Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Malam itu, di sebuah klub malam remang yang dikuasai Juragan Aldo, musik berdentum keras.
Lampu-lampu neon menyorot panggung kecil di tengah ruangan, tempat para wanita dipaksa tampil demi kepuasan tamu-tamu berduit yang tak peduli pada air mata atau jeritan batin.
Di belakang panggung, Arlena didorong masuk oleh dua wanita lain yang telah menyerah pada nasib mereka.
“Kau yang baru, ya? Jangan melawan. Lebih baik menuruti daripada disiksa lagi,” bisik salah satu dari mereka, dengan wajah penuh luka lama yang belum sembuh.
Arlena mengenakan gaun pendek dan riasan tebal yang tak bisa ia hapus.
Wajahnya masih menyimpan bekas tamparan dan matanya sembab karena tangis yang tak kunjung kering.
Kakinya gemetar, tubuhnya lemas, namun dua tangan kasar mendorongnya naik ke panggung.
Tamu-tamu pria bersorak. Beberapa melemparkan uang ke arah panggung.
Juragan Aldo, duduk di kursi utama dengan cerutu di tangan, menyeringai puas.
"Mulai sekarang, kau milik tempat ini," katanya dingin dari kejauhan.
Arlena berdiri kaku. Cahaya lampu menerpa wajahnya.
Ia menatap lurus, seakan mencari jalan keluar dalam kegelapan. Tapi ia tahu jika malam ini tak ada yang menyelamatkannya, ia mungkin takkan pernah kembali.
Sementara itu, jauh dari keramaian klub itu, Aldric masih menyusuri jaringan informasi bawah tanah, menggenggam foto Arlena erat-erat di tangannya.
"Aku akan menemukanmu," gumamnya. "Apa pun risikonya."
Arlena duduk di sudut ruangan sempit, dengan tangan dan kaki terikat rapat menggunakan tali kasar.
Tubuhnya lemah, matanya sembab, dan napasnya berat. Di depannya, seorang penjaga melemparkan sepotong roti keras ke lantai yang kotor.
"Itu makanmu. Jangan harap lebih," ucapnya dingin, lalu menutup pintu besi dan menguncinya dari luar.
"A-aku... lapar," bisik Arlena dengan suara hampir tak terdengar.
Perutnya perih, tubuhnya menggigil, tapi ia memaksa diri merangkak mendekati roti itu.
Ia menggigit perlahan, menahan rasa mual karena bau dan rasa yang tak layak dimakan.
Di luar, hujan mulai turun. Suara tetesannya mengiringi kesendirian Arlena. Ia memejamkan mata, menahan air mata yang kembali ingin keluar.
“Tuan Aldric… tolong…” bisiknya lirih dalam hati.
Sementara itu, di tempat lain, Aldric duduk gelisah di dalam mobil bersama Raka dan sang paman Arlena.
"Kita sudah menelusuri tiga tempat, tapi belum ada tanda-tanda," ucap Raka.
Aldric mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan berhenti. Jika satu-satunya jalan menyelamatkannya adalah dengan menghancurkan seluruh jaringan Juragan Aldo… maka itu yang akan aku lakukan."
Juragan Aldo membuka pintu dengan keras, suara berderak membuat Arlena tersentak dalam ketakutannya.
Cahaya lampu lorong menyilaukan mata Arlena yang sembab dan lelah.
Pria bertubuh besar itu melangkah masuk, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan dingin dan penuh perhitungan.
“Besok, kau harus hasilkan lebih banyak uang. Aku tidak peduli kau sakit atau lelah,” desis Aldo sambil mencengkeram dagu Arlena dengan kasar.
Arlena mencoba menghindar, tapi tubuhnya terlalu lemah.
“Aku… aku mohon… lepaskan aku,” ucapnya lirih.
Aldo mencibir. “Kau hanya aset. Jangan pikir kau punya hak untuk memilih.”
Ia melepaskan dagunya dan berdiri, lalu menoleh pada anak buahnya.
“Pastikan dia siap. Malam besok harus lebih menguntungkan dari hari ini.”
Pintu kembali tertutup dan suara kunci berderak mengunci Arlena dalam kegelapan.
Ia menggigit bibir, menahan air mata yang terus jatuh.
“Tuan Aldric… di mana Anda…” bisiknya, menggantung harapan di tengah neraka yang menjeratnya.
Sementara itu, Aldric menerima telepon dari salah satu informan bawah tanahnya.
“Tuan… saya dengar sebuah gudang di luar kota dipakai sebagai tempat ‘transaksi’ malam. Dan… ada gadis yang cocok dengan ciri-ciri nona Arlena.”
Aldric berdiri. Matanya dingin. “Kirim koordinatnya. Malam ini, kita akhiri semuanya.”
Salah satu anak buah Aldo mendorong Arlena dengan kasar hingga tubuhnya terjatuh, dan wajahnya terbentur keras sehingga terluka.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, bukan hanya karena sakit, tapi juga karena rasa putus asa yang mendalam.
