Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Mau kah kau menikah dengan ku?
Di ruang kerjanya yang redup, Dirga menatap layar CCTV rumah dinas yang tersambung ke ponselnya. Anna tertidur di kursi dengan Alvaro di pelukan dan Almira di boks bayi. Napasnya pelan, tapi jelas sekali tidurnya bukan tenang, melainkan kelelahan setelah trauma.
Dirga mengembuskan napas keras. “Kamu aman, Na … sekarang kamu aman.”
Tapi hatinya belum tenang. Bukan sebelum ia benar-benar memastikan Dimas tak bisa kembali menyentuh Anna.
Keesokan paginya.
Pukul lima pagi, Dirga pulang. Matanya merah, bau asap kopi dan keringat dari baju dinasnya masih tajam. Begitu masuk ke ruang tamu, ia mendapati Anna sudah bangun, berdiri dengan wajah cemas.
“Kapten … Mas Dimas… bagaimana?”
Dirga menghampirinya pelan. “Sudah ditangkap.”
Anna menutup mulutnya, matanya memerah. Dirga ingin memeluk, tapi ia menahan diri.
Namun Anna yang justru mengambil langkah pertama. Ia meraih lengan Dirga, menggenggamnya kuat-kuat seolah takut jika berita itu hanya mimpi.
“Terima kasih … Kapten…” suaranya bergetar.
Dirga mengangguk. “Tugasku melindungi kamu dan anak-anak.”
“Tapi ini bukan cuma tugas, kan?” tanya Anna lirih.
Pertanyaan itu menusuk. Dirga menelan ludah, menatap wanita yang kini jauh lebih dekat dengannya daripada yang pernah ia bayangkan.
“Bukan,” jawab Dirga jujur. “Ini bukan sekadar tugas.”
Anna menunduk, wajahnya merah. Tapi ia tidak melepaskan genggaman.
"Siang nanti aku kembali ke kantor," ucap Dirga, Anna mengangguk.
Siang itu.
Sementara itu, di ruang interogasi, Dimas yang babak belur menatap tajam anggota yang menangkapnya.
“Kalian kira kalian hebat? Kapten kalian itu cuma...”
Pintu terbuka keras, Dirga masuk. Ruangan mendadak sunyi. Bahkan dua anggota lain merapat ke dinding, memberi ruang. Dirga mendekati Dimas perlahan, tatapannya tajam seperti pisau.
“Kau hampir menyentuh Anna lagi…” suara Dirga rendah namun menggelegar.
“Ingat yang aku bilang waktu itu? Kalau kau berani kembali ke hidupnya…” Dirga mendekat, wajah mereka nyaris sejajar, “aku sendiri yang akan membereskanmu.”
Dimas menelan ludah, namun mencoba melawan. “Kalau bukan dia, aku nggak bakal begini. Dia bikin aku hilang akal! Dia bikin aku...”
Dirga meraih kerah baju Dimas dan menghentakkannya ke dinding.
“Jangan pernah salahkan korban atas kebusukanmu,” desis Dirga.
Dimas ketakutan untuk pertama kalinya.
“Bawa,” perintah Dirga pada anak buahnya. “Pastikan persidangannya cepat. Dia harus masuk jauh, lama, dan nggak punya kesempatan keluar.”
Dimas diseret keluar, tanpa bisa melawan lagi.
Setelah urusan Dimas selesai, Dirga kembali ke rumah dinas. Kali ini, langkahnya lebih ringan. Tapi hatinya justru penuh pikiran lain, Anna dan anak-anak. Perasaan yang makin sulit ia sembunyikan.
Saat ia masuk, Anna sedang duduk di sofa sambil meninabobokan Almira. Alvaro tidur di boks. Cahaya matahari masuk menembus jendela, memantulkan lembut di wajah Anna.
Dirga hampir berhenti bernapas. Perempuan itu tampak seperti istri yang menunggunya pulang.
“Capek ya?” tanya Anna pelan.
“Sedikit,” jawab Dirga sambil duduk di sebelahnya.
Anna melihat ke wajah Dirga, menatap lama. “Terima kasih … bukan cuma karena menangkap Mas Dimas … tapi karena nggak pernah ninggalin aku waktu aku takut.”
Dirga mengusap wajahnya, lalu menatap Anna balik. “Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji.”
Anna menunduk, tersenyum kecil, senyum yang lebih hangat daripada biasanya.
“Kapten…”
“Hm?”
“Setelah semua ini … apa aku dan anak-anak … masih boleh tinggal di sini?”
Dirga menatapnya. “Kamu bukan cuma boleh tinggal…”
Anna terkejut.
“Aku ingin kamu tetap di sini.”
Anna menelan ludah. “Sampai kapan…?”
Dirga hampir mengatakannya, sampai aku melamar kamu. Tetapi ia menahannya.
“Sampai kamu merasa aman,” katanya lembut. Anna tersenyum lagi, kali ini lebih dalam.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Anna meletakkan selimut kecil ke tubuh Alvaro dan membetulkan posisi Almira. Dirga menutup pintu kamar pelan.
Keduanya berjalan keluar ke ruang tamu yang sunyi. Lampu redup membuat suasana begitu intim.
“Kapten,” panggil Anna lirih.
“Hm?”
“Boleh aku bilang sesuatu?”
“Boleh.”
Anna menggigit bibir bawahnya, ragu. “Aku … mulai merasa aman kalau Kapten ada.”
Dirga berhenti, itu bukan kalimat biasa itu pengakuan. Ia mendekat satu langkah, lalu satu langkah lagi.
