Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
“Pokoknya, sampai kapan pun, Bapak ndak akan pernah setuju kamu berhubungan sama anak itu!”
Suara Kaji Mispan meledak seperti guntur menggulung dari langit yang tak terlihat. Wiji baru saja pulang, masih melepas sepatu, belum sempat duduk, sudah dihantam amarah yang lama dipendam.
“Anak sinden, Ji! Apa kamu ndak punya malu?! Mau jadi apa kamu kalau sampai menikah dengan perempuan panggungan?!”
Wiji berdiri membeku di ambang ruang tengah. Matanya menatap ayahnya, tapi tak bisa mengucap sepatah kata pun.
“Kamu pikir rumah ini dibangun dari apa? Dari ludah? Dari nyanyian semalam suntuk?! Ndak, Ji! Rumah ini dibangun dari kerja keras, dari nama baik, dari kehormatan!”
Mispan berjalan maju. Suaranya makin keras, tangannya menunjuk ke arah dada anaknya.
“Dan sekarang kamu mau menukar semua itu dengan perempuan yang pekerjaannya ditonton orang banyak? Yang disawer, diarak, dipuji karena suara dan tubuhnya?! Perempuan panggung, Ji! Di mana harga dirimu?”
“Pak…” Wiji berusaha angkat suara, tapi tercekat di tenggorokan.
“Bapak ini sudah susah payah ngangkat derajat keluarga. Kamu itu anak laki-laki satu-satunya. Harusnya bisa jaga martabat! Bukan malah jatuh hati sama sinden!”
Suasana di rumah yang biasanya tenang berubah jadi tungku yang menyala. Langit-langit tinggi dan lukisan kaligrafi di dinding tak mampu meredam api yang membara.
Ruqayah keluar dari dapur, membawa nampan berisi teh hangat, tapi tubuhnya langsung kaku melihat suaminya yang menggelegak marah.
“Sudahlah, Pak... jangan keras-keras,” bisiknya lirih.
Tapi Mispan menoleh, tajam. “Kamu diam saja! Dari dulu juga kamu terlalu lembek sama anak ini! Lihat sekarang hasilnya!”
Wiji masih berdiri di tempat. Tapi kali ini ia menatap ayahnya dengan sorot yang tenang, bukan menantang—lebih tepatnya: menyayangkan.
“Pak,” katanya pelan, “Asmarawati bukan sembarang perempuan. Dia memang sinden. Tapi dia juga tahu tata krama. Dia mencintai kesenian. Dia tahu cara menghormati orang tua.”
“Persetan dengan sopan santunnya!” bentak Mispan. “Bapak nggak butuh menantu yang bisa nembang, Ji. Bapak butuh perempuan yang bisa jaga martabat rumah ini!”
“Lalu siapa yang bisa menentukan martabat, Pak? Penampilan? Pekerjaan? Atau omongan orang?”
Meja di depan mereka digebrak. Gelas teh nyaris terguling.
“Kamu mau bantah?!” suara Mispan makin keras. “Kalau kamu nekat, keluar saja dari rumah ini! Jangan bawa-bawa nama Mispan kalau hidupmu nanti hancur!”
Wiji diam beberapa saat. Ia kemudian menarik napas dalam, menatap wajah ibunya sebentar—ada air yang tertahan di matanya. Lalu ia berkata, pelan namun tegas:
“Kalau mencintai perempuan yang jujur dan mencintai budaya sendiri dianggap menurunkan martabat… mungkin aku memang bukan anak yang Bapak harapkan.”
Ia berjalan ke arah pintu, langkahnya mantap. Tapi sebelum benar-benar keluar, Mispan berteriak dari belakang:
“Heh! Dasar anak durhaka! Sadar dirimu itu siapa! Jangan sampai nanti kamu nyesel, Ji! Perempuan seperti itu cuma akan bikin kamu jatuh!”
Wiji berhenti di ambang pintu. Cahaya dari luar membentuk siluet di tubuhnya. Ia tak menoleh. Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup keras untuk didengar seluruh ruangan:
“Lebih baik jatuh karena cinta... daripada tumbuh dalam dendam yang tak pernah aku mengerti.”
