NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -21

“Ta’aruf.”

Satu kata. Ringkas. Tapi cukup membuat jantung Farah siap melompat dari tempatnya.

Netranya menatap Azzam lekat , seakan yang baru diucapkan pria itu hanya guyonan, tidak percaya, tidak paham itu yang dirasa saat ini.

“Sepertinya dosen itu tertarik pada mu,”ucap Azzam tajam.

“Hah…”

Farah melongo, ucapan itu keluar tanpa sadar.

Tubuhnya bergeming, hanya napasnya yang mulai tak beraturan.

Azzam melangkah mendekat. Semakin mendekat seketika Farah mundur. Namun punggungnya menyentuh meja pantry membuat gadis itu tak bisa menghindar

Azzam semakin memangkas jarak diantara mereka, Wajah pria itu terlihat tegang rahang miliknya menegas.Kini jarak mereka hanya sejengkal dari wajah Farah. Napasnya membelai pelan pipi gadis itu.

“Apa kamu… mau nerima ajakan ta’aruf Almeer?” bisik Azzam tepat di telinga Farah.

Farah membeku. Ia tak berani menatap Pria yang kini sangat dekat dengannya.

Ta’aruf? Dengan Almeer?

Kenapa Azzam menanyakan itu? Bukankah ikatan mereka sudah jelas.Batinnya terus bertanya.

“Jawab, Fa,” suara Azzam kembali mengalihkan atensinya.

Farah mengangkat dagunya, memberanikan diri menatap Pria itu.

“Mas, sadar menanyakan hal itu?” tanyanya,“Apa mungkin, aku terima ajakan ta’aruf Bang Almeer, sementara kita masih terikat pernikahan?” tanya Farah kembali.”

Azzam menarik napas. Perlahan Ia melangkah mundur. Memberi ruang. Tapi bukan kelegaan yang muncul di matanya melainkan keraguan.

“Kalau… pernikahan ini ber—”

“Please!” potong Farah cepat. Suaranya bergetar.

“Jangan ucapin hal yang bikin semua ini selesai. Aku masih butuh Mas, buat mimpiku.”

Azzam tertawa kecil. Tapi terdengar hambar.

“Jadi, kamu mau pertahanin pernikahan ini… cuma demi mimpi kamu?”

Farah diam sesaat.Lalu netranya menatap dalam pada Pria itu.

“Apa Mas, Akan percaya… kalau aku mau kita saling memberi ruang untuk pernikahan ini?”

Azzam tampak tercengang. Ia pikir Farah gadis ambisius yang akan menghalalkan segala cara demi tujuannya.

“Apa untungnya buat saya?”

Farah mendengus, seraya memutar bola matanya malas, bukan bertanya Farah malah menentang pria itu. “Sepertinya Mas, takut kehilangan mbak Sienna jika tetap mempertahankan pernikahaan ini,”

Azzam mendecih lalu berucap.“Kamu belum jawab pertanyaan saya Faradanilah Al Jannah,” tegasnya.

Farah menahan tawa.“Kenapa Mas, mempertanyakan hal itu?”

Azzam menatap sinis pada Farah.Tangannya menyilang di dada dengan angkuhnya lalu berkata. “Saya hanya ingin memastikan masa depan saya jika benar-benar menjadi suamimu.”

Ucapan itu seketika membuat Farah terbahak. “Harusnya aku yang ragu dengan masa depanku Mas. Bukan kamu Mas. Kalau nanti Mas selingkuh bagaimana?”

Pria itu mendengus kesal lalu maju selangkah mendekati Farah, tanpa aba-aba ia menyentil pelan kening Farah seketika gadis itu meringis kesal.

“Sakit ini.” Kesal Farah sembari mengusap keningnya.

“Makanya kalau diajak ngomong itu yang serius jawabnya.” gerutu Azzam.

“Ish.. kurang serius bagaiamana lagi sih Mas, kamu maunya gimana? Aku terima ajakan bang Almeer gitu mau kamu?”

“Enak aja, kamu istri saya.” Sahut Azzam.

Farah memicingkan pandangannya. “Istri kontrak ingatkan.”

Azzam terdiam sesaat, netranya seketika berubah serius. Sorot itu membuat Farah bergidik sesuatu yang sulit terbaca disana.

“Mas…” pangil Farah, sesekali mengibas-ibas tanganya didepan wajah pria itu.

“Masih mau nego nggak? Kalau nggak, aku mau tidur capek banget ini,”ucap Farah lagi.

