Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!” Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER—21
Cassia menata setumpuk dokumen ke dalam map hitam. Setiap lembar sudah ia baca ulang beberapa kali, memastikan tidak ada satu pun detail yang terlewat. Namun, sesaat Cassia mematung. Bayangan tadi malam saat Joel datang merangkulnya membuat ia jadi kurang fokus.
“Aaah… sudahlah Cassy, bukankah tadi malam kau dengar sendiri apa yang diucapkannya? Dia seperti itu karena kau merupakan sekretarisnya, makanya datang membantu. Agar seluruh pekerjaan hari ini berjalan dengan lancar,” gumam Cassia.
Jemarinya sempat bergetar, tetapi ia paksa kembali tenang. Ia tidak ingin terlihat lemah. Tidak ingin bersikap ceroboh. Tidak di hadapan Joel.
Suara langkah berat terdengar dari belakang. Joel sudah rapi dengan setelan abu gelap dan dasi hitam yang terikat sempurna. Wajahnya terlihat tenang, datar. Nyaris tanpa ekspresi.
“Sudah siap?” tanyanya singkat.
Cassia mengangguk, merapikan kancing blazer. “Dokumen rapat sudah tertata sesuai urutan presentasi, Tuan.” Ia menunduk, saat memberikan map tersebut.
Joel menerima map itu sekilas, lalu menatap Cassia sejenak. Tatapan seperti ingin memastikan sesuatu—yang mana membuat Cassia hampir salah tingkah. Wanita itu menguatkan diri. ‘Bukan Cassy… bukan sesuatu yang penting. Mata pria ini memang selalu begini.’
“Kita berangkat,” ucap Joel yang langsung disambut anggukan Cassia.
Keduanya berjalan menuju mobil. Supir membuka pintu belakang. Cassia masuk lebih dulu, disusul Joel yang duduk di sampingnya. Bau parfum maskulin Joel memenuhi ruang kecil itu—membuat Cassia kembali mengingat perihal tadi malam. Ketika mimpi, aroma parfum yang sama menguar di indera penciumannya. Terasa sangat nyata, bahkan pelukan hangat dari lengan itu juga masih terasa sampai sekarang.
Cassia berusaha menjaga jarak. Ia tak ingin kejadian serta mimpinya tadi malam membuat ia malah bersikap aneh dihadapan Joel. Meski sulit mengarahkan tubuh agar tidak terlalu dekat, tapi Cassia tetap berusaha. Ia memaling ke samping, memandangi bangunan-bangunan yang terlewat sambil menenangkan degup jantungnya.
Mobil melaju membelah jalanan kota yang masih setengah mengantuk.
Menjelang tiba di perusahaan, gedung kaca itu sudah terlihat menjulang elegan di depan. Cassia langsung meraih tasnya.
“Tuan,” katanya ragu, “turunkan saya di depan blok sebelah saja.”
Joel menoleh singkat. “Untuk apa?” Maniknya tampak memicing tidak senang. Namun, nada suaranya terdengar begitu rendah dan datar.
Cassia menggigit bibir. “Meski saya sekretaris anda. Namun, rasanya tidak etis jika orang lain melihat kita datang bersama. Saya tidak ingin orang-orang berpikir saya ada di posisi ini karena—”
“Siapa yang berani berpikir seperti itu?” Joel menyela. Tatapannya berubah tajam menatap Cassia. Namun nada bicaranya tetap tenang.
“Semua orang bisa, Tuan.” Cassia memaksakan senyumnya. “Dan saya tidak ingin dianggap sebagai sekretaris yang merayu tuannya,” imbuhnya kemudian.
Laju mobil melambat. Joel memijat pangkal hidungnya. Ekspresinya masih sama, datar juga tenang. “Kau sekretarisku. Kau bekerja dengan baik untukku. Siapa pun yang menganggapmu rendah, maka orang itu tidak punya otak.” Suaranya terdengar rendah. Akan tetapi isi kalimatnya begitu menusuk juga tajam. Lebih seperti seseorang yang menahan kesal.
‘Apa ia kesal untukku?’
‘Aaaa… jangan terlalu pede Cassia!’
“Tetap turunkan saya di sini, Tuan,” pinta Cassia lirih. Meski sempat tersanjung dalam hati atas pembelaan sang presdir secara tidak langsung. Tapi tetap saja ia teguh pada pendiriannya.
