Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 14 Amplop Cokelat
Tepat hari ini adalah hari penilaian final dari agensi. Alka kembali hadir, kali ini bukan hanya Rian yang menemani, tapi semua teman-temannya juga ikut.
Penampilannya rapi, semuanya nampak keren. Tampilan bagus, memukau para juri dan beberapa pengantar. Beberapa peserta lain merasa, jika Alka tak perlu di ragukan lagi, bahkan ada yang sampai bilang. "Dia mah udah kayak trainee beneran."
Ruangan itu riuh, sorak pengantar dan peserta lainnya. Tepuk tangan memenuhi ruangan.
"Perfect," gumam Cakra sambil menggeleng.
"Keren banget, udah kayak idol beneran." sahut Athar.
"Siapa dulu dong pelatihnya." timpal Rian, tangannya melingkar depan dada, alisnya naik turun.
"Sombong." sahut Liona sambil nyengir lebar.
"Perlu di curigai sih, kalau sampai nggak lolos." kata Jehan yang berada di sebelah Athar.
Alesha mendadak gugup, tangannya meremas ujung rok. Ia menarik napas panjang. "Nggak mungkin ada yang curang lah." jawabnya.
Semuanya hanya menoleh, tak menjawab. Tatapannya kembali menatap panggung, wajah mereka tegang.
Semua peserta kini telah selesai melewati tes final ini. Hal paling di tunggu akhirnya tiba, yaitu pengumuman nilai hasil akhir.
Urutan demi urutan telah mereka sebut, ada beberapa yang gagal. Dan hanya sedikit orang yang berhasil.
Tangan Alka keringat dingin saat juri mulai mengumumkan hasil dance nya. Dua juri memberikan nilai sempurna. Tapi satu juri memberikan nilai rendah. Sangat rendah.
"Lah? Kok dia dapat segitu?"
"Padahal dia jauh lebih bagus dari yang lain. Aneh..."
Orang-orang bingung. Alka cuma berdiri diam, lampu dalam dirinya seperti mendadak mati. Ia tersenyum getir sebelum akhirnya pergi dari panggung itu.
"WOYY, YANG BENER AJA!" teriak Athar.
"CURANG, CURANG." kata Cakra.
"ADA YANG SALAH INI, DIA BAGUS BANGET LOH." Rian ikut berteriak.
"MATA JURINYA MINES KALI." kali ini Liona.
"NGGAK LIHAT APA JURINYA." kesal Lista.
Jehan dan Alesha hanya diam. Setelah Alka turun dari panggung, mereka berdua menjauh dari keramaian.
Sementara yang lain, berhambur menghampiri Alka.
"Gagal lagi! Kayaknya emang udah nggak ada harapan." gumam Alka pelan, suaranya putus asa.
Rian langsung merangkulnya. "Nggak! Jangan nyerah, lo masih muda. Dan masih bisa nyoba."
Alka hanya menggeleng, menatap kosong pada pintu kaca besar di depannya.
"Ka, jangan sia-siain perjuangan lo selama ini, lo masih punya kesempatan." kata Athar sambil menepuk kedua bahunya.
Alka membuang napas panjang. "Sorry ya, gue duluan." Alka menatap mereka, lalu berjalan pergi.
"Biarin! Dia butuh waktu, jangan dulu di ganggu." kata Rian, menahan Cakra yang hendak menyusulnya.
Helaan napas berat bercampur dengan ramai suara orang-orang. Alka meninggalkan ruangan itu dengan rasa kecewa pada dirinya sendiri. Merasa jika ia gagal.
Padahal, tanpa mereka ketahui. Dalam ruangan juri, ada amplop tutup mulut berwarna cokelat yang selipkan rapi. Tidak ada yang menyadari.
Hembusan angin sore menerpa wajahn Alka yang tengah tertidur di atas rumput. Menatap langit sore yang mulai mendung, perasaannya masih berantakan, seolah belum bisa menerima kegagalannya lagi.
Hanya suara gemerincik air danau dan daun kering yang tersapu angin yang menemani Alka.
"Apa gue emang nggak pantas jadi idol? Apa gue nggak pantas dance?" entah ke berapa kalinya Alka mengulang pertanyaan itu.
"Gue cuma mau sukses dalam hobi sekaligus mimpi gue." gumamnya pelan, nyaris tersapu angin.
Rintik hujan mulai turun menimpa wajah Alka. Ia reflek langsung duduk, tapi tak pergi. Memeluk lututnya erat, membiarkan air hujan berjatuhan membasahi tubuhnya.