Farah menghela napas pelan saat tatapan tajam pria itu tak beralih sedikit pun darinya.

“Ngomong Mas, aku belum belajar ilmu baca pikiran dan baca tatapan orang.”

Azzam mendecih, netranya masih tertaut pada gadis dengan rambut yang kini mulai acak-acakan serta guratan lelah tergambar disana.

“Maas…” Kesal Farah karena pria itu hanya menatapnya saja tanpa menjawab.

“Udah ah, aku mau tidur.” Dengan langkah cepat Farah mengambil tasnya meninggalkan pria itu.

Namun baru saja Farah menginjakan kakinya didepan pintu kamar mereka suara Azzam kembali mengema kali ini terdengar lebih tegas.

“Saya mau kamu menolak Almeer.”

Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Azzam sejenak lalu berucap. “Aku bukan kamu Mas, yang jelas sudah punya istri masih aja dekat-dekat sama wanita lain,” kali ini wajah Farah terlihat serius.

Sementara Azzam pria itu hanya merespon dengan menaikan kedua alisnya.

Farah memutar bola matanya malas.

“Kalau Mas, masih ragu, aku bisa kok bilang ke Bang Almeer kalau Mas suamiku. Aku nggak mau ya, gara-gara ini rencanaku gagal,”pungkasnya.

Azzam tersenyum miring tanganya masih menyilang didada bidang miliknya.

“Tidak perlu. Biarkan dia tahu kamu adik saya,”ucapnya.

Setelah berucap pria itu berlalu dan masuk keruang kerjannya.

Farah bergeming di tempatnya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pria itu.

Kenapa Azzam tidak mengatakan semuanya dari tadi? Kenapa harus bertele-tele seperti ini? Ia sudah capek-capek meyakinkan, ditambah tubuhnya lelah sepulang kuliah. Pembahasan ini sudah diurai sampai ke akar-akarnya, tetapi Azzam masih bersikeras ingin menjaga hubungan mereka tetap dirahasiakan.

“Bener-bener, manusia kutub satu ini. Maunya apa sih?” gumam Farah kesal.

***

Hari-hari berjalan seperti kanal-kanal Venezia: lambat, tapi tak pernah benar-benar berhenti. Mereka terbiasa bersama—Azzam menemani Farah riset, duduk di seminar-seminar, atau sekadar mengantarkan kopi di pagi hari untuk gadis itu.Kebersamaan mereka bukan tentang rutinitas, tapi tentang hadir yang kini mulai saling membutuhkan.

Bahkan semua urusan kantor Azzam limpahkan kepada Haris, semata-mata agar ia bisa terus menemani gadis itu. Seperti pagi ini, Haris datang ke apartemennya untuk menyerahkan dokumen dan kontrak kerja sama perusahaannya dengan salah satu investor yang berasal dari Sicilia, Italia bagian selatan.

“Apa Bapak tidak takut, mempercayakan urusan kantor pada saya?” Tanya Haris pasalnya sudah beberapa minggu terakhir ini dirinya lah yang mengantikan pekerjaan Azzam.

Azzam pria itu terlihat sibuk memeriksa kontrak. kerjasamanya dengan perusahann Sisiliah tersebut. “Kenapa saya harus takut?”

“Kalau saya tiba-tiba mengalihkan nama pemilik perusahan jadi nama saya gimana Pak?”

“Lalukan saja Ris, Kalau mau abadi di kota ini.”

Haris tergelak. “Saya tidak berani pak, saya terlalu mencintai bapak, sehingga untuk berkhianat pun saya tidak sanggup pak.”

Seketika satu map melayang tepat di kepala Haris.

“Jangan ucapanmu bangsat, kalau istri saya dengar bagaimana, dikira kita ada hubungan apa-apa lagi.”

Haris terbahak. “Akhirnya Bapak sadar juga.”

Azzam memicingkan pandangannya. “Apa maksudmu?”

Haris mengaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Maaf pak.”

Azzam hanya menatap Haris sekilas lalu kembali fokus pada pekerjaanya.

Tak lama Farah datang dengan dua cangkir kopi.Gadis itu tersenyum ramah saat tatapannya dan Haris saling bertaut.

“Biasa aja lihatnya. Istri saya itu,” celutuk Azzam tanpa mengalihkan pandangannya.

“Mas…” tegur Farah merasa tidak enak pada Haris.

Haris terkekeh pelan. “Tidak pa-pa bu Farah saya sudah kebal.”

