NovelToon NovelToon
Tumbal (Di Angkat Dari Kejadian Nyata)

Tumbal (Di Angkat Dari Kejadian Nyata)

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Tamat
Popularitas:489
Nilai: 5
Nama Author: Rosy_Lea

Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidur di villa, malem

Pak Erte, Pak Erwe, sampe tetangga sekampung pun udah turun tangan semua, semua coba bujukin Pak Su biar mau diajak kontrol lagi…

Tapi hasilnya? Nihil, besty.

Pak Su tetep kekeh kaya batu karang ditabrak ombak, nggak goyang, nggak geser.

Udah dibujukin pakai logika, perasaan, bahkan nostalgia pun tetap nggak mempan.

Yang ada kita semua malah lelah batin berjamaah.

Ya, seharian itu orang-orang silih berganti datang nengokin sambil berusaha ngebujuk, tapi hasilnya nol besar, semua usaha cuma berujung sia-sia belaka.

Sampe akhirnya pas suasana lagi sepi, tiba-tiba suara Pak Su terdengar dari ruang tamu, manggil mamanya.

“Ma... Mama...”

“Iya, Rik? Kenapa?”

“Mama ngomong apa sih ke orang-orang? Kata Pak RW tadi, mama yang nyuruh mereka bujuk aku buat kontrol lagi.

Mama tuh nggak percaya sama anak sendiri? Aku denger sendiri Pak Ustadz bilang pengobatan udah selesai, nggak perlu balik lagi!

Sikap mama itu malah bikin malu, Ma. Nggak usah paksa-paksa aku lagi! Sekalipun dipaksa, aku nggak akan balik ke sana!”

"Rik, denger mama.. Mama pingin kamu kontrol berobat lagi biar kamu cepet sembuh, kamu bisa jalan lagi, kaya biasa"

"Mama, aku itu bentar lagi juga sembuh.. Cara mama itu salah! harusnya mama gelar sajadah mama do'ain anak mama biar cepet sembuh, bukan malah ngomong ke orang-orang di luar."

Suaranya tinggi, nadanya ngegas, emosi nggak ketahan.

Sementara aku di dapur, lagi jagain gorengan. Mau nyamperin tanggung banget, takut gosong. Kompor aja masih kompor langka, nyalanya labil, nyala-mati, nyala-mati.

Udah cukup satu yang panas, jangan sampai gorengannya ikut-ikutan.

Nggak lama kemudian mama lewat dengan langkah buru-buru, sandal jepitnya sampai diseret-seret saking tergesa-gesanya.

Akhirnya aku mengalah dulu, kompromi sama masakan ku yang belum kelar, biar mereka mau di pending dulu sebentar. Aku buru-buru nyusul mama ke belakang rumah.

Ternyata mama ada di dekat kandang bebek... duduk sendiri, menangis. Air matanya jatuh satu-satu, sedih banget, nangis sendirian di pojokan seperti menanggung beban yang nggak bisa dibagi ke siapa-siapa.

Aku samperin mama, duduk pelan di sampingnya, lalu aku peluk... aku peluk lama, sambil mama masih terus nangis. Nggak ada kata-kata dulu, cuma pelukan dan doa dalam hati supaya tangisnya reda.

Setelah agak tenang, aku bisikin pelan,

"Ma, yang tabah ya ma... mama kuat, mama nggak sendiri."

Mama masih diam, lama... lalu pelan-pelan dia jawab,

"Mama tuh kayak nggak pernah dimengerti sebagai orang tua. Salah terus... capek, Yu. Mama capek banget."

Aku usap punggungnya pelan,

"Ma... Erik kan lagi agak laen, mama juga tahu. Jangan diambil hati ya ma..."

Lalu aku tambah, jujur dari hati,

"Aku juga, Ma... kalau nurutin perasaan, dari kemarin mungkin udah balik ke rumah ibu... kalau nurutin perasaan, mungkin aku udah nggak di sini sejak kemarin-kemarin.

Aku bisa aja telepon ibu, ceritain semuanya… dan aku yakin ibu nggak bakal tinggal diam lihat anak perempuannya diperlakukan seperti ini.

Tapi aku nggak lakuin itu, Ma. Aku diem, aku tahan, aku tetap di sini. Aku sabar, bukan karena aku nggak punya siapa-siapa, tapi karena aku tahu di sini siapa yang butuh aku. Padahal, aku punya keluarga yang siap pasang badan buat aku, Ma…

Dan Ma, sampai sekarang aku memang belum ngabarin apa-apa ke keluargaku. Bukan karena nggak peduli, tapi karena aku tahu… kalau aku cerita sekarang, aku pasti nangis.

