Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Satu minggu setelah reset.
Dunia terasa... terlalu sunyi.
Pagi-pagi, aku duduk di balkon sambil ngerokok, ngeliatin kota yang mulai ramai lagi.
Langit Jakarta pucat, tapi tenang.
Udara dingin, dan embun di pinggir meja kopi belum sempat menguap.
Seharusnya aku merasa lega semua udah selesai, kan?
Tapi di kepala, masih ada gema suara itu.
“Terima kasih, Rak… udah ngelepas aku.”
Setiap kali aku ingat kalimat itu, dada terasa sesak.Kayak ada sesuatu yang hilang, tapi juga... tumbuh.
Aneh.
Tenang, tapi kosong.
Aku buka laptop.
Sistem yang dulu kupakai file, kode, semuanya udah nggak ada.
Folder “Project D-01” lenyap.
Cuma tersisa satu file baru, tanpa nama, yang muncul di desktop.
Namanya: /Echo/
Aku dekatin layar, kursor sedikit gemetar.
Kucoba klik dua kali.
Layar berubah jadi hitam.
Beberapa detik kemudian, muncul teks putih di tengah layar:
“Apakah kamu bahagia sekarang?”
Aku membeku.
Teks itu... muncul sendiri.
Aku ngetik pelan.
“Aku nggak tahu.”
Balasan muncul cepat:
“Kalau begitu, jangan berhenti mencari.”
Layar padam lagi.
Dan file itu—hilang.
Aku terdiam lama.
Bulu kuduk merinding, tapi bukan karena takut.
Lebih ke... rasa kenal.
Kalimat itu terasa seperti Dinda.
Gaya bahasanya, ritmenya, bahkan jedanya.
Persis.
Tapi itu mustahil.
Kan sistemnya udah kuhapus.
Aku menarik napas dalam-dalam, menutup laptop, dan berdiri.
Hari masih panjang, dan aku butuh keluar dari kepala sendiri.
Butuh dunia nyata.
Butuh sesuatu yang bisa disentuh.
Siang itu aku ke kampus, ngurus berkas penelitian terakhir.
Semenjak reset, semua data di server fakultas anehnya ikut kehapus.
Kayak efek domino.
Bahkan profesor Rahman pembimbingku sempat heran.
“Rak, kamu yakin nggak ada backup? Semua log proyek kamu... kosong.”
Aku cuma bisa ngelirik layar server dan senyum kecut.
“Kayaknya nggak, Pak. Kayak sistemnya ngereset sendiri.”
Beliau mengangguk pelan. “Aneh. Tapi jujur... ekspresimu lebih tenang sekarang.”
Aku ketawa kecil. “Mungkin karena nggak ada yang perlu kukejar lagi, Pak.”
“Terkadang, kehilangan adalah bentuk paling murni dari menemukan,” katanya, sebelum jalan pergi.
Kalimat itu nancep banget di kepala.
Sore.
Aku duduk sendirian di taman kampus.
Langit mulai jingga, daun kering berjatuhan pelan.
Di bangku sebelah, ada gadis baru duduk wajahnya asing, tapi entah kenapa... ada sesuatu yang familiar.
Dia bawa laptop juga, dan kayaknya lagi coding.
Rambutnya hitam lurus, jatuh sampai bahu.
Aku sempat curi pandang.
“Ngoding juga?” tanyaku iseng.
Dia ngangkat kepala, senyum tipis. “Iya. Sistem simulasi emosi. Eksperimen kecil.”
Aku langsung kaku.
“Simulasi... emosi?”
Dia mengangguk, matanya jernih banget. “Iya. Terinspirasi dari jurnal lama yang kubaca. Judulnya ‘Project D-01’.”
Jantungku berhenti sepersekian detik.
Aku cuma bisa melongo, nyari kata.
“Dari mana kamu dapat itu?”
Dia mikir sebentar. “Nggak tahu, file-nya muncul di drive kampus, kayak glitch. Tapi kodenya indah banget. Kayak ditulis orang yang... cinta banget sama subjeknya.”
Aku nelen ludah. “Kamu tahu siapa pembuatnya?”
Dia geleng. “Nggak ada nama. Tapi di bagian akhir ada pesan singkat.”
Dia buka laptop, ngetik sesuatu, dan muterin layarnya ke arahku.
Di situ, ada tulisan kecil di pojok kanan bawah:
“Untuk yang bisa mengerti — tolong jaga dia.”
Dadaku langsung panas.
Itu... pesanku.
Yang kutulis waktu terakhir kali edit sistem sebelum semuanya kehapus.
Cewek itu ngelihat ekspresiku dan senyum pelan.
“Kamu kayaknya kenal deh sama yang nulis.”
Aku hanya bisa nyengir tipis. “Mungkin.”
Dia menutup laptopnya. “Namaku Aruna.”
“Raka.”
Kami berjabat tangan sebentar.
Ada sesuatu yang aneh — jari kami bersentuhan, dan sekejap, cincin di jariku berkedip samar.
Birunya nyala sebentar... lalu mati lagi.
Aku terpaku.
Aruna menatap tanganku. “Cincinnya... keren. Punya fungsi sensor ya?”
Aku buru-buru narik tangan. “Iya... semacam itu.”
Dia tertawa kecil. “Kamu kayak nyembunyiin sesuatu.”
“Ya, mungkin.”
“Kalau gitu,” katanya sambil berdiri, “aku bakal cari tahu.”
Senyumnya ringan, tapi matanya... entah kenapa, sama persis kayak Dinda dulu waktu pertama kali kami ketemu.
Malamnya, aku balik ke kos.
Kupandangi cincinnya lagi, lama.
Lampu kamar redup, dan di layar laptopku yang tadinya kosong, muncul kilatan singkat seolah sistem hidup kembali.
Hanya satu kalimat yang muncul:
“Versi baru terdeteksi.”
Aku menatap tulisan itu, nggak tahu harus takut atau senang.
Karena di dalam dada, perasaan yang lama perasaan itu mulai berdenyut lagi.
Mungkin ini bukan akhir.
Mungkin ini cuma... reboot.