Farah gelak. “Silahkan di minum Mas Haris.” Farah meletakkan dua cangkir kopi di meja .

“Makasih Bu.”

Farah hanya mengangguk,dan kini menatap suaminya. “ Mas, aku berangkat, ya.”

Azzam mendongkak menatap istrinya. “Hati-hati, sebentar siang saya jemput.”

“Nggak usah Mas, aku berangkat seminar bareng Zira aja.” ucap Farah seraya meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangann itu.

“Saya jemput kamu.”tegas Azzam.

“Terserah kamu saja Mas, aku barangkat ya,” ucap Farah lalu lalu pamit.

Setelah kepergian Farah, ruangan kembali hening.

Azzam sibuk dengan pekerjaanya Haris pun sibuk dengan pekerjaannya.

Ponsel Azzam berdering mengalihkan atensi keduanya.

Azzam hanya menoleh lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Ia mengabaikan ponselnya begitu saja.Haris pun kembali fokus dengan laptop di depannya.

Tak berselang lama ponsel Haris pun ikut berdering.

Menampilkan nama Sienna disana..

Keduanya saling memandang.

Lalu Haris berkata. “Mbak Sienna pak.”

“Tidak usah di jawab.”

“Tapi pak?”

“Saya sibuk Ris, abaikan saja.”

Haris mengangguk patuh, lalu menaruh kembali ponselnya di samping laptopnya. Dan kembali fokus dengan pekerjaanya.

Di tengah kesibukannya sekilas ia menatap pada Azzam pria itu tengah sibuk ,sementara ponsel pria itu terus berdering, tetapi Pria itu tidak mengubrisnya.Haris mengulas senyum, Ia tahu bosnya Itu sedang berusaha menjalankan perannya sebagai suami.Walaupun harus mengorbankan sesuatu yang sudah lama ia pertahankan.

Sore itu, langit Venezia tertutup awan tipis. Embusan angin asin dari laguna membawa aroma rumput laut yang samar. Mereka menghadiri seminar di Sala Scarpa—sebuah aula tua di distrik Castello, bangunan bergaya gotik dengan dinding batu dan jendela besar yang menghadap kanal. Dulu rumah bangsawan, kini menjadi rumah ilmu.

Seminar bertajuk Astronomi Islam dan Perdagangan Muslim di Eropa. Pembicara utama, Almeer, membahas bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi astronomi yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim pada abad pertengahan memberi dampak besar terhadap perdagangan internasional, terutama yang melibatkan dunia Timur dan Barat. Almeer memulai dengan menjelaskan peran astronomi dalam navigasi, dan bagaimana pelaut Muslim seperti para pedagang dari Venesia,

Baghdad, dan Kairo mengandalkan astrolabe untuk menentukan arah saat pelayaran.

“Para ilmuwan Muslim abad ke-10 hingga 15 bukan hanya ahli dalam bidang astronomi, tetapi juga ahli navigasi. Mereka mengembangkan alat seperti astrolabe dan quadrant untuk menghitung posisi bintang, menentukan waktu, dan arah—semua ini sangat vital bagi para pelaut dan pedagang yang melintasi Laut Mediterania hingga Samudra Hindia,” ujar Almeer.

Farah menyimak dengan seksama, tangannya sibuk mencatat. Di sampingnya, Azzam duduk tenang.

“Biasa aja matanya,” celetuk Azzam.

Farah terkekeh. “Kenapa Mas?”

“Tidak pa-pa.”

Kini Farah kembali fokus pada seminar di depan sana.

Setelah istrinya kembali Fokus.Azzam melirik Farah disampingnya, lalu tatapannya kembali ke panggung, lalu ke Farah lagi. Diam-diam. Lama.

Pembahasan Almeer kini menceritakan bagaimana para pedagang Muslim membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga pengetahuan astronomi yang menghubungkan dunia Timur dengan Eropa. Mereka membawa buku-buku astronomi, peta langit, dan teknologi navigasi yang membuka jalan bagi pelayaran menuju Venesia, pusat perdagangan utama di Eropa pada masa itu.

“Dan salah satu pelabuhan yang paling signifikan dalam hubungan ini adalah Venezia,” lanjut Almeer. “Venesia menjadi jembatan antara Timur dan Barat. Di sini, pelabuhan bukan hanya untuk perdagangan barang, tetapi juga untuk pertukaran ilmu dan budaya.”

