“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Satu Ranj4ng
Eve mengedikkan bahu kecilnya, malas memikirkan kemungkinan-kemungkinan tak masuk akal.
Jika benar Alex tidak impoten, lalu mengapa Cristina meninggalkannya? Pria seperti Alex—tampan, mapan, penuh pesona—adalah definisi sempurna dari seorang pasangan impian.
Kalau Cristina benar-benar melepaskan pria seperti itu, satu-satunya kemungkinan adalah … wanita itu pasti sudah kehilangan akal sehatnya.
Begitu Eve masuk ke kamar, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, Manda menelepon dengan suara tawa yang nyaris meledak-ledak.
“MANDA!! Brengsek kau ya! Kenapa malah menghilang barusan?! Kau tahu, dia—dia pikir aku sedang menggodanya! Dan itu semua karena kau!”
Eve menekan suaranya sebisa mungkin, takut teriakannya menembus tembok kamar. Tapi rasanya dada ini ingin meledak. Kalau bisa, dia ingin mencekik leher sahabatnya itu secara langsung.
“Ya ampun, Eve! Tapi itu rayuan paling seksi yang pernah kulihat sepanjang hidupku!” sahut Manda di ujung sambungan, masih terbahak. “Harusnya kau sering-sering lakukan itu di depan suamimu.”
“Hei! Aku hanya sedang pamer gaya padamu, bukan menggoda dia sungguhan!”
“Yakin? Lalu kenapa kau tidak sekalian menggodanya tadi?”
“Manda! Jangan asal! Ini cuma pernikahan sementara. Lagipula … Alex impoten.” Suara Eve melemah, seiring rasa pahit yang tiba-tiba muncul dari dalam dadanya. “Dan aku juga ... aku juga tak bisa memberikannya keturunan.”
Terdengar hening sejenak di ujung telepon sebelum Manda berbicara lagi, kali ini dengan nada serius, “Eve … impoten bukan akhir dari segalanya. Zaman sekarang pengobatan sudah canggih. Apalagi suamimu itu—dia punya uang, akses, segala hal. Dan soal keturunan, kalau dia mencintaimu, pasti akan ada jalan.”
Eve menggigit bibir bawahnya. “Tapi dia tidak mencintaiku, Manda. Pernikahan ini bukan karena cinta … dia hanya butuh aku untuk mencapai tujuannya. Ayahnya yang meminta, karena kesehatannya sudah buruk. Itu saja.”
“Kalau begitu rebut hatinya, Ve. Jangan biarkan pernikahan keduamu gagal. Atau ... jangan-jangan kau masih cinta Noah?”
“Jangan pernah sebut nama itu lagi,” desis Eve tajam. “Setelah dia menceraikanku, aku tidak menyisakan satu pun ruang di hati untuknya. Balik ke mantan? Itu bukan pilihanku, bukan jalanku.”
“Bagus. Aku pun tidak akan izinkan kau kembali pada orang sepertinya. Lebih baik berusaha memenangkan hati Direktur Ace. Bikin dia sembuh dari impoten, dan ... siapa tahu, kalian bisa punya keluarga kecil seperti yang kau impikan. Masa sih, kau tega melepas pria seperti itu? Ibarat ada bongkahan emas di depan mata, dan kau malah tutup mata!”
Eve tertawa kecil. “Sejak kapan kau jadi pandai bicara?”
“Sejak tahu kau butuh ditampar pakai logika. Lagipula, aku yakin ... gerakan tadi bisa kau pakai lagi. Dengan sedikit des4han—ah... ah... ah—”
“MANDA!!” seru Eve jijik, langsung memutus sambungan itu dan memandangi ponselnya seperti benda terkutuk.
“Menjijikkan!” gerutunya. “Dan suaraku tidak seperti itu juga. Dia saja yang berlebihan!”
Namun, ucapan Manda kembali menggema di kepalanya. Tentang impoten yang bisa diobati. Tentang merebut hati Alex. Eve berusaha mengabaikannya, tapi kata-kata itu tetap menari-nari dalam pikirannya hingga ia terlelap.