Angin berhembus semakin kencang, dinginnya menusuk kulit. Tapi, di balik suara gemuruh hujan dan angin itu, ada isakan kecil yang lolos dari mulut Alka.
Alam tahu, Alka memang sedang ingin menangis. Tapi malu dengan dirinya sendiri. Hujan datang untuk menutupi air matanya, gemuruh angin untuk menyamarkan suara isakannya.
"Gue... gagal lagi... apa yang salah?" katanya, suaranya tertelan suara hujan.
Alka menunduk, air hujan ngucur dari kepalanya.
"Apa cukup sampai sini aja?" tanyanya lagi, rumput basah di depannya.
Ia mengeratkan pelukan pada lututnya, mengabaikan rasa dingin yang semakin membuatnya menggigil.
Tapi, dalam seperkian detik. Air hujan yang menimpa Alka kini tertahan oleh sebuah payung hitam. Perlahan Alka mendongak, lalu sedikit noleh ke belakang. Ia kenal, sepatu siapa yang ia lihat.
"Ngapain lo kesini?" tanyanya, rahangnya masih mengeras.
Lista jongkok di sampingnya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. "Nemenin, lo... gue tahu, lo pasti lagi nangis."
Alka terkekeh pelan. Tatapannya kosong ke tengah danau yang tertimpa air hujan. "Nemenin atau... ngetawain?"
Lista tertawa hambar. "Emang segitu jahatnya ya gue sama, lo. Ka?"
Alka tak menjawab, kini ia menunduk. Tangannya mencabut rumput kecil di hadapannya, lalu melemparkan asal.
"Nggak papa nangis. Yang penting, lo jangan mati rasa sama mimpi lo sendiri." kata Lista. Suaranya nyaris tertelan suara hujan.
Alka noleh sebentar, matanya merah. "Ta, gue mulai capek sekarang. Gue ngejar mimpi ini sendirian. Nggak ada dukungan dari orangtua."
"Kalau yang lain denger ucapan lo barusan. Bisa-bisa mereka bener-bener ninggalin lo, Ka." jawab Lista. "Lo nggak sendiri. Ada gue, Cakra, Athar, Bang Rian, Liona. Lo tinggal panggil."
Lista menepuk bahu Alka. "Ayok pulang ke cafe. Anak-anak nungguin lo di sana. Apalagi Liona, dia ikutan mogok makan, mikirin lo." Lista berdiri perlahan, ujung celananya sedikit basah.
Mendengar kondisi Liona, Alka sontak bangun. "Lo, kesini naik apa?" tanya Alka.
"Gue naik mobil Bang Rian, lo naik motor aja, takut basah mobilnya. Lagian udah tanggung hujan-hujanan." jawab Liona, sebelah bibirnya terangkat.
Lista berjalan lebih dulu, di belakangnya, Alka menyusul. Sebenarnya ia masih ingin menikmati waktu sendiri, di bawah rintikan hujan, dengan suara gemuruh angin yang membuatnya sedikit lebih tenang.
Mobil listrik kecil yang di naiki Lista, kini sudah melaju lebih dulu. Di belakangnya, Alka mengikuti, sesekali tangannya mengusap wajah, karena air hujan yang menerpa wajahnya. Membuat Alka kesulitan membuka mata.
Begitu mobil Lista masuk ke parkiran cafe, dari dalam, teman-temannya langsung berdiri menghampiri. Dan tak lama, motor Alka masuk.
"Alka," gumam Liona, yang berdiri dengan ekspresi sedih.
"Ka, lo langsung mandi sana. Terus ganti baju, takut masuk angin." kata Athar, menepuk pundak Alka pelan.
Alka mengangguk. Tapi sebelum pergi, ia menatap Liona, senyum tipis timbul di wajahnya. Lalu ia melangkah pergi, mengambil pakaian cadangan di loker deket meja kasir, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Mereka semua kembali duduk. Di kursi dekat meja kasir, dengan minuman yang hampir dingin di atas meja kayu bulat itu.
"Ketemu dimana?" tanya Cakra.
"Di danau sana." jawab Lista singkat.
Athar menatap Lista, lalu ia juga bertanya. "Pas lo datang, dia lagi ngapain?"
Lista menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu. "Lagi tiduran, untung nggak hanyut ke tengah danau."
Cakra bangun dari duduknya. "Gue bikinin dia wedang jahe dulu." katanya sambil melangkah pergi.
Liona dan Rian tak ikut bersuara. Mereka hanya terus menatap tirai dapur, dengan sorot khawatir. Lampu-lampu kuning di cafe, dan samar suara hujan di luar, berpadu dengan helaan napas berat mereka.