Farah semakin terpukau oleh detail seminar itu, menyimak setiap kata yang disampaikan Almeer. Sementara itu, Azzam yang sebenarnya tidak terlalu tertarik pada hal-hal teknis justru merasa geram berada di sana. Sesekali, Almeer di atas panggung mencuri pandang ke arah Farah, membuat Azzam semakin naik pitam.

Setelah seminar usai, aula yang tadinya ramai kini mulai sepi. Mereka berjalan keluar, ditemani Zira. Langit mulai berubah warna—jingga yang pelan-pelan disusupi kelabu. Aroma espresso dari kedai seberang ikut menyelimuti udara sore.

Almeer terlihat mendekat saat keluar dari aula. Pria itu ramah seperti biasa, tapi tatapannya menyimpan tanya. Setelah beberapa kalimat ringan.

Almeer lalu mengajak Azzam menjauh dari Farah dan yang lain, mereka berdiri di sisi bangunan agar Farah tidak mendengar pembicaraan mereka.

“Bagaimana dengan pengajuan ta’aruf saya, Zam? Apakah Farah menolak?” tanyanya, pelan tapi tegas.

Azzam menarik napas. “Maaf Almeer, untuk saat ini saya belum bisa kasih jawaban apa pun. Atau mungkin… kamu bisa tanya langsung ke Farah?”

Almeer terdiam sejenak, sebelum mengangguk kecil. “Mungkin nanti. Saat Farah tidak sibuk dengan tugas dan risetnya. Saya akan menanyakan langsung padanya.”

“Lebih baik seperti itu Al,” sahut Azzam.

“Sepertinya saya harus berusaha lebih keras Zam, Farah bukan perempuan yang gampang menerima seseorang.Atau kamu sebagai Kakaknya tidak merestui kami?”

Azzam terkekeh pelan. “Sangat jelas kalau saya ini kakak yang buruk.” Ucapan itu di balas tawa oleh Almeer.

Percakapan mereka berakhir begitu saja.

Mereka kembali ke tempat Farah dan Zira. Rayyan sudah bergabung. Setelah berbincang sejenak Lalu Almeer pamit. Senyumnya masih sama. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan kecewa.

Rayyan membuka suara. “Sampai kapan mau menutupi status kalian?”

Zira menimpali, cepat dan tajam. “Bener. Kalian tuh kayak ngasih harapan kosong. Ngomong aja kalau udah nikah. Biar nggak makin panjang.”

Azzam dan Farah saling menatap. Diam. Tapi dalam tatapan itu, ada sesuatu yang runtuh pelan-pelan. Kata-kata Zira benar. Diam mereka bukan hanya menyakitkan untuk Almeer, tapi juga menggerogoti keutuhan yang sedang mereka bangun diam-diam.

Sebenarnya Farah sudah ingin mengungkapkan tapi Azzam pria itu masih menahannya.Entah apa yang sedang direncanakan pria itu, terlalu sulit untuk Farah memahaminya.

Bahkan sekarang Azzam rela menemaninya untuk urusan kuliah bahkan pria itu juga rela mengantar dirinya saat berangkat ke kampus, dan menjemput saat jam kuliah selesai.

Terlihat jelas jika Azzam tak memberi ruang untuk Almeer untuk mendekat pada nya.

Dan Almeer apakah pria itu akan menerimanya begitu saja jika tahu kebenarannya ?

Atau almeer akan berusaha mendapatkan yang ingin diraihnya saat status mereka masih ia rahasiakan?

Tak jauh dari mereka, Farah melihat seorang perempuan berdiri di balik tiang aula dengan coat hitam terlihat elegan. Tatapannya tajam menatap pada Azzam dan dirinya, sejak tadi wanita itu hanya berdiri disana. Hal itu cukup untuk menumbuhkan curiga dan rasa penasaran Farah, Wanita itu yang sudah tidak asing baginya. Tapi kenapa hanya di sana tidak menghampiri mereka.

***

Tepat tengah malam, Farah terbangun. Suasana kamar hening, hanya suara detak jam yang terdengar samar. Ia meraih ponsel di atas nakas—layarnya menunjukkan pukul dua dini hari. Venezia masih tertidur lelap.

Farah menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Sofa di sudut kamar pun tak berpenghuni. Azzam tidak di sana.

Farah bangkit pelan. Langkahnya terayun menuju pantry. Saat melewati ruang kerja Azzam, matanya menangkap cahaya remang dari balik pintu yang terbuka sedikit. Ia mengintip. Kosong.

“Kemana Mas Azzam?” gumamnya, lirih.