“Mulutmu sudah berani sekarang, ya?!” suara Mispan mengguncang ruang tengah. “Lupa kamu itu anak siapa?! Perempuan itu anak musuh bapakmu! Kamu ngerti gak?! Ratmoyo itu bukan orang baik! Dia pernah—”
“Pernah apa, Pak?!” potong Wiji, nadanya meninggi. Matanya berkaca-kaca, tapi tak setetes pun jatuh. “Pernah membuat Bapak merasa terhina? Atau membuat Bapak dikucilkan? Itu urusan Bapak. Bukan urusanku.”
Suasana beku. Tegangan udara seperti menekan dinding rumah.
“Aku tidak dilahirkan untuk mewarisi kebencian,” lanjut Wiji, nadanya datar namun mengandung api.
Mispan maju dua langkah. Wajahnya memerah, urat di leher menegang. Tangannya terangkat seolah hendak menampar, tapi berhenti di udara. Gemetar. Ia menggertakkan gigi, tapi tak bisa menurunkan tangan itu. Tangannya sendiri ragu pada niatnya.
“Bocah edan… nggak tahu diuntung!” desisnya, antara geram dan terluka.
“Tidak, Pak,” jawab Wiji pelan tapi tajam, “Yang tidak tahu diuntung itu orang yang tidak bisa membedakan mana yang waras dan mana yang diwariskan. Termasuk mewariskan luka, yang bahkan anaknya sendiri tak pernah tahu asalnya dari mana.”
“Cukup, Pak… cukup…” suara Ruqayah lirih, tapi terdengar seperti jerit dari ujung napas. Ia tersandar di dinding, lututnya lemas, tubuhnya jatuh perlahan ke lantai. Tangisnya pecah—tanpa suara, hanya air mata yang mengalir terus-menerus. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil. Air matanya seperti doa yang tak sanggup lagi melindungi siapa pun dari api yang menjalar dalam rumah itu.
Hening panjang merayap. Lampu gantung berayun pelan terkena angin, menimbulkan derit samar—seolah rumah itu sendiri ikut merintih.
Wiji menunduk. Menatap ubin marmer yang dingin dan licin, seperti beku dari arah mana pun kebenaran hendak datang.
Lalu ia melangkah pelan menuju pintu. Teras rumah menyambutnya dengan langit malam yang kelam. Bulan sabit menggantung pucat di antara awan. Angin malam menyentuh wajahnya—dingin, tapi dadanya masih menyimpan bara.
Sebelum melangkah keluar, Wiji berhenti sejenak di ambang pintu. Tak menoleh ke dalam. Hanya berkata pelan, setenang luka yang tak bisa disembuhkan:
“Aku memang anakmu, Pak…
Tapi bukan robotmu.”
***********
Langit malam belum sepenuhnya runtuh. Awan tipis bergerak lambat di atas pekarangan desa yang mulai sepi. Suara jangkrik menyusup dari sela-sela ilalang, menemani deru halus sebuah motor tua yang melaju pelan di jalan cor beton desa Wonosari.
Honda GL-MAX berwarna hitam lusuh — tampak kontras di antara sunyi dan gelap. Lampu depannya remang, berpendar seperti mata orang yang lelah menangis. Di atas joknya, Wiji mengendara tanpa arah pasti. Jaket hitam lusuh membungkus tubuhnya yang menggigil, bukan karena angin malam, tapi oleh perasaan yang tak bisa ia kendalikan.
Dari rumah, ia langsung mengendarai motornya begitu keluar dari ledakan amarah sang bapak. Ia tak ingin mendengar teriakan lagi. Tak ingin menyaksikan ibunya menangis lagi. Hanya ingin menjauh. Maka ia tancap gas, membelah malam yang dingin, mencari tempat untuk menenangkan hatinya yang sedang porak-poranda.
Sesampainya di tanggul kali Brantas, ia mematikan motornya. Suara mesin GL-MAX itu perlahan padam, digantikan desah angin dan gemericik air dari kejauhan.
Wiji duduk di atas motornya sejenak, menatap jauh ke arah sungai. Angin menari-nari di sela rambut gondrongnya yang tergerai. Di bawah sinar bulan separuh, tubuh motor itu terlihat seperti saksi bisu perjalanan hidup seorang pemuda yang tak tahu harus berpihak pada siapa: cinta atau darah.
Ia lalu turun, menyandarkan motornya pada batang pohon akasia, dan duduk di rerumputan tepi tanggul. Di seberangnya, cahaya rumah-rumah kecil tampak berpendar lembut. Ia tahu, salah satu dari rumah itu adalah tempat tinggal Asmarawati—satu-satunya alasan mengapa hatinya tak bisa menyerah begitu saja.