Dengan suara dingin dan tanpa belas kasihan, anak buah itu berkata, “Besok, aku akan merias wajahmu. Supaya lukamu tidak terlihat, dan kau bisa tampil seperti yang diinginkan juragan.”
Namun di balik kata-katanya yang kejam, ada sesuatu yang membuat Arlena merasa semakin terperangkap dalam gelap, mengoyak hatinya sampai nyaris patah.
***
Malam itu sudah tiga hari berlalu, dan penyiksaan terhadap Arlena tak kunjung berhenti.
Tubuhnya penuh luka, dan suaranya yang lemah terdengar memohon, “T-tuan Aldric, tolong aku...” Namun tawa kejam bergema di sekelilingnya, menutupi tangisnya.
“Panggil yang lebih keras!” ejek mereka dengan sadis.
Tiba-tiba, juragan Aldo muncul, menjambak rambut Arlena dengan kasar. “TUAN ALDRIC!!” teriaknya penuh hinaan.
Dengan sekali tampar, Arlena terjatuh dan pingsan. Saat itu, terdengar suara keras dari luar pintu tendangan yang mengguncang ruang itu, seolah ada kekuatan lain yang segera hadir.
“Lepaskan tanganmu!!” teriak Aldric dengan suara menggelegar, langkahnya menendang pintu ruang gelap itu sampai terbuka dengan keras.
Seketika suasana berubah tegang. Anak buah Juragan Aldo terkejut dan mundur perlahan, tak berani melawan sosok yang penuh kemarahan itu.
Aldric segera berlari ke arah Arlena, meraih tangan dan kakinya yang terikat, dengan hati-hati melepaskan ikatan itu.
“Arlena, aku di sini. Aku akan melindungimu,” bisik Aldric penuh kepedulian, sementara matanya membara menatap mereka yang berani menyakitinya.
Aldric menatap tajam ke arah anak buah Juragan Aldo yang mulai bergeming setelah ia berhasil membuka pintu ruang gelap itu.
Dengan suara tegas dan penuh otoritas, ia memerintahkan, “Raka, urus mereka!”
Raka yang sudah berdiri tak jauh dari situ segera mengangguk dan maju mengambil alih situasi.
Ia memanggil beberapa staf keamanan tambahan yang telah bersiap di luar, lalu dengan sigap mengamankan para anak buah Juragan Aldo satu per satu.
Mereka tidak diberi kesempatan untuk melawan, karena Raka dan timnya bekerja cepat dan profesional.
Beberapa dari anak buah itu diikat dan dibawa keluar untuk kemudian diserahkan ke pihak berwajib.
Tidak ada ruang untuk kompromi terhadap tindakan kejam dan jahat mereka.
Sementara itu, Aldric menunduk dengan penuh perhatian melihat kondisi Arlena.
Wajahnya penuh luka lebam, bengkak, dan bekas pukulan, membuat hatinya perih tak tertahankan.
Aldric mengangkat tubuh Arlena dengan lembut, memastikan ia tidak merasa sakit lebih parah saat dipindahkan.
Dengan langkah cepat namun penuh kehati-hatian, Aldric membawanya keluar dari ruang gelap itu menuju mobil yang sudah siap menunggu.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Aldric terus memegang tangan Arlena, sesekali membelai rambutnya dengan lembut.
Ia terus berbicara pelan, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski hatinya sendiri dipenuhi kecemasan.
"Tahan ya, Arlena. Aku akan membuat semuanya berakhir. Kamu tidak akan pernah sendiri lagi."
Sesampainya di rumah sakit, Aldric langsung mengurus proses administrasi dengan cepat, memastikan Arlena mendapat penanganan medis terbaik.
Ia tidak pernah lepas dari sisi Arlena, mengawasi dokter dan perawat yang merawat luka-lukanya.
Ketegaran dan kesabarannya terpancar jelas, meski dalam diam ia menyimpan kemarahan besar atas apa yang telah terjadi.
Setelah beberapa jam perawatan, dokter keluar dan memberitahukan kondisi Arlena.
“Luka-lukanya serius, tapi beruntung tidak ada kerusakan permanen. Ia perlu istirahat total dan pemulihan yang intensif.”
Aldric mengangguk, berjanji dalam hati untuk menjaga dan melindungi Arlena sebaik mungkin sampai ia benar-benar pulih.
Malam itu, Aldric tetap duduk di samping tempat tidur Arlena, menatap wajahnya yang lemah dan penuh luka.
Dalam keheningan, ia bersumpah akan membalas semua penderitaan yang Arlena alami dan memastikan tak seorang pun akan berani mengganggunya lagi.
Sekarang, satu hal yang pasti Aldric akan menjadi pelindung sejati bagi Arlena, dan bersama-sama mereka akan melewati semua badai ini.