Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit
Langkahnya yang terburu-buru membawa Khansa masuk ke dalam rumah. Sorot matanya tidak terlepas menatap mata Khansa yang terpejam.
Hatinya merasa sangat takut jika sesuatu terjadi pada Khansa. Untuk yang kedua kalinya Zidan melihat Khansa dalam kondisi seperti ini, jika dilihat kali ini Khansa dua kali lebih parah. Selain kondisi tubuhnya, kakinya juga terkilir, dan mungkin hatinya juga terasa sakit.
“Bibi!” teriak Zidan yang akan menaiki anak tangga.
“Iya, den? Hah? Non Khansa kenapa, den?”
“Bi, sekarang panggilin dokter ya? Zidan akan coba bangunin Khansa,” pintanya.
“Baik, den. Bibi akan panggilkan dokter.”
“Makasih, bi. Jika sudah selesai, antarkan air hangat buat kompres kaki Khansa ke kamar ya bi. Sekalian juga sama teh hangatnya buat Khansa.”
“Iya den, bibi akan rebuskan sekarang.” Zidan mengangguk lalu kembali menaiki anak tangga. Membawa Khansa ke kamarnya.
Dengan sangat hati-hati Zidan membaringkan Khansa, menatap wajahnya yang semakin pucat. Zidan meraih tangan Khansa, memegangnya dengan erat, bahkan Zidan mencium tangan Khansa.
“Aku mohon bangunlah,” lirih Zidan yang masih setia memegang tangan Khansa. “Ah iya!” Zidan mengambil sesuatu dari dalam laci.
“Semoga kondisimu lebih baik.” Zidan mengoleskan minyak pada leher Khansa. Ia teringat perkataan ibu mertuanya jika untuk menyadarkan Khansa memberikan minyak pada leher dan dadanya.
Zidan menghela nafasnya berat, lalu mengangkat tubuh Khansa, membuka resleting dress nya, perlahan menurunkan dressnya hingga batas dada.
“Maaf, Sa. Aku terpaksa melakukan ini,” ujar Zidan yang mulai mengoleskan minyak pada leher hingga ke dada Khansa.
Zidan kembali membenarkan dress Khansa, beranjak untuk mengambilkan baju yang lebih nyaman untuk Khansa. Ia mengambil piyama tipis untuk Khansa.
“Apa aku harus melakukannya? Kalau minta tolong bibi, yang ada akan lapor ke mama. Itu akan bikin masalah baru, sepertinya aku memang harus melakukannya sendiri.”
Zidan menutup jendela kaca kamarnya dengan tirai, tidak lupa mematikan lampunya agar suasana menjadi gelap. “Ini lebih baik, meskipun sedikit sulit buat melakukannya.”
Langkahnya pelan seraya meraba-raba, karena pandangannya gelap, tidak ada yang terlihat di matanya. Ini tujuan Zidan, sangat tidak mungkin Zidan menggantikan pakaian Khansa secara gamblang, apalagi saat Khansa tau nanti. Zidan takut apa yang dilakukannya akan memperburuk hubungan mereka.
Alhasil Zidan memilih untuk menggunakan cara ini, mungkin tidak cukup aman dari kekesalan Khansa. Setidaknya Zidan tidak melihat tubuh Khansa secara langsung.
Memang sedikit sulit, tapi Zidan berhasil mengganti pakai Khansa dengan piyama yang ia ambil sebelumnya.
Zidan kembali menyalakan lampunya, tidak lupa menyelimuti tubuh Khansa. Zidan tidak bisa tenang karena dokter tidak kunjung datang. Zidan terus berjalan kesana-kemari, sembari menatap ke arah ranjang.
“Kenapa dokternya belum datang juga?” gumamnya yang mengusap wajahnya kasar. “Hari ini mama juga nggak pulang, jadi aku sendiri yang akan merawatnya. Lagipula ini juga sudah menjadi tanggung jawabku.”
Tok
Tok
Tok
“Den, dokternya sudah datang,” ujar bibi dari balik pintu.
Zidan membuka pintunya, “Dimana bi?” Zidan melihat seorang wanita dengan jas putihnya berdiri tidak jauh dari bibi, yang Zidan yakini adalah seorang dokter.
“Silahkan, dok.” Zidan mempersilahkan dokternya untuk masuk. “Istri pingsan dari tadi, dok. Kakinya juga terkilir.”
“Baik, saya akan periksa kondisinya.”
Bibi berdiri tidak jauh dari pintu, takutnya Zidan membutuhkan sesuatu, jadi memutuskan untuk tinggal. Lagipula Zidan juga tidak melarangnya.
