara terbangun dengan mata sedikit bengkak. Ia meraih ponselnya dan menemukan satu pesan dari Reymon.
“Pagi, Clar. Boleh ketemu nanti sore?”
Hanya itu. Tidak ada nada marah. Tidak ada kalimat dingin. Tapi justru itu membuat Clara makin gugup.
Ia membalas singkat.
“Boleh.”
Seharian, Clara gelisah. Ia menunggu sore seperti menunggu hasil ujian yang menegangkan. Sampai akhirnya suara motor itu kembali terdengar dari depan rumah, membawa angin, aroma bensin, dan… rasa aman.
Reymon berdiri di depan pagar. Jaket abu-abunya masih basah sedikit karena hujan gerimis.
“Clar,” panggilnya pelan.
Clara turun tangga perlahan, menahan napas. “Iya?”
Reymon mendekat dua langkah. “Aku… minta maaf kalau kemarin aku bikin kamu jadi sedih.”
Clara menggeleng cepat. “Kamu gak salah.”
Reymon menatapnya, mata itu… penuh rasa sayang yang lebih kuat dari malam sebelumnya.
“Aku cuma takut,” katanya, suaranya lebih halus. “Takut kamu kehilangan aku… sebelum kita benar-benar mulai.”
Clara menunduk, lalu mengangkat wajah lagi. “Aku juga takut kehilangan kamu.”
Keheningan kecil muncul — tapi kali ini hangat, bukan menyakitkan.
Reymon tersenyum tipis. “Boleh gonceng lagi hari ini?”
Clara mengangguk, lega. “Boleh.”
Keliling Desa — Malam yang Berbeda
Malam itu, mereka kembali menyusuri jalan-jalan sepi desa. Namun kali ini, Clara memeluk Reymon sedikit lebih erat sejak awal. Mungkin karena kejadian semalam, atau mungkin karena ia sadar betapa berharganya laki-laki di depannya.
Reymon mengarahkan motor ke jalan kecil dekat kebun bambu.
“Clar,” katanya tiba-tiba. “Kamu tahu nggak… jalan ini sering dipakai buat lewatnya hantu perempuan tanpa kaki.”
Clara mencubit pinggangnya keras. “APAAA?”
Reymon menahan tawa. “Iya. Katanya kalau lewat jam sembilan ke atas, suka ada suara perempuan ketawa tapi nggak kelihatan wujudnya.”
Clara langsung memeluk pinggangnya lebih kencang. “Reyyy! Kenapa kamu ceritain sekarang?!”
Reymon tertawa puas. “Biar kamu peluk aku terus.”
“Jahat!”
“Cinta kok,” balas Reymon sambil terkekeh.
Namun ketika angin malam bertiup lebih dingin dari biasanya, Clara semakin merapatkan tubuhnya ke punggung Reymon. Bukan cuma takut — tapi karena ia merasa aman setiap kali menempel di sana.
Reymon melirik sedikit. “Kamu takut ya?”
Clara mengangguk cepat.
“Kalau gitu jangan lepas. Sampai kita keluar dari jalan ini.”
“Memang nggak mau lepas juga…”
Reymon tersenyum, walau Clara tidak melihatnya. Senyum yang membuat dadanya hangat.
Siang Hari — Telepon Berjam-jam
Sejak kejadian itu, hubungan mereka berubah pelan-pelan.
Setiap siang, bahkan ketika cuaca cerah dan matahari menyengat, Clara dan Reymon selalu menelpon. Padahal rumah mereka hanya berjarak enam menit jalan kaki — tapi rasanya seperti mereka tinggal di dua dunia berbeda yang cuma bisa disatukan lewat suara.
“Rey… kamu lagi ngapain?”
“Liat atap kamar. Kayaknya mau roboh deh.”
“Serius?”
“Enggak. Bercanda. Aku lagi rebahan, mikirin kamu.”
Clara tertawa keras. “Garing!”
“Tapi kamu senyum kan?” Reymon bertanya, nada suaranya menggoda.
Clara menggigit bibir, tersipu. “Iya…”
Reymon bangga. “Berarti nggak garing.”
Mereka bisa bicara berjam-jam. Tentang hal-hal nggak penting. Tentang cita-cita masa kecil yang absurd. Tentang makanan favorit. Tentang tetangga yang suka gosip. Tentang mimpi-mimpi lucu. Tentang apapun yang lewat di kepala.
Kadang Clara tertawa sampai perutnya sakit.