Langkahnya berhenti. Saat netranya menemukan sosok suaminya yang tengah tertidur dengan posisi duduk di sofa kepala tertunduk di hadapannya laptop yang masih menyala. Cahaya layar memantul di wajah lelahnya. Nafas Azzam teratur, tangannya menggenggam setengah botol air mineral yang sudah terbuka.

Dengan langkah pelan, Farah mendekat. Ia duduk di samping pria itu, memandanginya lama ada rasa berbeda disana sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia mengulas senyum tipis, kemudian dengan hati-hati, tangannya menyentuh wajah Azzam. Lembut, seolah menyapa dengan rasa yang selama ini tak sempat keluar.

“Aku tahu aku nyusahin kamu Mas, maaf sudah hadir diantara kalian. Tapi boleh nggak sih aku egois aku cuma ingin pertahanin milikku Mas,” ucapnya lirih.

Farah menatap Azzam dalam, Lama. Seolah ingin merekam wajah itu baik-baik.

Setelah itu, Farah berdiri, berjalan ke pantry, dan mengambil segelas air. Ia meneguknya perlahan sebelum kembali ke kamar untuk mengambil selimut dan bantal untuk Azzam. Pelan-pelan, Farah kembali ke ruang tamu, lalu merebahkan tubuh Azzam di sofa dan menyelimutinya. Setiap gerakannya lembut dan penuh kehati-hatian.

Saat ia hendak kembali ke kamar, baru satu langkah diambil, tiba-tiba langkahnya terhenti.

Farah menoleh pada tangannya. Di sana, Azzam menahan pergerakannya. Tangan pria itu menggenggam pergelangan tangannya dengan mantap. Kini pria tersebut menatapnya dengan mata tenang, tanpa ekspresi—sorotnya sulit ditebak.

“M-Mas…” ucap Farah gugup. “Maaf, aku bangunin Kam—”

Belum sempat Farah menyelesaikan ucapannya.

Dengan sigap Azzam berdiri dan langsung menariknya ke dalam pelukan. Farah terkejut. Jantungnya seolah melompat dari tempatnya. Refleks tubuhnya ingin menjauh, tapi pelukan Azzam terlalu erat membuat gadis itu tetap disana.

“Sebentar saja, Fa…” bisik Azzam lembut.

Farah membeku di tempat. Udara malam masih dingin, namun tubuh mereka saling menghangatkan dalam diam. Tak ada kata. Tak ada gerakan. Hanya pelukan itu, seperti titik temu dua jiwa yang lelah.

“Fa…” suara Azzam pelan, nyaris tak terdengar.

“I-iya Mas,”jawab Farah gugup

“Apa salah jika saya mempertahankan milik saya?”bisik Azzam.

Farah tak langsung menjawab.Sekelebat tanya berputar di kepalanya. “Apa Mas Azzam mendengar ucapanku tadi?”gumamnya diam.

“Fa…” panggil Azzam lagi, lembut.

“Iya Mas,” sahut gadis itu.

Azzam melonggarkan pelukannya, menangkup wajah Farah. Ada senyum kecil di wajahnya.

“Apa kamu mau membantu saya menjaga memilik saya?”

Mata Farah membulat. “Maksud Mas,... Mbak Sienna?”

Azzam mengeleng pelan, lalu tersenyum samar. “Kamu.”

Netra dan mulut Farah membulat. “Hah.. Mas serius?”

Azzam mengangguk pelan. “Saya tahu kamu punya trauma dengan pernikahan… Saya bakal bantu kamu pelan-pelan. Hm?”

Farah mengerutkan keningnya ragu.

“Walaupun itu butuh waktu lama buat aku bisa percaya, atau bahkan jatuh cinta sama kamu Mas?” tanya Farah, lirih.

Azzam mengangguk pelan. Tangannya mengusap pipi Farah dengan lembut. “Iya. Saya bakal tunggu, sampai kamu bener-bener bisa menerima semuanya.”

Farah terdiam untuk beberapa saat dan kembali berucap. “Mbak Sienna bagaimana Mas?”

Pertanyaan itu menghantam Azzam seperti sesuatu yang tidak siap ia hadapi.

Pria itu tertegun.

Bibirnya bergerak, tapi suaranya tidak keluar. Sorot matanya berubah—hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat dada Farah terasa sesak.

Farah menahan napas.

“Apa… Mbak Sienna sebegitu pentingnya buat kamu Mas?”

.

.

.

.

.

.

Tbc

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!