Wajah Zidan sangat-sangat khawatir, bibi ikut merasa sedih karena Zidan begitu mengkhawatirkan Khansa.
Dokter mulai memeriksa kondisi Khansa, mulai dari mengecek nadi di tangan Khansa dan detak jantungnya. Lalu, dokter juga memeriksa mata Khansa.
“Bagaimana dok? Apa istri saya baik-baik aja?”
“Istri anda mengalami dehidrasi, dan juga mengalami anemia. Apa istri anda sedang datang bulan?”
Zidan diam sejenak, “Saya kurang tau, dok.”
“Baiklah, tidak apa. Yang paling penting jangan membuatnya stres, karena itu akan membuatnya pingsan. Istri anda tidak bisa mengalami tekanan emosi yang kuat, jadi sebisa mungkin perhatikan emosinya. Saya akan kasih resep, dan berikan sayuran hijau dan daging, itu akan membantu.”
“Baik dok.”
“Ini resepnya bisa ditebus di apotek terdekat.” Zidan mengangguk, menerima resepnya.
“Kalau begitu saya permisi. Ah iya, jangan biarkan istri anda berjalan terlalu lama. Saya juga sudah meresepkan obat untuk kakinya.”
“Saya mengerti, terima kasih dok.”
“Mari dok, saya antarkan.”
“Bi, sekalian tebus obat ini, dan jangan lupa siapkan makanan yang sudah dokter arahkan.”
“Baik, den. Mari dok.”
Kini hanya ada Zidan yang menemani Khansa seraya menunggu bibi menebus obat dan menyiapkan makanan untuk Khansa.
“Seharusnya aku mengajakmu makan terlebih dahulu. Maaf, karena masalah tadi kamu mengalami semua ini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa tertekan lagi.”
Zidan duduk di tepi kasur, menggenggam tangan Khansa dengan erat. Beribu maaf Zidan lontarkan dalam hati. Semua yang terjadi hari ini karena keputusannya yang harus memenuhi permintaan neneknya.
Tidak ada penyesalan Zidan menikahi Khansa, hanya saja ia menempatkan Khansa dalam situasi yang sulit. Jika bisa memilih, ia tidak akan pernah memiliki hubungan dengan Naya.
“Hanya karena popularitas, hubungan itu terjadi. Jika dari awal gue tidak peduli, mungkin hari ini Khansa tidak akan mengalami hal ini,” sesal Zidan.
Lagipula, Zidan dan Naya jarang bertemu meski menjadi sepasang kekasih. Sayangnya Naya terlalu sibuk karena ambisinya yang ingin menjadi model terkenal.
Dalam satu bulan, mereka hanya bertemu dua sampai empat kali. Bahkan untuk setiap minggu bertemu sangat jarang.
“Sekarang apa yang akan terjadi selanjutnya? Jika Naya sampai tau kalau hubunganku dengan Khansa bukan sepupu, itu akan memperbesar masalah. Dan aku tidak ingin terjadi sesuatu sama Khansa. Tidak! Tidak akan ku biarkan.”
“Sssttt,” ringis Khansa.
“Sa?!” Zidan merasa lega karena akhirnya Khansa sudah mulai sadar.
Khansa memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Kepalanya terasa berkunang-kunang, pandangannya juga masih kabur. Tapi, perlahan Khansa membuka matanya.
Hal pertama yang dilihatnya adalah Zidan yang menatap ke arahnya. Zidan yang tersenyum melihat Khansa yang sudah membuka matanya.
Khansa melirik tangan kirinya yang masih dipegang erat oleh Zidan. Ia berusaha menarik tangannya tanpa melihat Zidan. Karena saat ini Khansa menatap langit-langit kamar.
“Sa…” Khansa memalingkan wajahnya ke arah lain. Untuk saat ini ia tidak ingin bicara apapun dengan Zidan.
Maaf, seharusnya aku tidak marah denganmu. Tapi aku tidak bisa, hatiku nggak bisa menerima logikaku saat ini. Aku membutuhkan waktu, apalagi aku sudah melihat kekasihnya, batin Khansa yang berusaha menerima kenyataan yang ada.
Melihat Khansa yang akan duduk, Zidan langsung membantunya. Sekarang, Khansa sudah duduk bersandar. Namun, Khansa masih tidak ingin melihat Zidan.
Zidan mengerti, ia memilih diam menatap menunggu sampai Khansa mau bicara dengan dirinya.