Bukan karena musibah yang menimpa Erik, tapi karena perlakuan di sini, Ma. Dan kalau ibu aku tahu aku nangis karena itu, beliau pasti nggak akan tinggal diam. Ibu mana yang bisa tenang lihat anak perempuannya diperlakukan seperti ini."

Ya aku utarain aja semuanya, aku jeplak-jeplakin semua yang aku rasa. Biar mama tau, aku tuh berjuang mati-matian di sini.

Capek badan, capek tenaga, pikiran kerasa ditarik ke mana-mana. Tiap hari dibentak, disenggol, dimarahin… Nggak ada yang nguatin, aku tahan.

Tapi giliran mama kesenggol sekali aja, langsung sedih, langsung drama. Aku bukan mau bandingin, Ma… tapi biar mama juga tau rasanya berdiri sendirian sambil terus dipukul dari segala arah.

Hadeuh… emang bener ya, ujian paling berat itu datang dari orang yang paling kita sayang. Yang paling berarti dalam hidup. Ya namanya juga ujian, kalau nggak dari yang deket, nggak bakal berasa sakitnya.

Setelah kejadian itu, hari-hari berjalan seperti biasa lagi. Soal perkembangan Pak Su? Ya… nggak bisa berharap banyak juga.

Bedanya, kalau dulu di awal-awal beliau lebih sering tidur, matanya lebih banyak merem, mungkin tubuh dan pikirannya masih butuh banyak istirahat.

Sekarang justru sebaliknya. Delapan puluh lima persen harinya diisi dengan omelan, ceramah, dan keluhan panjang pendek. Tidurnya mulai jarang, tapi keluhannya makin sering. Dan satu hal yang terus diulang-ulang: pertanyaan.

"Aku kenapa sih?"

"Kenapa tangan ini kaku?"

"Kenapa kaki kanan sakit dan nggak bisa digerakin?"

Kadang aku bingung harus jawab apa, ini pak Su beneran ngga inget atau nggak sadar. dari sisi medis, logika, atau hati semua udah aku jelasin, tapi tiap waktu nanya terus.

Efek mistis atau efek kebentur terus bermasalah sama ingatannya, aku nggak tau, kan nggak pernah di bawa ke dokter, apa lagi ke rumah sakit. Yang pasti, aku cuma bisa terus ada di sampingnya... walaupun capek rasanya luar biasa.

*****

Pagi-pagi aku udah kelar ngurus rumah dan anak-anak. Aku terus bangunin Pak Su, tumben banget, habis subuh dia malah tidur lagi.

“Mbeeb, ayo makan,” kataku sambil pelan-pelan bantuin dia bangun. Dia buka mata, tatapannya kosong, agak linglung. Aku bantu dudukin, dan anehnya, pagi itu dia kalem banget.

Dia lama mandangin tangannya, terus liat ke arah kakinya...

“Kok nggak bisa gerak ya?” katanya pelan sambil celingak-celinguk.

“Yu, aku kenapa?”

Ya, pertanyaan rutinitas itu lagi.

Aku jawab seperti biasa, “Kamu jatoh dari pohon kelapa, Mbeeb…”

Pak Su diem. Ekspresinya kayak lagi nyari potongan memori.

“Inget nggak, Mbeeb, kamu naik pohon kelapa?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Nggak inget.”

“Kamu inget terakhir ngapain?”

“Tidur di villa, malem,” katanya bingung. “Kok sekarang di sini?”

Aku pun ceritain pelan-pelan kronologi kejadian beberapa minggu terakhir. Dia nyimak, sesekali ngangguk sambil ngunyah makanan.

“Berarti aku begini, cuma tiduran aja, nggak bisa ngapa-ngapain udah tiga minggu, Yu?” katanya setengah kaget.

“Iya…”

“Beneran nggak inget apa-apa, Mbeeb?”

“Nggak. Ingetnya tidur di villa.”

Aku penasaran, “Kamu nggak mimpi atau ngerasa aneh gitu pas tidur?”

1
Odette/Odile
Hebat deh penulisnya!
ナディン(nadin)
Dapet insight baru dari cerita ini
Rosy_Lea: Alhamdulillah, semoga insight-nya bermanfaat ya besty.. dan bisa jadi penguat juga buat jalanin hari-hari 💖✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!