…..
Pagi harinya, cahaya matahari menembus celah tirai dan langsung menusuk matanya. Eve mengerang pelan dan menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Tapi selimut itu tiba-tiba ditarik kasar. Matanya membuka spontan—dan apa yang dia lihat membuat jantungnya mencelos.
“Alex?!”
Pria itu berdiri di sisi ranjangnya, tampak dingin seperti biasa.
“Kau—kau kenapa di kamarku?!”
“Kau tidak menguncinya,” jawabnya ringan.
“Kalau begitu, keluar! Ini kamarku!”
“Aku ke sini hanya untuk membangunkanmu. Tempat ini akan dibersihkan. Mulai malam ini, kau tidak bisa tidur di sini.”
Eve mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Ibuku akan datang. Dan untuk sementara waktu, kita akan tidur satu kamar. Satu ranjang.”
“Apa?” Suaranya meninggi, nyaris seperti tercekik.
Alex menatapnya datar, tapi dengan nada menggoda, ia berkata, “Kenapa terkejut? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sebelumnya?”
Iya, tapi waktu itu dia tidak sadar! Sekarang beda. Mereka akan tidur bersama-sama dalam keadaan sadar penuh!
Bagaimana dia bisa melewati malam nanti?
Sejak pagi itu, gara-gara Alex mengatakan mereka akan tidur satu ranjang, Eve seolah kehilangan seluruh fokus dan konsentrasi. Tangan yang biasa cekatan melipat kotak kue kini malah salah arah, dan pandangannya kosong menatap ujung meja tanpa benar-benar melihat apa pun.
Shania dan Irish menyadari ada yang janggal, apalagi saat Shania memanggil namanya dan Eve malah terbengong seperti patung museum.
Shania menyenggol bahunya, pelan saja. Tapi reaksi Eve berlebihan. Seolah tubuhnya hanya selembar kapas yang baru ditiup angin, langsung terbang ke langit
“Shania!” sentaknya, refleks.
Shania mengerutkan kening. “Lagian, kamu kenapa, sih? Seperti orang yang tidak makan tiga hari tiga malam. Lemas sekali. Jangan-jangan … Alex menghabiskan tenagamu lagi?” cibirnya dengan nada menggoda.
“Sudahlah, jangan ganggu aku!” elak Eve, berusaha mengalihkan pandangan agar tak ketahuan wajahnya yang memerah.
“Ada masalah?”
“Tidak.”
“Tidak?” ulang Shania “Lihat wajahmu. Kemarin seperti mumi, sekarang sudah seperti … selembar kertas. Jasadnya di sini, tapi pikirannya entah ke mana.”
Eve mengumpat pelan, lalu melempar bantalan sofa ke kepala Shania yang langsung mengaduh.
“Jasad, kau bilang? Kau pikir aku sudah jadi mayat?!”
“Ya … mirip,” ujar Shania sambil nyengir, menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tak gatal.
Eve menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa sebelum akhirnya bangkit. “Sudahlah, aku mau ke panti sebentar. Kalian lanjutkan saja ini.”
Ia meletakkan kardus kue yang belum rampung dilipat, lalu pergi.
Di panti, suasana terasa lebih tenang. Udara berembus lembut lewat jendela terbuka, dan sinar matahari menyinari lantai kayu tua dengan hangat.
Liana, seperti biasa, duduk di atas kursi goyang dengan jarum rajut di tangan. Jari-jarinya yang sudah keriput tetap lincah, dan senyum di wajahnya tidak pernah pudar.
Eve menghampirinya, lalu berdehem pelan.
“Bu … apa Ibu tidak lelah? Seharian hanya merajut begitu?”
Liana tidak menjawab langsung, melainkan mengangkat hasil karyanya. Sebuah syal rajut berwarna merah gelap, hampir rampung. “Lihat ini! Bukankah ini sudah hampir jadi?”
Eve mengangguk, kagum. “Ya, ini … sangat indah.”
“Hari ini hari istimewa,” lanjut Liana, masih menatap rajutannya. “Kalau kau pulang nanti, aku ingin kau membawa ini dan berikan pada suamimu.”