Ia mengeluarkan rokok dari saku jaketnya, menyalakan sebatang, dan membiarkannya terbakar perlahan. Asapnya mengepul naik ke udara, seperti doa-doa yang tak sampai.
"Apa memang cintaku harus berdarah agar bisa searah? Haruskah kubiarkan sejarah merampas hari depanku?" Ia melamun, tapi matanya tetap waspada. Jari-jarinya meraba setang motor kesayangannya.
Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Ia masih belum berniat pulang. Entah ke mana ia akan bermalam, yang jelas malam ini bukan untuk rumah, bukan untuk tidur, tapi untuk merenung. Karena ada cinta yang harus dipikirkan. Ada luka lama yang harus dimengerti, dan ada masa depan yang ingin ia rebut — walau harus melawan arus darah sendiri.
Waktu merangkak perlahan seperti luka yang enggan sembuh. Wiji masih duduk di tepi tanggul, bersandar pada tubuh motor GL-MAX miliknya yang kini tampak seperti teman karib dalam sunyi. Suara gemercik kali Brantas menyapa pelan, seolah menawarkan pelipur dari getir yang mengendap di hatinya. Di atas sana, bintang-bintang mulai beringsut dari langit. Malam semakin dalam, dan kabut tipis mulai turun dari arah gunung Kelud. Embun menggantung di ujung-ujung daun, juga di setang motornya yang dingin terbungkus udara lembab. Jaket Wiji basah oleh udara, tapi ia tak bergeming. Hanya menatap sungai, menunggu sesuatu yang entah.
Dari kejauhan terdengar lolongan anjing, bersahutan dengan suara burung hantu yang mengintai dari pepohonan bambu. Suara malam itu seperti lagu yang mengiringi kehampaan, dan Wiji mendengarnya dalam diam yang penuh doa. Matanya sayu, tapi hatinya tak bisa tertidur. Ia terus mengulang kata-kata Asmarawati malam itu dalam benaknya: "Cinta adalah perjuangan..."
Di antara kabut dan dingin yang mulai menelusup hingga tulang, tubuhnya gemetar. Tapi tidak karena takut. Melainkan karena getar rindu yang tak bisa ia reda-rekakan. Cinta itu telah menjadi suluh dalam kegelapan yang diwariskan oleh masa lalu. Dan ia bersumpah, malam ini ia tidak akan pulang sebagai pecundang.
Ia menyalakan kembali rokoknya, mungkin yang ketiga atau keempat malam itu. Asapnya menyatu dengan kabut yang turun dari langit. Dalam hening ia berkata pada dirinya sendiri, "Asmarawati adalah cahaya yang kutemukan di lorong gelap sejarah bapakku. Tak ada yang boleh merampasnya dariku..."
Menjelang fajar, langit mulai merekah perlahan. Warna lembayung muda menyapu batas-batas gelap, seperti selembar harapan yang datang malu-malu. Suara kokok ayam dari kejauhan menyusul, diikuti cicit burung-burung kecil yang mulai bangun di rerimbun perdu pinggir sawah.
Embun membasahi seluruh tubuh motor GL-MAX-nya. Dan di sela-sela kabut tipis yang mulai menyingkir, tubuh Wiji tampak menyatu dengan pagi yang baru tumbuh. Matanya sembab, tapi ada binar kecil di dalamnya — tanda bahwa malam panjang itu telah menempanya menjadi lebih tegar.
Ia berdiri, meregangkan tubuh, lalu menatap matahari yang sebentar lagi muncul dari balik perbukitan gunung Kelud. Ia menepuk tangki motornya pelan.
"Ayo, Bejo... kita belum selesai. Masih ada cinta yang harus diperjuangkan."
Lalu ia menyalakan motor GL-MAX-nya. Suara mesinnya batuk sebentar sebelum hidup perlahan. Getarnya menyatu dengan udara pagi yang dingin. Dan dengan nafas yang panjang, ia menuruni tanggul kali Brantas, kembali menyusuri jalanan desa yang masih sepi — membawa hati yang tak lagi gelisah, tapi bersiap untuk sebuah pertarungan panjang: antara cinta, dendam, dan pengampunan.
Fajar telah datang. Tapi perjuangan baru saja dimulai.
***********