Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Retakan Ingatan
Keesokan harinya, kampus kembali riuh. Mahasiswa baru memenuhi koridor, sementara panitia pentas seni masih sibuk membongkar perlengkapan.
Aku datang lebih awal, sengaja menunggu di area taman kecil yang biasanya ramai mahasiswa belajar. Mataku langsung menangkap sosok Nando yang berjalan bersama Bella. Mereka terlihat akrab, bercanda kecil sambil membawa buku-buku tebal.
Hatiku tercekat, tapi aku menunggu. Dan kesempatan datang ketika Bella dipanggil senior panitia.
Aku segera mendekat. “Nando,” panggilku lembut.
Dia tampak kaget, tapi kemudian tersenyum sopan.
“Kak Aura. Ngapain di sini?”
“Aku… kebetulan lewat. Eh, boleh nggak aku ngobrol sebentar sama kamu?” tanyaku hati-hati.
Nando menimbang sebentar, lalu mengangguk.
Semenjak kejadian kemarin, hubunganku dan Nando menjadi sedikit canggung. Ada jarak yang sengaja dibangun oleh Nando dan aku tahu itu pasti karna Ali.
Aku sudah berusaha menjelaskan semuanya pada Ali bahwa kejadian itu sepenuhnya salahku. Tapi, sepertinya hubungan keduanya pun tak seramah dulu.
Aku tidak mengerti. Apa Ali cemburu? Apa dia mulai curiga?
Tapi, aku tidak peduli karena misiku adalah mengembalikan ingatan Nando. Akan aku mulai dari hari ini.
Kami duduk di bangku taman. Daun-daun berguguran, suasana cukup sepi. Aku mengeluarkan sesuatu dari tas—sebuah buku catatan lusuh yang selama ini kusimpan. Buku itu penuh coretan lirik dan nada.
“Aku nemu ini waktu beberes,” kataku sambil menyodorkannya.
Nando menatap buku itu lama. Jari-jarinya menyentuh halaman pertama. Perlahan wajahnya berubah.
Aku bisa melihat matanya menyipit, napasnya memburu.
“Ini… aku pernah nulis ini?” bisiknya, seakan pada diri sendiri.
Aku menahan napas.
“Mungkin. Coba lihat halaman terakhir.”
Dia membuka pelan. Ada lirik yang pernah dia tulis khusus untukku. Saat membacanya, tubuhnya bergetar.
Dan tiba-tiba—
“Aaahh!” Nando memegangi kepalanya.
Aku panik.
“Nando! Kamu kenapa?”
Dia menunduk, wajahnya pucat.
“Aku… aku lihat sesuatu. Kilasan. Aku duduk di taman kecil, main gitar, ada… ada perempuan di sampingku. Dia tertawa, rambutnya panjang, matanya hangat…”
Suaraku tercekat. Itu aku, Nando. Itu aku.
“Siapa dia, Kak Aura? Kenapa aku nggak bisa lihat jelas wajahnya?” suaranya gemetar.
Air mataku nyaris jatuh, ada kegembiraan meletup, tapi aku buru-buru menahannya. Aku tak bisa gegabah.
“Mungkin itu memang bagian dari masa lalumu. Jangan takut. Kamu akan ingat semuanya pelan-pelan.”
Sebelum aku sempat bicara lebih jauh, suara langkah mendekat. Bella.
“Nando!” wajahnya khawatir saat melihat Nando memegangi kepala. “Kamu kenapa? Sakit lagi?”
Nando buru-buru menutup buku catatan itu. Wajahnya sengaja dibuat lebih tenang. Aku hanya bisa menatap Nando dengan heran.
“Aku nggak apa-apa. Cuma… pusing sedikit.”
Bella menatapku curiga, ada kilat tak suka yang jelas. Lalu meraih lengan Nando.
“Ayo, aku antar ke klinik kampus. Jangan dipaksa. Kamu harus istirahat.” ucapnya. Seolah itu adalah usaha untuk menjauhkan Nando dariku.
Aku ingin menolak, ingin menahan tapi tak bisa. Aku hanya bisa menatap mereka menjauh dengan dada yang semakin sesak.
Malamnya, aku menerima pesan singkat dari Nando.
“Kak, bolehkah aku ketemu lagi besok? Aku… butuh tahu lebih banyak soal masa laluku.”
Tanganku gemetar membaca itu. Senyumku muncul meski air mata jatuh bersamaan.
Dia mulai percaya padaku. Dia mulai ingin mencari kebenaran.
Tapi aku juga sadar—setiap langkah makin berbahaya. Jika Ali sampai tahu, mungkin bukan hanya Nando yang akan tersakiti. Jadi, mulai sekarang aku harus berhati - hati.