Kadang Reymon tertawa sampai suaranya hilang.
Kadang mereka hening, tapi hening yang nyaman — seolah suara napas masing-masing saja sudah cukup untuk membuat hati tenang.
Di tengah tawa itu, Reymon berkata sesuatu yang membuat Clara diam cukup lama.
“Clara… aku nggak pernah sesenang ini sebelumnya.”
Clara menggigit bibir. “Aku juga, Rey…”
Dan meski itu hanya lewat telepon, Clara tahu Reymon sedang tersenyum dari caranya bernapas.
Beberapa hari kemudian, malam datang dengan angin sejuk. Clara baru selesai mandi ketika mendengar ketukan di jendela.
Tok. Tok. Tok.
Ia mendekat perlahan dan mendapati Reymon berdiri di luar pagar, senyum kecil tersungging.
“Clar,” panggilnya. “Keluar bentar. Aku ada sesuatu.”
Clara turun dengan rambut yang masih sedikit basah. Reymon menatapnya lama, seolah sedang mengagumi bunga yang baru mekar.
“Ada apa?” Clara bertanya.
Reymon memasukkan tangannya ke saku jaket, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru langit. Ia memberikannya ke Clara tanpa kata.
Clara mengerjap. “Rey… ini apa?”
“Buka.”
Dengan tangan sedikit gemetar, Clara membuka kotak itu… dan matanya langsung membesar.
Sepasang cincin kecil perak, dan sepasang kalung mungil berbentuk hati setengah. Jika disatukan, hati itu akan menjadi utuh.
Clara menutup mulut dengan tangan. “Rey… ini… ini yang dulu aku kasih lihat?”
Reymon mengangguk pelan. “Iya. Kamu kelihatan suka waktu itu.”
Clara mulai berkaca-kaca. “Tapi ini mahal, Rey.”
“Bukan soal harga,” jawab Reymon sambil menghela napas. “Aku cuma pengen kamu punya sesuatu dari aku. Sesuatu yang kamu suka.”
Clara menggigit bibir kuat-kuat agar tidak menangis.
“Boleh… aku pakaikan?” tanya Reymon.
Clara mengangguk pelan.
Reymon melangkah mendekat dan mengambil kalung berbentuk setengah hati. Ia memintanya menunduk sedikit, lalu perlahan memasangkan kalung itu ke leher Clara. Jemarinya menyentuh kulit Claudia sebentar, membuat jantung keduanya berdegup keras.
“Pas,” ucap Reymon pelan.
Clara memegang kalung itu, suaranya bergetar. “Rey… makasih. Ini… terlalu manis.”
Reymon tersenyum hangat. “Kamu pantas dapat yang manis.”
Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, Clara memeluk Reymon. Lebih erat dari biasanya. Lebih hangat. Lebih jujur.
Beberapa hari setelah pemberian hadiah itu, mereka semakin sering bertemu. Seringkali Reymon parkir motor jauh dari rumah agar tidak ketahuan orang tua yang selalu curiga.
Namun keberuntungan tidak selamanya berpihak.
Suatu sore saat Reymon pulang dari bertemu Clara, ia membuka pintu rumah dengan senyum lebar yang belum hilang.
Ibunya sedang berdiri di dapur, menatapnya dengan alis terangkat.
“Reymon,” panggilnya. “Sini sebentar.”
Reymon langsung merasa tidak enak. “Kenapa, Bu?”
Ibunya menunjuk sesuatu di leher Reymon — sebuah kalung setengah hati.
“Ini apa?”
Reymon terdiam.
“Dan tadi Ibu lihat kamu nganterin seseorang sampai ujung gang,” lanjut ibunya dengan nada semakin tajam. “Siapa itu? Pacar kamu?!”
Reymon tersentak. “Bu… aku bisa jelasin…”
Ibunya menyilangkan tangan. “Kamu punya pacar ya?! Di umur segini?! Dan tinggal dekat sini pula?!”
Reymon menelan ludah. “Bu… dengar dulu—”
“REYMON!” bentak ibunya.
Reymon memejamkan mata.
Clara.
Kalung.
Cincin.
Keliling malam.
Telepon berjam-jam.
Semua serasa berputar di kepala.
“Kamu kalau punya pacar harus bilang!” suara ibunya semakin keras. “Bukan sembunyi-sembunyi begini!”
Dan saat itu…
Reymon hanya bisa berdiri membatu.
Episode ini…
BERSAMBUNG…