Joel menatapnya lama, seolah sedang menilai sesuatu di balik wajah Cassia. Lalu ia memberi instruksi pada supir untuk menghentikan mobil, tepat di trotoar sebelum belokan masuk ke perusahaan.
Ketika mobil sudah sepenuhnya berhenti, Cassia membuka pintu. Tetapi suara Joel menghentikan gerakan tangannya yang sedang mendorong pintu. “Cassia.” Suaranya pelan, namun tegas.
Cassia hendak keluar, tetapi suara Joel mencegahnya. Cassia menoleh.
“Jangan menunduk hanya karena omongan orang. Jika ada yang berani menghinamu karena menjadi sekretarisku, beritahu aku.” Joel memberi jeda ucapannya.“Aku tidak akan tinggal diam,” katanya dengan suara rendah namun dalam.
Cassia tersenyum, lalu mengangguk. “Terima kasih, Predir J.”
Cassia menutup pintu. Langkahnya tampak begitu stabil meninggalkan tempat itu. Ia menarik napas keras, lalu menegakkan punggung. “Hari ini harus sempurna.”
Cassia kemudian memasuki lobi perusahaan dengan langkah yang ia buat setegas mungkin. Sepatu haknya mengetuk lantai marmer—yang membuat beberapa pegawai yang sedang bercengkerama langsung terdiam ketika melihatnya lewat.
“Astaga, itu peneliti makanan yang beberapa hari ini baru saja menjabat sebagai sekretaris barunya Presdir J?” bisik seseorang.
“Ya, kau benar. Bahkan kemarin malam aku sempat lihat dia main masuk gitu aja ke dalam mobil Tuan J saat sedang parkir di depan market,” timpal yang lain dengan nada sinis.
“Haah… serius?” seseorang tampak terkejut mendengar hal tersebut.
Sementara Cassia yang sadar juga mendengar percakapan itu pura-pura tidak mendengar, sambil lalu lewat. Sejujurnya napas Cassia sempat menegang, tidak menyangka jika perihal tadi malam saat ia masuk begitu saja ke dalam mobil Joel ada orang kantornya yang melihat.
Setelah memasuki lift, Cassia mengempas napasnya kasar. Ia berusaha menenangkan diri, tidak boleh terganggu yang apa yang barusan didengar. Harus tetap fokus, mengingat sebentar lagi ia akan bekerja langsung dengan Joel di depan klien penting yang akan bekerja sama dengan perusahaan.
Sesampainya di lantai rapat eksekutif, dua staf sudah menunggu. Salah satunya, Mira, menatap Cassia dari ujung kaki hingga kepala dengan senyum yang nyaris tak terlihat ramah.
“Akhirnya datang juga, ya,” ucap Mira. “Padahal biasanya sekretaris baru suka datang telat kalau… punya kedekatan khusus dengan atasan,” cibirnya kemudian.
Entah apa maksud perkataan wanita itu, namun Cassia memilih untuk tidak menanggapinya. Hanya membalas sekilas tatapan tajam wanita itu sambil lalu masuk ke dalam ruang rapat.
Cassia menyalakan layar proyektor, memastikan susunan kursi rapi, dan menyusun dokumen sesuai jumlah peserta. Setiap gerakannya begitu cepat dan presisi, seolah ia sudah terbiasa melakukannya.
Sebagai peneliti ia memang dikenal sangat teliti. Kerap memeriksa ulang seluruh pekerjaannya dengan hati-hati, namun cepat. Mungkin itu sebabnya ia bisa cepat beradaptasi dengan pekerjaannya sekarang.
Sepuluh menit sebelum rapat, ia memeriksa kembali map utama. Tidak boleh ada kesalahan, mengingat rapat hari ini sangat penting untuk perusahaan.
Cassia terdiam. Bayangan Joel tadi malam kembali terlintas di benaknya. Cassia meremas map di tangannya. Ia tidak seharusnya merasa terpengaruh. Joel adalah atasannya. Tidak lebih dari itu. Dan untuk semalam bukankah sudah jelas, jika pria itu menenangkannya karena ia merupakan sekretarisnya?
Joel tidak ingin ketakutan Cassia menjadi penghambat pada rapat pagi ini. Memastikan Cassia baik-baik saja, hanya karena profesionalitas kerja. Tidak lebih dari itu.
“Cassia… presentasi hari ini harus mulus, karena kliennya tidak mudah diyakinkan,” kata manajer senior, Pak Adnan, yang baru saja masuk tanpa melihat ke arah Cassia.