Eve membeku sejenak. “Suamiku?”
Liana tersenyum kecil. “Anggap saja … hadiah pernikahan. Besok aku akan membuat satu lagi untukmu. Tapi hari ini, aku ingin memberikan ini dulu padanya.”
“Apa yang istimewa dengan hari ini?” tanya Eve pelan.
Liana terdiam sesaat. Pandangannya lurus ke depan, kosong, tapi penuh makna. Kemudian ia berkata lirih, “Hari ini … adalah hari kelahiran putra kecilku.”
Eve merasa seluruh tubuhnya menegang.
“Kau merindukannya?” bisiknya hati-hati.
Liana tidak menjawab. Tapi air yang menggenang di pelupuk matanya berkata lebih dari ribuan kata. Dan ketika senyuman kecil itu kembali muncul di bibirnya, Eve tahu wanita itu sedang menahan rindu yang tak akan pernah terobati.
“Dia sangat tampan, Eve. Kalau dia masih hidup … mungkin sekarang dia sudah punya keluarga kecil, seperti kalian.”
“Bolehkah aku tahu … kenapa Ibu kehilangan dia dulu?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa dicegah. Tapi setelah mengatakannya, Eve langsung menyesal. Wajah Liana mendadak murung. Ia berdiri perlahan sambil meraba tongkatnya, membalikkan badan menjauh.
Eve panik. “Bu, maaf. Tidak seharusnya aku bertanya. Abaikan saja. Aku yang salah.” Ia hendak pergi, tapi suara lembut Liana menahannya.
“Eve.”
“Iya?”
“Kemarilah.”
Dengan langkah hati-hati, Eve mendekat. Liana meraba wajahnya, lalu mengusap kepalanya lembut, seperti seorang ibu menyentuh anak kandungnya.
“Rasa ingin tahu bukan kesalahan, Nak,” katanya. “Tapi sekarang, aku ingin bertanya padamu … apa kau bahagia?”
Eve tercekat. Pertanyaan sederhana itu terasa seperti tamparan.
“Aku … aku ….”
Kata-kata itu tak pernah selesai. Eve ingin berkata ya, ingin meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Tapi tak ada satu pun kata itu yang sanggup melewati tenggorokannya.
Liana tersenyum mengerti. Ia menarik Eve ke dalam pelukannya. Hangat.
Setelah beberapa detik, ia melepaskan pelukan itu perlahan, lalu menunjuk ke arah jendela.
“Lihatlah anak-anak yang sedang bermain ayunan di sana,” katanya lembut, meski matanya tak benar-benar bisa melihat. “Mereka harus mengayun mundur dulu agar bisa melaju ke depan. Begitu pula hidup ini. Kadang kita harus mundur … agar bisa benar-benar melangkah maju.”
Eve diam, memerhatikan anak-anak yang tertawa di bawah sinar matahari.
“Tapi ingat, Eve … kau harus tahu, kapan waktunya mundur … dan kapan kau harus tetap maju. Jika kau sudah menemukan lelaki yang tepat, maka jangan pernah melepaskannya. Karena penyesalan … adalah neraka yang hidup di hati.”
Kata-kata itu menancap tajam di benaknya. Eve menunduk, bibirnya mengatup, dan hatinya gemetar.
Mungkin Liana saat ini sedang menasehatinya, tapi dia seperti sedang menceritakan dirinya sendiri. Mungkinkah dia sudah melakukan kesalahan itu dulu? Bagi Eve, Liana adalah wanita yang misterius. Dia tidak pernah menceritakan siapa suaminya, anaknya, atau bahkan mengenai dirinya sama sekali. Yang mereka tahu, dia adalah wanita sebatang kara.
“Aku berharap aku menemukan pria seperti itu. Hanya saja ….”
“Seseorang akan terasa sangat berarti setelah kau benar-benar kehilangan dia.”
Itulah yang Eve takutkan. Dia sangat takut jika telah melewatkan seseorang, yang sebenarnya dialah yang dia tunggu selama ini.
***