Sekarang jarak mereka hanya sejengkal.
Anna mengangkat wajah. Dirga menatapnya dalam.
“Anna…” suara Dirga pelan. “Aku juga…”
Namun sebelum kata itu selesai, Almira menangis dari kamar. Keduanya refleks saling berpandangan dan tertawa kecil.
Dirga menghela napas, tersenyum hangat.
“Nanti kita lanjut,” katanya.
Anna menunduk malu. “Iya.”
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Balkon kamar Dirga remang, hanya diterangi lampu kecil dan cahaya bulan. Di meja kecil, secangkir kopi sudah mendingin, asapnya sama sekali tak lagi terlihat. Dirga duduk bersandar di kursi kayu, bahunya turun berat bukan karena lelah fisik, tapi karena hatinya sedang penuh.
Dia menatap rumah dinas yang kini berbeda sejak Anna dan si kembar datang. Ada lampu lembut dari kamar bayi, dan setiap suara kecil membuatnya tersenyum tanpa sadar.
Dirga sendiri nyaris tak percaya dirinya bisa merasakan hangat seperti ini lagi.
Dari dalam rumah, langkah pelan terdengar. Anna lewat di lorong menuju dapur, rambutnya tergerai rapi, wajahnya masih tampak lelah tapi lebih tenang dari sebelumnya.
Begitu melihat sosok Dirga di balkon, Anna berhenti.
“Kapten?” panggilnya pelan.
Dirga menoleh. “Belum tidur?”
Anna tersenyum tipis. “Anak-anak yang udah tidur. Aku mau ambil air.”
Dirga menatapnya lama. Ada sesuatu di mata pria itu mendalam, seolah sedang menimbang sesuatu yang besar.
“An,” panggil Dirga akhirnya. “Temenin aku sebentar?”
Anna terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya.”
Dia mendekat dan duduk di kursi sebelah Dirga. Angin malam menyibak sebagian rambutnya, dan Dirga diam-diam ingin merapikannya, tapi ia tahan.
Suasana hening, tenang dan nyaman.
Anna menatapnya. “Kenapa Kapten belum tidur?”
Dirga menghela napas panjang. “Ada hal yang … belum selesai aku putuskan.”
“Masalah tugas?”
“Bukan.” Dirga menatap Anna lurus-lurus. “Ini soal kamu.”
Anna mengerjap, jantungnya berdebar tanpa alasan. Dirga meraih cangkir kopinya, tapi tak meminumnya. Ia hanya menggenggam, seolah butuh pegangan sebelum mengucapkan sesuatu yang akan mengubah hidup mereka.
“Anna…” suaranya dalam. “Aku sudah lama mikir ini dan malam ini aku sudah yakin.”
Anna makin bingung. “Yakin tentang apa?”
Dirga menelan ludah. Lalu, perlahan, ia berlutut di depan Anna.
“Ka–kapten … apa yang...”
Dirga menatapnya dari bawah. Matanya jujur, tenang, tapi penuh harapan yang besar.
“Anna … maukah kamu menikah dengan ku?”
Jantung Anna seolah berhenti berdetak. Dirga melanjutkan, suaranya mantap.
“Aku tahu waktunya mendadak … tapi aku nggak pernah ragu sejak aku kenal kamu. Aku ingin kamu aman, ingin kamu bahagia … dan aku ingin anak-anak kita punya keluarga lengkap.”
Anna menutup mulutnya, napasnya terengah. Ia tak menyangka. Sama sekali tidak.
“Kapten … aku…" Suaranya pecah.
Dirga menunggu, dia tidak bergerak, tidak memaksa.
“Kalau kamu butuh waktu, aku...”
Anna menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. “Aku … aku bingung. Ini terlalu cepat.”
“Karena kamu belum siap?”
Anna menatapnya, lalu menghela napas panjang. “Bukan karena itu. Aku cuma … takut aku nggak cukup baik buat Kapten.”
Dirga langsung berdiri dan duduk lagi di depan Anna, menatapnya serius.
“Kamu ibu dari anak-anakku. Kamu perempuan yang paling ku percaya. Dan kamu yang bikin rumah ini terasa hidup.”
Dirga mendekat sedikit. “Itu lebih dari cukup.”
Anna menggigit bibir bawahnya, menahan emosi.
“Anna…” Dirga mengulangi dengan suara lebih lembut. "Maukah kamu menikah denganku? Demi anak-anak … dan juga demi kita.”
Anna tidak langsung menjawab, Anna memejamkan mata sejenak, dan ketika ia membuka kembali, keputusannya sudah bulat.
“Baik…” bisiknya. “Aku mau.”
Dirga terpaku, Anna mengangguk pelan, namun tegas.
“Aku mau menikah dengan Kapten. Demi anak-anak … aku ingin mereka punya keluarga yang lengkap. Dan … aku percaya sama Kapten.”
Dirga tersenyum, senyum yang jarang muncul, hangat, dan melegakan. Tanpa sadar ia meraih tangan Anna dan menggenggamnya.
“Terima kasih, Anna.”
Anna mengangkat wajahnya. “Jadi … kita benar-benar akan jadi keluarga?”
Dirga mendekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Anna. Napas mereka saling menyentuh.
“Iya,” jawab Dirga pelan. “Mulai malam ini … kita keluarga.” bisiknya dan mengecup kening Anna pelan, hingga semua merah muncul di wajah wanita itu.
Angin malam berembus pelan, membawa kehangatan baru di antara mereka sebuah awal dari kehidupan yang tak pernah mereka bayangkan.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