“Tentu, Pak,” jawab Cassia singkat.
Tak berselang lama, para petinggi lain pun mulai berdatangan. Beberapa hanya mengangguk padanya, beberapa mengabaikan seolah ia hanya perabot ruangan. Namun Cassia tetap tegak, tetap profesional, sampai pintu itu kembali terbuka—yang lantas membuat ruangan hening seketika.
Joel masuk. Tatapan semua orang sontak berubah. Aura kepemimpinannya memenuhi ruangan tanpa perlu kata-kata, berjalan menuju posisi ujung meja dengan langkah mantap.
Namun sebelum duduk, matanya singgah pada Cassia. Hanya sepersekian detik. Cukup untuk menunjukkan bahwa ia memperhatikannya.
“Apakah presentasinya sudah siap?” tanya Joel.“Semua sudah dipersiapkan sesuai permintaan anda, Tuan.” Suara Cassia stabil.
Joel mengangguk kecil. “Bagus.”
Lalu ia mempersilakan klien masuk. Seorang pria paruh baya berwibawa dan dua asistennya memasuki ruang rapat. Cassia menyambut, menyerahkan dokumen dengan senyum tipis yang sopan.
Rapat dimulai.
Joel memaparkan visi strategis perusahaan dengan artikulasi yang presisi. Klien mendengarkan dengan raut tertarik. Setiap kali Joel meminta data pendukung, Cassia sigap menyajikannya, seolah mereka mempunyai koordinasi yang sudah terlatih bertahun-tahun.
Akan tetapi pada satu titik, salah satu petinggi internal sengaja menyela. Nada suaranya meremehkan. “Informasi ini dari sekretaris baru, ya? Perlu kita pastikan akurasinya.”
Joel menghentikan penjelasannya. Ia melirik Cassia sebentar, lalu menatap si petinggi dengan sorot dingin. “Saya tidak mengizinkan anda meragukan staf saya tanpa alasan. Terlebih soal data yang sudah saya verifikasi secara pribadi.”
Mendengar ucapan Joel, wajah petinggi itu memucat. “M- maaf, Presdir J… barusan saya hanya… memastikan,” katanya hati-hati.
Joel menghiraukan, ia lantas kembali meneruskan presentasi tanpa memberi ruang untuk pembelaan petinggi itu lebih lanjut.
Cassia menunduk sedikit, bukan karena takut, tetapi karena ada sesuatu di dadanya yang terasa hangat dan menyakitkan sekaligus.
Klien tersenyum puas. “Kerja yang sangat baik, Mr.J. Saya setuju dengan langkah ini. Tim Anda kompeten.”
Joel berdiri dan mengulurkan tangan. “Terima kasih. Kami akan memberikan yang terbaik.”
Cassia melihat ekspresi kecil yang nyaris tidak pernah ia lihat sebelumnya. Rasa bangga di wajah Joel, rasa puas—yang tanpa sadar malah ikut membuatnya tersenyum.
Rapat selesai dengan hasil kemenangan bagi perusahaan.
Ketika semua orang keluar, Cassia gegas membereskan semua dokumen yang ada di sana. Joel masih berada di kursinya, memperhatikan layar yang mulai gelap, lalu menoleh perlahan.
“Cassia.”
“Ya, Tuan?” sahut Cassia sigap dengan tubuh tegak.
Joel berjalan mendekat, suaranya rendah dan jernih. “Terima kasih, karena kau sudah melakukan pekerjaan yang sangat baik hari ini.”
Cassia terdiam. Seperdelapan detik ia seolah merasa dunia berhenti. Sebuah pujian sederhana, tetapi cukup untuk membuat seluruh kerja keras paginya pagi ini terasa berarti.
“Terima kasih, Tuan,” balas Cassia dengan semangat.
Dan Joel terus menatapnya seolah ingin mengatakan lebih banyak. Namun, kalimat itu tak pernah ia lahirkan. Joel mengembuskan napas pelan, sebelumnya akhirnya meninggalkan ruangan tersebut.
‘Kenapa aku merasa barusan Predir J ingin mengatakan sesuatu?’ batin Cassia. Akan tetapi ia langsung membuang pemikiran tersebut dengan cepat, lalu kembali menyelesaikan tugasnya.
Suara langkah terdengar tergesa. Tampak sosok lain masuk ke dalam ruangan tersebut menghampiri Cassia. “Cassy.” Lalu memeluk tubuh Cassia dari belakang.
Bersambung.